Rabu, 11 Desember 2013

Hukum Shalat Jum’at Tanpa Adanya Khilafah

Pertanyaan:

Dalam sebuah diskusi dengan salah seorang, yang dia itu melaksanakan shalat lima watu, namun tidak melakukan shalat Jum’at bersama dengan masyarakat, sebaliknya ia melakukan shalat dhuhur. Ketika aku mengingkari hal itu, ia berkata bahwa adanya Khalifah adalah syarat sahnya shalat Jum’at. Adakah salah seorang fuqaha’ yang berpendapat demikian? Dan apa pendapat Hizbut Tahrir dalam hal ini? Jazâkumullâh khairan.

Jawab:

Shalat Jum’at hukumnya wajib, baik ada Khalifah atau tidak. Dan dalil-dalil atas masalah ini sudah sangat terkenal, di antaranya:

Firman Allah SWT: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (TQS. Al-Jumuah [62] : 9).

Imam al-Hakim mengeluarkan hadits dalam kitab “al-Mustadrak” dari Abu Musa dari Nabi Saw yang bersabda:

“Shalat Jum’at adalah kewajiban bagi setiap Muslim dengan berjamaah, kecuali empat orang, yaitu: budak, perempuan, anak kecil dan orang sakit”

Al-Hakim berkata bahwa hadits ini shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim, meski keduanya tidak meriwayatkan.

An-Nasa’i juga meriwayatkan dari Umar dari Hafsah, istri Nabi Saw, bahwa Nabi Saw bersabda: “Pergi melaksanakan shalat Jum’at adalah wajib bagi setiap yang telah baligh.”
Dan melalui dalil-dalil ini jelas bahwa kewajiban Jum’at tidak terikat dengan adanya Imam (Khalifah).

Demikian itu adalah pendapat tiga imam mazhab besar, yaitu Malik, Syafi’i dan Ibnu Hanbal. Sementara mazhab Hanafi mengatakan bahwa di antara syarat shalat Jum’at adalah “adanya izin dari penguasa, hadirnya penguasa, atau hadirnya seorang wakil resmi darinya. Sebab seperti itulah yang terjadi di masa Rasulullah Saw, dan di era Khulafa’ ar-Rasyidin. Hal tersebut jika di sana ada seorang imam, atau wakilnya di negeri dimana shalat Jum’at dilaksanakan. Sehingga apabila tidak ada satupun dari keduanya, karena meninggal, fitnah atau yang serupa dengannya, sementara waktu shalat Jum’at telah tiba, maka ketika itu masyarakat harus bersepakat memilih salah seorang dari mereka untuk tampil memimpin shalat Jum’at bersama masyarakat.” Dan, adanya izin penguasa adalah pendapat yang kuat, menurut kami berdasarkan dalil-dalil di atas.

Kesimpulannya adalah bahwa shalat Jum’at itu hukumnya wajib, sama saja apakah Khalifah itu ada maupun tidak.

29 Sya’ban 1433 H./19 Juli 2012 M.

sumber : http://www.facebook.com/Ata.abualrashtah

Jumat, 15 November 2013

Tentang Syi'ah Dalam Kitab Resmi Hizbut Tahrir

Oleh: Ust. Wahyudi Ibnu Yusuf

Seperti tahun-tahun sebelumnya tanggal 10 Muharram oleh kelompok Syia’ah dijadikan momentum peringatan terbunuhnya Imam Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib di Karbala. Momentum ini pula yang dimanfaatkan oleh para da’I untuk menjelaskan kesesatan Syi’ah. Nah, dalam konteks inilah banyak pihak yang bertanya pandangan Hizbut Tahrir terkait Syi’ah. Kami tidak pada posisi menjelaskan pandangan HT tentang tema ini. Kami hanya mengutipkan beberapa kutipan terkait dari beberapa kitab resmi (mutabannat) yang dikeluarkan HT tanpa memberikan komentar sedikit pun. Semoga bermanfaat untuk menjawab pertanyaan tersebut.
"Dalam kitab "Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah"""

 juz I disebutkan:"
*وأما الشيعة فقد خالفوا أصول الشافعي مخالفة كبيرة. فإنهم جعلوا أقوال الأئمة دليلاً شرعياً كالكتاب والسنة، وهي عندهم معتبرة حجة تلي حجة الكتاب والسنة على الأقل، ويجعلون كلام الأئمة مخصِصاً للسنّة **…**فالشيعة الإمامية يضعون أئمتهم بجوار السنة. والاجتهاد عندهم مقيد بالمذهب، فلا يجوز للمجتهد أن يخالف آراء المذهب، أي لا يجوز للمجتهد أن يجتهد بما يخالف أقوال الإمام الصادق. وقد رفضوا الأحاديث إلا إذا كانت عن طريق أئمتهم. وهم لا يأخذون بالقياس، وقد تواتر عن أئمتهم كما يروون في كتبهم أن الشريعة إذا قيست محق الدين*"

“Adapun Syî’ah, pertentangannya dengan ushul Syafi’i amat besar. Mereka telah menjadikan (menganggap) seluruh perkataan Imam (mereka) sebagai dalil syara’, sama seperti al-Kitab dan Sunnah. Paling tidak perkataan-perkataan para Imam dianggap sebagai hujjah setelah hujjah al-Kitab dan Sunnah. Mereka menjadikan perkataan para Imam sebagai takhsish terhadap Sunnah. … Syî’ah Imamiyah meletakkan Imam-imam mereka sejajar dengan Sunnah. Dan ijtihad menurut mereka terkait dengan mazhab, sehingga tidak boleh seorang mujtahid bertentangan pendapat-pendapat mazhabnya. Artinya seorang mujtahid tidak boleh berijtihad dengan sesuatu yang bertentangan dengan perkataan-perkataan seorang Imam yang shadiq (benar). Dan mereka menolak hadits kecuali yang melalui jalur para Imam mereka. Mereka juga tidak mengambil qiyas. Imam-imam mereka sepakat sebagaimana yang mereka riwayatkan dalam kitab-kitabnya bahwa syariat apabila diqiyaskan akan melenyapkan agama.”*[1]*
"
*ونشأ جماعة أخرى من المسلمين أحبوا علي بن أبي طالب رضي الله عنه وأحبوا ذريته، ورأوا أنه وذريته أحق بالخلافة من كل أحد. وأنه هو الوصي الذي أوصى إليه الرسول – صلى الله عليه وسلم – بالخلافة من بعده. وقد ردوا أحاديث كثيرة رواها عن الرسول- صلى الله عليه وسلم – جمهور الصحابة. ولم يعوِّلوا على أراء الصحابة وفتاويهم، وعوَّلوا فقط على الأحاديث التي رواها أئمتهممن آل البيت، والفتاوى التي صدرت عنهم، وكان لهم فقه خاص، وهؤلاء هم الشيعة*

Masih pada kitab yang sama disebutkan:
"“Kemudian muncul kelompok lain dari kaum Muslim yang mencintai Ali bin Abi Thalib ra dan keturunannya. Mereka menganggap bahwa Ali beserta keturunannya lebih berhak memegang kekhilafahan dari pada yang lainnya. Ali adalah orang yang diberi wasiat oleh Rasul untuk menjadi Khalifah setelah beliau. Mereka menolak banyak hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh jumhur sahabat. Mereka tidak menyandarkan kepada pendapat-pendapat dan fatwa para sahabat. Mereka hanya bersandar kepada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh imam-imam mereka dari ahlul bait dan fatwa-fatwa yang bersumber dari mereka. Mereka memiliki fiqih tersendiri. Mereka ini adalah kelompok Syî’ah.”*[2]*
"
"Dalam kitab "Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah """juz II disebutkan:"
*القول بأن الرسول صلى الله عليه وآله وسلم عين شخصاً معيناً يكون خليفة بعده يناقض نصوص الشريعة، والقول بأن الرسول عليه السلام عين الأشخاص الذين يكونون خلفاء بعده إلى يوم القيامة أكثر مناقضة لنصوص الإسلام.*"“

""Pendapat yang menyatakan baha Rasul saw menentukan person tertentu sebagai khalifah sesudahnya adalah pendapat yang bertentangan dengan nash-nash syariat. Demikian pula pendapat yang menyatakan bahwa Rasul saw menentukan person-person yang menjadi para khalifah sesudahnya hingga hari kiamat banyak pertentangannya dengan nash-nash Islam""”"".*[3]*
"
Dalam kitab "Amwal fi Daulah Al-Khilafah""disebutkan"

"“Adapun individu-individu atau kelompok-kelompok yang awalnya berislam kemudian mereka murtad, dan mereka ada sampai saat ini, maka dilihat terlebih dahulu fakta keberadaan mereka yang ada. Apabila mereka dilahirkan oleh murtad dan bukan kemauan mereka sendiri (untuk murtad), melainkan orang-tua atau nenekmoyang mereka yang murtad, seperti golongan Syi’ah Ad-Duruz, pengikut Al-Bahaiyyah, Al-Ismailiyyah, An-Nushairiyyah, yang menuhankan Ali bin Abi Thalib, maka mereka tidak diperlakukan sebagai murtad, akan tetapi mereka diperlakukan sebagaimana perlakuan terhadap Majusi dan Shabi’ah. Ditarik dari mereka jizyah, sembelihan mereka tidak dimakan, wanita-wanita mereka tidak dinikahi, kecuali jika mereka mau memperbaharui keislaman mereka, dan mengulangi masuk Islam, maka berlaku bagi mereka hukum terhadap kaum muslimin.”*[4]*
"
"Wallahu ta’ala’alam bi ash-shawab"

Banjarmasin, 11 Muharram 1435 H
_________________________________________

[1]
 Taqyuddin An-Nabhani, "Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah (thab’ah mu’tamadah – 2003)", vol I, hlm 362

[2]
 "Ibid", vol I hlm 376

[3]
 Taqyuddin An-Nabhani, "Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah (thab’ah mu’tamadah – 2003)", vol II, hlm 54

[4]
 Abdul Qadi Zallum, "Amwal fi Daulah Al-Khilafah (thab’ah mu’tamadah – 2004), "hlm""64.

sumber:  http://matanbjm.wordpress.com/2013/11/14/117/

Sabtu, 05 Oktober 2013

Pertimbangan Memilih Pasangan

Fase terpenting sebelum menikah tentulah bagaimana cara memilih calon pasangan. Ya, belum lama ini publik di hebohkan dengan kasus gagalnya pertunangan Zaskia Gotik dan Vicky Prasetyo. Pasalnya, Vicky alias Hendrianto ini ternyata penipu. Zaskia dan orangtuanya pun kaget bercampur malu. Ternyata, selama ini mereka tidak tahu menahu dengan profil sesungguhnya Vicky. Mereka bertekad akan lebih hati-hati dalam memilih jodoh.

Ya, jodoh memang harus dipilih dengan detail, tidak asal comot. Jangan sampai calon pendamping dan orang tuanya tidak tahu sama sekali asal-usul sang calon. Jangan hanya percaya bualannya, tanpa menelusuri kebenarannya. Ini karena menyangkut kehidupan masa depan yang panjang.

Itu sebabnya, orangtua jawa kuno berpesan pada anak-anaknya ketika akan menentukan pendamping hidup, yakni kudu memperhatikan bibit, bebet dan bobot.

Bobot, meliputi kepribadian calon pasangan, apakah dia cukup dewasa, bertanggung jawab dan dapat di andalkan dalam rumah tangga. Apakah sang calon baik akhlaknya, cerdas, taat menjalankan agama, ganteng atau cantik, mapan atau belum, dll.

Sementara bebet bermakna lingkungan, dari mana calon pasangan berasal. Ya, lingkungan sangat mempengaruhi perangai seseorang. Karena itu, harus ditelusuri, siapa temen-temen bergaulnya, ke mana tempat aktivitas atau istilah gaulnya, tempat nongkrongnya. Dari sini akan bisa dilacak apakah dia orang baik-baik atau tidak. Lalu bibit, meliputi silsilah keturunan calon pasangan. Asal-usul keluarga besarnya seperti apa. Apakah dari lingkungan keluarga baik-baik, terdidik, berbudaya dan beradab baik, agamis, dll.

Panduan ini tampaknya tidak terlalu kuno untuk dijadikan patokan, tentu dengan tetap menyelaraskan dengan syariat islam. Artinya, bukan harga mati. Misalnya terkait keturunan, jika ada kasus seseorang yang shalih tapi yatim-piatu dan tidak diketahui asal-uul keluarganya denan detail, bukankah tidak adil jika menjadi penghalang untuk menjadi penyuntingnya?

Begitu pula bila ada sosok shalih tapi secara ekonomi belum mapan, tidak bisa dikatakan bobotnya kurang bagus, bukan? Sebab orang yang shalih yakin, rezeki akan mengikuti pernikahan itu kelak.

Karena itu, kriteria terpenting dalam memilih pasangan hidup tetap pada pribadi sang calon itu. Keshalehan dan ketaatannya pada Allah Subhanahu wata'aala. Ini adalah syarat utama. Seseorang yang shalih, memahami dan melaksanakan syariat islam dengan benar, insya Allah akan menjadi pribadi dewasa, penuh kasih sayang, dan bertanggung jawab.

Lantas bagaimana sosok yang shalih-shalihah itu?

Pertama, bisa dilihat dari shalatnya sehari-hari, jika ia laki-laki, apakah tepat waktu shalatnya, berjamaah di masjid, tidak terlewat jum'atannya. Ini penting, jika tidak, maka bagaimana seorang suami bisa membina anak dan istrinya dengan baik jika shalat saja ia bermalas-malasan. Shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, demikianlah Allah katakan. Seseorang yang tidak shalat pasti akan mudah bermaksiat yang lebih mngkhawatirkan bisa menjerumuskan keluarganya kedalam syubhat dan kesesatan tapi tidak jika sebaliknya, karena seseorang yang shalat, maka ia sadar betul bahwa dirinya senantiasa di awasi oleh Rabbnya.hal ini juga berlaku bagi wanita, dll.

Kedua, akhlaknya. Apakah dia orang yang baik, dalam artian tidak pernah terlibat maksiat. Apakah dia lemah-lembut, tidak pernah berlaku kasar atau melakukan tindak kekerasan. Termasuk bisa diperhatikan pula dari kebiasaan-kebiasaannya, apakah memiliki adab sopan-santun dan sifat-sifat yang baik. Jika ia wanita, bisa diperhatikan caranya menutup aurat, karena ini salah satu standar apakah dia mampu menjaga izahnya. Catatan penting, bedakan antara menutup aurat dengan membungkus aurat. Banyak yang salah kaprah terkait menutup aurat. Seorang wanita tidak disebut menutup aurat jika pakaian yang d pakai bukanlah ghamis/jilbab (sejenis baju kurung longgar yang terurai dari tempat memakai kalung sampai tempat terpasangnya gelang kaki) juga penutup kepala yang dipakai adalah tidak sampai menutupi hingga dada. Tidak syar'i jika pakaian yang dipakai adalah celana jeans dan atau baju sambungan (baju + rok).

Ketiga, aktivitasnya. Apakah kegiatan-kegiatannya didominasi suasana religius, misalnya aktif mengkaji islam atau bahkan mendakwahkannya. Kemana saja tujuan perginya, lebih banyak ke masjid, majlis ilmu atau lainnya.

Keempat, keluasan ilmu islamnya. Apakah bisa menjadi referensi atau rujukan tentang keagamaan. Bagaimana bacaan qur'annya, fasihkah. Bagaimana pemahamannya tentang fiqih ibadah dan syariat keseharian, dll.

Itulah diantara kriteria calon pasangan yang baik. Semua informasi ini bisa didapatkan dari orangtua, kerabat atau teman dekatnya melalui proses ta'aruf bukan pacaran. Ta'arufnya pun ta'aruf yang disyariatkan islam bukan pacaran yang dibaluti islam. Bukan semata mendengar bualan sang calon itu sendiri.

Oleh Kholda dengan sedikit tambahan