Sabtu, 31 Desember 2011

Definisi Tasyabuh Menurut Bahasa dan Istilah

Tasyabbuh secara bahasa adalah bentuk masdar dari kata kerja tasyabbaha yang menunjukkan penyerupaan sesuatu . kesamaan warna . dan sifat , Tasyabbuh memiliki arti menyerupai atau mencontoh ,

Kemudian . . Tasyabbuh secara istilah memiliki beberapa definisi . diantaranya :

Definisi dari Al-Imam Asy Syafi'I Rohimahullah, bahwasannya "Tasyabbuh adalah ungkapan yang menunjukkan upaya manusia untuk menyerupakan dirinya dengan sesuatu yang diinginkan dirinya serupa dengannya dalam hal tingkah laku . pakaian . atau sifat-sifatnya , Jadi tasyabbuh adalah ungkapan tentang tingkah yang dibuat-buat yang diinginkan dan dilakukanya ,


Pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang nyata antara definisi tasyabbuh secara bahasa dengan definisi secara istilah , Sehingga yang dimaksud dengan tasyabbuh bil kuffar adalah penyerupaan terhadap orang-orang kafir dengan seluruh jenisnya dalam hal aqidah atau ibadah atau adat atau cara hidup yang merupakan kekhususan orang-orang kafir ,

Bagaimanakah hukum Tasyabbuh Bil Kuffar atau menyerupai orang kafir?

Menyerupai orang kafir adalah tindakan yang terlarang , Telah banyak teks dalil yang sangat jelas melarang tindakan itu . baik secara umum atau secara khusus ,

Mengenai dalil Umum pelarangan Tasyabbuh , Diantaranya adalah :

1. Dalam surah Ali ‘Imron ayat 105 . Allah -Ta’ala- menyatakan:

“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka , Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” ,

2. Dan juga dalam firman-Nya:

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu . maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui” ,

3. Dan dalam surah Al-Hadid ayat 16 . Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

“… dan janganlah mereka (kaum mukminin) seperti orang-orang telah diturunkan Al Kitab sebelumnya . kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras , Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik ,"

Al-Hafizh Ibnu Katsir menafsirkan ayat tadi . “Karenanya . Alloh telah melarang kaum mukminin untuk tasyabbuh kepada mereka dalam perkara apapun . baik yang sifatnya ushul maupun yang hanya merupakan furu’” ,

4. Nabi SAW bersabda:

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum . maka dia termasuk darinya” ,

Hukum yang terkandung dalam hadits ini adalah haramnya tasyabbuh kepada mereka orang-orang kafir . walaupun zhohir hadits menunjukkan kafirnya orang yang tasyabbuh kepada mereka ,

Dengan hadits inilah . kebanyakan para ulama berdalil akan dibencinya semua perkara yang merupakan ciri khas orang-orang non muslim” ,

5. Beliau shalallahu'alaihi wa sallam juga pernah bersabda:

“Betul-betul kalian pasti kalian akan mengikuti jalan-jalan orang-orang sebelum . sejengkal demi sejengkal . sehasta demi sehasta . sampai walaupun mereka masuk ke dalam lubang dhobbin [sejenis kadal padang pasir] . maka kalian pasti akan tetap mengikuti mereka ,”



6. Dan beliau shalallahu'alaihi wa sallam telah bersabda dalam beberapa hadits:

“Selisihilah orang-orang musyrikin” ,

“Selisihilah orang-orang Yahudi” ,

“Selisihilah orang-orang Majusi” ,

Bahkan . . dalam hadits Anas bin Malik Ra beliau berkata . “Sesungguhnya orang-orang Yahudi . jika istri mereka haid . mereka tidak mau makan bersamanya dan mereka tidak berhubungan dengannya di dalam rumah , Maka para sahabat menanyakan masalah ini kepada Nabi SHALALLAHU ALAIHI WA SALLAM sehingga turunlah ayat . ["Mereka bertanya kepadamu tentang darah haid . maka katakanlah dia adalah kotoran (najis) . maka jauhilah wanita saat haid"] [Surah Al-Baqoroh ayat 222] sampai akhir ayat , Maka Rosululloh SHALALLAHU ALAIHI WA SALLAM bersabda:

“Lakukan semuanya dengan istrimu kecuali nikah (jima’)” ,

Berita turunnya ayat ini sampai ke telinga orang-orang Yahudi . lalu mereka berkata . “Laki-laki ini (Muhammad) tidak mau meninggalkan satu pun dari urusan kita kecuali dia menyelisihi kita dalam perkara tersebut” ,

Hadits ini menunjukkan banyaknya perkara yang Alloh syari’atkan kepada Nabi-Nya dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi , Bahkan hadits ini menunjukkan bahwa beliau telah menyelisihi mereka pada seluruh perkara mereka . sampai-sampai mereka berkata . ["Laki-laki ini (Muhammad) tidak mau meninggalkan satu pun dari urusan kita kecuali dia menyelisihi kita dalam perkara tersebut ,"

Inilah diantara dalil-dalil umum tentang larangan tasyabbuh

Kemudian . . dalil khusus pelarangan tasyabbuh kepada orang kafir diantaranya adalah:



Pertama , Larangan menjadikan kuburan sebagai masjid karena menyerupai ahli kitab ,

Menjadikan kuburan sebagai masjid bisa dalam bentuk membangun masjid di atas kuburan atau pekuburan . menguburkan mayat di dalam masjid . dan bisa juga dalam bentuk sholat menghadap ke kuburan , Wallahu A'lam,

Dalam hadits Jundab bin ‘Abdillah Al-Bajaly . Rosululloh shalallahu'alaihi wa sallam bersabda lima hari sebelum beliau wafat:

“Ketahuilah . sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kubur-kubur para nabi dan orang-orang sholeh mereka sebagai masjid , Ketahuilah . janganlah kalian menjadikan kubur-kubur sebagai masjid . karena sesungguhnya saya melarang kalian dari hal tersebut” ,

Kedua , Syari’at makan sahur untuk menyelisihi ahli kitab ,

Rosululloh shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:

“Pemisah (baca: pembeda) antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah dalam hal makan sahur” .

Hadits ini menyelisihi orang orang ahli kitab yang mereka tidak makan sahur katika berpuasa..

Ketiga , Kita Disyari’atkan mencukur kumis dan memelihara jenggot untuk menyelisihi kaum musyrikin ,

Nabi SAW memerintahkan dalam hadits Ibnu ‘Umar

Definisi dari Istilah Tasyabbuh .

Tasyabbuh secara bahasa adalah bentuk masdar dari kata kerja tasyabbaha yang menunjukkan penyerupaan sesuatu , kesamaan warna , dan sifat . Tasyabbuh memiliki arti menyerupai atau mencontoh .



Kemudian , Tasyabbuh secara istilah memiliki beberapa definisi , diantaranya :



Definisi dari Al-Imam Asy Syafi'I Rohimahullah, bahwasannya "Tasyabbuh adalah ungkapan yang menunjukkan upaya manusia untuk menyerupakan dirinya dengan sesuatu yang diinginkan dirinya serupa dengannya dalam hal tingkah laku , pakaian , atau sifat-sifatnya . Jadi tasyabbuh adalah ungkapan tentang tingkah yang dibuat-buat yang diinginkan dan dilakukanya .



Dan , Pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang nyata antara definisi tasyabbuh secara bahasa dengan definisi secara istilah . Sehingga yang dimaksud dengan tasyabbuh bil kuffar adalah penyerupaan terhadap orang-orang kafir dengan seluruh jenisnya dalam hal aqidah atau ibadah atau adat atau cara hidup yang merupakan kekhususan orang-orang kafir .



Kemudian , bagaimanakah hukum Tasyabbuh Bil Kuffar atau menyerupai orang kafir?

Menyerupai orang kafir adalah tindakan yang terlarang . Telah banyak teks dalil yang sangat jelas melarang tindakan itu , baik secara umum atau secara khusus .

Mengenai dalil Umum pelarangan Tasyabbuh . Diantaranya adalah:

1. Dalam surah Ali ‘Imron ayat 105 , Allah -Ta’ala- menyatakan:

“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka . Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” .

2. Dan juga dalam firman-Nya:

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu , maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui” .

3. Dan dalam surah Al-Hadid ayat 16 , Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

“… dan janganlah mereka (kaum mukminin) seperti orang-orang telah diturunkan Al Kitab sebelumnya , kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras . Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik ."

Al-Hafizh Ibnu Katsir menafsirkan ayat tadi , “Karenanya , Alloh telah melarang kaum mukminin untuk tasyabbuh kepada mereka dalam perkara apapun , baik yang sifatnya ushul maupun yang hanya merupakan furu’” .

4. Nabi SAW bersabda:

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum , maka dia termasuk darinya” . (HR. Abu Dawud)



Hukum yang terkandung dalam hadits ini adalah haramnya tasyabbuh kepada mereka orang-orang kafir , walaupun zhohir hadits menunjukkan kafirnya orang yang tasyabbuh kepada mereka .



Dengan hadits inilah , kebanyakan para ulama berdalil akan dibencinya semua perkara yang merupakan ciri khas orang-orang non muslim” .

5. Beliau shalallahu'alaihi wa sallam juga pernah bersabda:

“Betul-betul kalian pasti kalian akan mengikuti jalan-jalan orang-orang sebelum , sejengkal demi sejengkal , sehasta demi sehasta , sampai walaupun mereka masuk ke dalam lubang dhobbin [sejenis kadal padang pasir], maka kalian pasti akan tetap mengikuti mereka .”



6. Dan beliau shalallahu'alaihi wa sallam telah bersabda dalam beberapa hadits:

“Selisihilah orang-orang musyrikin” .

“Selisihilah orang-orang Yahudi” .

“Selisihilah orang-orang Majusi” .



Bahkan , dalam hadits Anas bin Malik Ra beliau berkata , “Sesungguhnya orang-orang Yahudi , jika istri mereka haid , mereka tidak mau makan bersamanya dan mereka tidak berhubungan dengannya di dalam rumah . Maka para sahabat menanyakan masalah ini kepada Nabi SHALALLAHU ALAIHI WA SALLAM sehingga turunlah ayat , ["Mereka bertanya kepadamu tentang darah haid , maka katakanlah dia adalah kotoran (najis) , maka jauhilah wanita saat haid"] [Surah Al-Baqoroh ayat 222]sampai akhir ayat . Maka Rosululloh SHALALLAHU ALAIHI WA SALLAM bersabda:

“Lakukan semuanya dengan istrimu kecuali nikah (jima’)” .

Berita turunnya ayat ini sampai ke telinga orang-orang Yahudi , lalu mereka berkata, “Laki-laki ini (Muhammad) tidak mau meninggalkan satu pun dari urusan kita kecuali dia menyelisihi kita dalam perkara tersebut”.

Hadits ini menunjukkan banyaknya perkara yang Alloh syari’atkan kepada Nabi-Nya dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi . Bahkan hadits ini menunjukkan bahwa beliau telah menyelisihi mereka pada seluruh perkara mereka , sampai-sampai mereka berkata , ["Laki-laki ini (Muhammad) tidak mau meninggalkan satu pun dari urusan kita kecuali dia menyelisihi kita dalam perkara tersebut ."

Inilah diantara dalil-dalil umum tentang larangan tasyabbuh

Kemudian , dalil khusus pelarangan tasyabbuh kepada orang kafir diantaranya adalah:

Pertama. Larangan menjadikan kuburan sebagai masjid karena menyerupai ahli kitab .

Menjadikan kuburan sebagai masjid bisa dalam bentuk membangun masjid di atas kuburan atau pekuburan , menguburkan mayat di dalam masjid , dan bisa juga dalam bentuk sholat menghadap ke kuburan . Wallahu A'lam.

Dalam hadits Jundab bin ‘Abdillah Al-Bajaly , Rosululloh shalallahu'alaihi wa sallam bersabda lima hari sebelum beliau wafat:

“Ketahuilah , sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kubur-kubur para nabi dan orang-orang sholeh mereka sebagai masjid . Ketahuilah , janganlah kalian menjadikan kubur-kubur sebagai masjid , karena sesungguhnya saya melarang kalian dari hal tersebut” .

Kedua . Syari’at makan sahur untuk menyelisihi ahli kitab .

Rosululloh shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:

“Pemisah (baca: pembeda) antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah dalam hal makan sahur” ,

Hadits ini menyelisihi orang orang ahli kitab yang mereka tidak makan sahur katika berpuasa.,

Ketiga. Kita Disyari’atkan mencukur kumis dan memelihara jenggot untuk menyelisihi kaum musyrikin .

Nabi SAW memerintahkan dalam hadits Ibnu ‘Umar :

“Selisihilah orang-orang musyrikin; cukurlah kumis dan peliharalah jenggot” .

Demikianlah, kita telah membahas definisi mengenai masalah tasyabbuh, semoga kita bisa memahaminya dan semoga kita bisa terhindar dari perbuatan tersebut , Wallahu a’lam.

Bai’ BitTaqsith (بيع بالتقسيط)

kali ini kita akan mengulas seputar makna Bai’ bittaqsith. Arti dari bai’ adalah menjual. Sedangkan pengertian Taqsith, secara bahasa adalah bermakna membagi sesuatu menjadi bagian-bagian tertentu dan terpisah.

Adapun secara istilah, Jual beli secara taqsith adalah menjual sesuatu dengan pembayaran yang ditangguhkan, diserahkan dengan pembagian-pembagian tertentu pada waktu yang telah ditetapkan dengan jumlah keseluruhannya yang lebih banyak dari harga kontan. Atau dengan kata lain bai’ bittaqsith ialah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal daripada pembayaran kontan/tunai. Secara umum bai bittaqsith lebih dikenal dengan sebutan pembelian secara kredit.

Bai Taqsith sangat dibutuhkan masyarakat dan mendatangkan manfaat bagi pembeli & penjual. Konsumen bisa mendapatkan barang yang dibutuhkannya, meskipun ia tidak memiliki uang yang cukup untuk memilikinya secara kontan atau bayaran penuh.

Perbedaan harga cicilan dari harga kontan, bukan termasuk riba. Itu merupakan keuntungan dalam jual beli barang sebagai kompensasi tertahannya hak penjual dalam jangka waktu tertentu. Aplikasi bai’ taqsith dapat mendatangkan kemudahan (taysir) bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, karena banyak orang tidak mampu menyerahkan harga secara menyeluruh atau membayar dengan kontan. Tetapi dengan cicilan, ia bisa memanfaatkan dan memiliki barang yang dibutuhkannya.

Jual beli kredit dengan penambahan harga karena cicilan adalah halal menurut hukum syariah. Maka, jika seseorang menjual suatu barang dengan harga yang dibayar secara tangguh atau cicilan dimana harganya bertambah dari harga cash, maka jual beli itu boleh.

Jika harga cash harus sama dengan harga kredit, misalnya sebuah rumah berharga Rp 300 juta cash dan harga kredit 10 tahun juga Rp 300 juta, maka hal itu tentu tidak logis, tidak rasional dan tidak adil. Tidak seorangpun penjual mau melakukan hal itu, karena hal itu merugikannya. Penjual tersebut tidak dapat menutup modal yang ia gunakan untuk membeli barang tersebut, dan juga tidak dapat membeli lagi barang yang serupa dengan itu atau yang lainnya.

Jadi, perbedaan harga cash dan kredit adalah suatu kebolehan dan konsumen pun mendapatkan kemudahan mendapatkan barang yang dibutuhkannya meskipun uangnya jauh dari cukup.

Dalil syari’ dalam membolehkan akad jual-beli kredit atau bai’ bit taqsith diambil dari dalil-dalil Al-Qur’an yang menghalalkan praktik bai’ atau jual-beli secara umum, diantaranya firman Alloh surat Al-Baqoroh ayat 275: “Alloh menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. Pelarangan untuk memakan riba ini dikuatkan dengan adanya dalil yang melarang manusia untuk memakan atau memiliki harta dari orang lain kecuali dengan jalan suka sama suka.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlangsung atas dasar suka sama-suka di antara kamu”.

Dilihat dari dalil terebut, maka Jual beli dengan cara taqsith adalah transaksi yang berlangsung atas dasar suka sama suka, berarti jual beli secara taqsith ini adalah boleh menurut nash ayat tersebut.

Alloh Ta’ala juga berfirman dalam surat Al-Baqoroh ayat 282: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”

Kaidah fikih menyatakan bahwa “Asal dalam setiap mu’amalah adalah halal dan boleh”. Karena tidak ada nash atau dalil yang menunjukkan haramnya membuat dua harga pada suatu barang, yaitu harga kontan dan harga kredit lalu penjual dan pembeli melakukan transaksi pada salah satu dari keduanya, maka jual beli dengan cara taqsith adalah halal berdasarkan kaidah ini.

Bai bittaqsith atau jual-beli secara kredit juga memiliki aturan tertentu, para ulama telah merinci beberapa ketentuan mengenainya, yaitu :
  • Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli.
  • Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari parktik bai’ gharar, atau ‘bisnis penipuan’.
  • Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.
Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar tidak termasuk kategori bai’ muththarr atau ‘jual-beli dengan terpaksa’ yang dikecam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tidak diragukan lagi bahwa jual beli secara taqsith adalah mustahab atau sunnah, dianjurkan bila dilakukan dengan maksud memudahkan pembeli sesuai dengan apa yang mencocoki keadaannya.

Adanya pensyaratan dari penjual agar hak kepemilikan diserahkan kepada pembeli saat penyerahan cicilan terakhir, yaitu pembeli telah mengambil barangnya namun penulisan keterangan surat atau bukti kepemilikan bahwa barang itu adalah miliknya diserahkan saat pelunasan cicilan terakhir. Hal ini diperbolehkan jika dimaksudkan agar pembeli komitmen dan serius dalam menyelesaikan tunggakannya dan bila pembeli bangkrut, barang tidak diikutkan dalam perhitungan barang yang bangkrut sehingga merugikan penjual.
Adapun jika hak kepemilikan sudah ditetapkan dan tertulis untuk pembeli maka tidak mengapa penjual menyimpannya sebagai jaminan agar pembeli tetap menyelesaikan tunggakannya. Tidak diperbolehkan penjual menetapkan denda materi terhadap pembeli bila terjadi keterlambatan pembayaran setelah jatuh tempo, sama sekali tidak diperbolehkan walaupun penetapan denda terjadi sebelum akad transaksi karena hal tersebut tergolong riba jahiliyah.

Tidaklah pantas seorang muslim membeli dengan cara taqsith kecuali jika mempunyai kemampuan untuk membayar cicilannya dan bersungguh-sungguh untuk hal itu agar ia tidak merugikan orang lain dan tidak pula membebani dirinya dengan sesuatu yang ia tidak mampu untuk menyelesaikannya.

Jika seseorang membeli sesuatu secara taqsith walaupun ia mampu membayar secara kontan. Walau demikian jika seseorang mampu membayar dengan cash atau kontan maka itu adalah lebih baik bagi dirinya dan lebih terpuji.

Inilah yang dapat kami sampaikan dalam ensiklopedi islam di kesempatan kali ini mengenai makna Bai bittaqsith atau jual-beli secara kredit dan juga beberapa hal yang berkenaan dengannya. Semoga bermanfaat dan sampai jumpa pada edisi berikutnya. Wallohu ‘alam…..

Rabu, 21 Desember 2011

Bangga Sebagai Seorang Muslim


Di antara nikmat yang tidak terhitung bagi kita semua adalah ni’matul wujud atau nikmat kehidupan. Bahwa kita dijadikan salah satu makhluk-Nya yang dimuliakan yang hidup di alam raya ini. Kehidupan ini memberikan kepada kita hak-hak yang luar biasa banyaknya setelah Allah swt memberikan eksistensi/keberadaan diri kita dalam kehidupan.

Karunia kedua, ni’matul insan, fakta bahwa kita adalah manusia yang ditetapkan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan, keunggulan dalam struktur jasmani dan ruhani dibanding makhluk-makhluk lainnya.

Karunia ketiga, ni’matul ‘aql atau karunia akal. Allah swt memberi kepada kita kemampuan membaca dan menulis, kemampuan untuk menjelaskan, kekuatan untuk memahami ayat-ayat-Nya yang tersurat dan tersirat, diantara ayat-ayat-Nya yang tidak tertulis adalah fenomena di alam raya ini.

Selasa, 20 Desember 2011

Senin, 19 Desember 2011

KHALID BIN WALID Radhiyallahu’anhu

Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah, anaku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya selain Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagiNya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.. Amma Ba’du:

Tulisan ini adalah bagian kecil dari biografi seorang tokoh terkemuka umat ini, dia salah seorang pahlawan dan kesatria umat ini, dia salah seorang tokoh shahabat Rasulullah saw yang mulia, dan dari perjalanan hidupnya ini kita akan menggali berbagai pelajaran dan ibroh.

Shahabat Rasulullah saw ini masuk Islam pada tahun kedelapan hijriyah dan telah terjun dalam puluhan peperangan. Para sejarawan mencatat, dia tidak pernah kalah dalam satu peperanganpun baik pada saat jahiliyah atau setelah masuk Islam, dia berkata tentang dirinya: Sungguh dengan tanganku ini telah terpotong
sembilan pedang pada saat peperangan Mu’tah sehingga tidak tertinggal di tanganku kecuali sebuah pedang yang berasal dari Yaman”.[Shahihul Bukhari: 3/146 no: 4265]

Hal ini membuktikan tentang keberaniannya yang brilian dan kekuatan besar yang telah dianugrahkan baginya oleh Allah pada jasadnya. Dan beliau adalah komando pasukan kaum muslimin pada perang yang masyhur yaitu perang Yamamah dan Yarmuk, dan beliau telah melintasi perbatasan negeri Iraq menuju ke Syam dalam lima malam bersama para tentara yang mengikutinya. Inilah salah satu keajaiban komandan perang ini. Nabi saw telah menggelarinya dengan sebutan pedang Allah yang terhunus, dan beliau memberitahkan bahwa dia adalah salah satu pedang Allah terhadap orang-orang musyrik dan kaum munafiq. [Musnd Imam Ahmad: 1/8]

Dia adalah seorang kesatria, Khalid bin Walid bin Al-Mugiroh Al-Qurosy Al-Makhzumy Al-Makky, anak saudari ummul mukminin Maimunah binti Al-Harits ra, dia seorang lelaki yang kekar, berpundak lebar, bertubuh kuat, sangat menyerupai Umar bin Al-Khattab ra. Shahabat memilki sikap kepahlawanan besar yang mencerminkan dirinya sebagai seorang pemberani dalam membela agama ini, di antara cerita tentang kepahlwanan beliau adalah apa yang terjadi pada perang Mu’tah, pada tahun ke delapan hijriyah, pada tahun dia memeluk Islam. Jumlah tentara kaum muslimin pada saat itu sekitar tiga ribu personil sementara bangsa
Romawi memilki dua ratus ribu personil, melihat tidak adanya keseimbangan jumlah tentara kaum muslimin di banding musuh mereka, terkuaklah sikap kesatria dan kepahlawanan kaum muslimin pada peperangan ini. Nabi saw telah memerintahkan agar pasukan dipimpin oleh Zaid bin Haritsah, dan jika dia terbunuh maka kepeminpinan berpindah kepada Ja’far bin Abi Thalib, dan jika terbunuh maka kepeminpinan digantikan oleh Abdullah bin Rawahah. Semua peminpin di atas mati syahid pada peperangan ini, lalu bendera diambil alih oleh Tsabit bin Aqrom, dan dia berkata kepada kaum muslimin: Pilihlah seorang lelaki sebagai peminpin kalian, maka mereka memilih Khalid bin Walid, maka pada peristiwa inilah tanpak jelas keberanian dan kejeniusannya. Dia kembali mengatur para pasukan, maka dia merubah strategi dengan menjadikan pasukan sayap kanan berpindah ke sayap kiri dan sebalikanya pasukan sayap kiri berpindah ke sebelah kanan, kemudian sebagian pasukan diposisikan agak mundur, setelah beberapa saat mereka dating sekan pasukan batuan yang baru datang, hal ini guna melemahkan semangat berperang musuh kemudian kesatuan tentara kaum muslimin terlihat menjadi besar atas pasukan kaum Romawi sehingga menyebabkan mereka mundur dan semangat mereka melemah. Dia ra telah memperlihatkan berbagai macam bentuk keberanian dan kepahlawanan yang tidak bisa tandingi oleh semangat para pahlawan. Selain itu, dengan keahliannya dan kecerdasannya dia mulai mengarahkan pasukan kaum muslimin untuk mundur secara teratur dengan cara yang unik, dan cukuplah dengan peukulan yang seperti itu, dan beliau melihat agar pasukan kaum muslimin tidak terserang pada sebuah peperangan yang tidak sebanding. Dan saw menyebut hal itu sebagai kemenangan dan beliau bersabda pada saat menyebut ketiga komandan yang gugur syahid kemudian bendera akan diambil oleh salah satu pedang Allah sehingga Allah memberikan kemenangan bagi kaum muslimin atas musuhnya.[Shahih Bukhari: 3/33 no: 3757]

Khalid juga ikut serta dalam peperangan melawan kaum yang murtad, beliau juga ikut berperang menju Iraq, dan para ulama berbeda pendapat tentang sebab dipecatnya Khalid sebagai komando perang di Syam, dan
semoga yang benar adalah apa yang dikatkaan oleh Umar bin Khattab ra: "Tidak, aku akan memecat Khalid sehingga masyarakat mengetahui bahwa sesungguhnya Allah membela agamanya tidak dengan Khalid. [Siar A’lamun Nubala’: 1/378]

Di antara ungkapannya yang agung adalah tidaklah sebuah malam di manaaku bersama seorang pengantin yang aku cintai lebih aku sukai dari sebuah malam yang dingin lagi bersalju dalam sebuah pasukan kaum muhajirin guna menyerang musuh.[Siar A’lamun Nubala’: 1/375]

Dia pernah menulis sebuah surat kepada kaesar Persia yang mengatakan: Sungguh aku telah telah datang kepada kalian dengan pasukan yang lebih mencintai kematian sebagaimana orang-orang Persia menyenangi minum khamar.

Qais bin Hazim berkata: Aku telah mendengar Khalid berkata: Berjihad telah menghalangiku mempelajari Al-Qur’anul Karim.[Disebutkan oleh Al-Hafiz di dalam kitab Al-Mathalibul Aliyah: 4041]

Abu Zannad berkata: Pada Sa’ad Khlaid akan meninggal dunia dia menangis dan berkata: Aku telah mengikuti perang ini dan perang ini bersama pasukan, dan tidak ada satu jengaklpun dari bagian tubuhku kecuali padanya terdapat bekas pukulan pedang atau lemparan panah atau tikaman tombak dan sekarang aku mati di atas ranjangku terjelembab sebgaiamana matinya seekor unta. Janganlah mata ini terpejam seperti
mata para pengecut.[Siar A’lamun Nubala’: 1/382]

Sungguh Khalaid mengharapkan mati syahid dan semoga Allah menyampaikannya pada derjat yang dicita-citakannya.

Dari Sahl bin Abi Umamah bin Hanif dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi saw bersabda: Barangsiapa yang meminta kepada Allah mati syahid dengan sebenarnya maka Allah akan menyampaikannya kepada derajat orangorang yang mati syahid sekalipun dirinya mati di atas ranjangnya.[Shahih Muslim: 3/1517 no: 1909]

Lalu pada saat wafat, dia tidak meninggalkan kecuali kuda, senjata dan budaknya yang dijadikannya sebagai shadaqah dijalan Allah, pada saat berita kematian tersebut sampai kepada Amirul Mu’minin, Umar bin Al-
Kattab dia berkata: Semoga Allah meberikan rahmatnya kepada Abu Sualiaman, sesungguhnya dia seperti apa yang kami perkirakan”.[Siar A’lamun Nubala’: 1/383]

Dan disebutkan di dalam hadits riwayat Umar bin AL-Khattab tentang zakat bahwa Nabi saw bersabda: Adapun Khalid maka dia telah menyimpan baju besinya dan perlengkapan berperangnya di jalan Allah”.[Shahih Bukhari: 1/447 disebutkan secara mu’allaq di dalam bab zakat.]

Dia wafat pada tahun 21 H di Himsh pada usia 52 tahun, semoga Allah memberikan kepada Khalid balasan yang lebih baik dan semoga Allah mempertemukan kita dengannya surga yang mulia, dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga, shahabat serta seluruh pengikut beliau.

Napoleon Bonaparte adalah Seorang Muslim


Siapa yang tidak mengenal Napoleon Bonaparte, seorang Jendral dan Kaisar Prancis yang tenar kelahiran Ajaccio, Corsica 1769. Namanya terdapat dalam urutan ke-34 dari Seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah yang ditulis oleh Michael H. Hart.

Karier militer Napoleon menyuguhkan paradoks yang menarik. Kegeniusan gerakan taktiknya amat memukau, dan bila diukur dari segi itu semata, bisa jadi dia bisa dianggap seorang jendral terbesar sepanjang jaman. Sebagai seorang yang berkuasa dan berdaulat penuh terhadap negara Prancis sejak Agustus 1793, seharusnya ia merasa puas dengan segala apa yang telah diperolehnya itu. Tapi rupanya kemegahan dunia belum bisa memuaskan batinnya, agama yang dianutnya waktu itu ternyata tidak bisa membuat Napoleon Bonaparte merasa tenang dan damai.

Akhirnya pada tanggal 02 Juli 1798, 23 tahun sebelum kematiannya ditahun 1821, Napoleon Bonaparte menyatakan ke-Islamannya di hadapan dunia Internasional. Namanya berubah menjadi ‘Aly (Ali) Napoleon Bonaparte’.

Apa yang membuat Napoleon ini lebih memilih Islam daripada agama lamanya, Kristen ?

Berikut penuturannya sendiri yang pernah dimuat di majalah Genuine Islam, edisi Oktober 1936 terbitan Singapura.
"I read the Bible; Moses was an able man, the Jews are villains, cowardly and cruel. Is there anything more horrible than the story of Lot and his daughters?"

"The science which proves to us that the earth is not the centre of the celestial movements has struck a great blow at religion. Joshua stops the sun! One shall see the stars falling into the sea... I say that of all the suns and planets,..."

"Saya membaca Bible; Musa adalah orang yang cakap, sedang orang Yahudi adalah bangsat, pengecut dan jahat. Adakah sesuatu yang lebih dahsyat daripada kisah Luth beserta kedua puterinya?" (Lihat Kejadian 19:30-38)


"Sains telah menunjukkan bukti kepada kita, bahwa bumi bukanlah pusat tata surya, dan ini merupakan pukulan hebat terhadap agama Kristen. Yosua menghentikan matahari (Yosua 10: 12-13). Orang akan melihat bintang-bintang berjatuhan kedalam laut.... saya katakan, semua matahari dan planet-planet ...."

Selanjutnya Napoleon Bonaparte berkata :

"Religions are always based on miracles, on such things than nobody listens to like Trinity. Yesus called himself the son of God and he was a descendant of David. I prefer the religion of Muhammad. It has less ridiculous things than ours; the turks also call us idolaters."

"Agama-agama itu selalu didasarkan pada hal-hal yang ajaib, seperti halnya Trinitas yang sulit dipahami. Yesus memanggil dirinya sebagai anak Tuhan, padahal ia keturunan Daud. Saya lebih meyakini agama yang dibawa oleh Muhammad. Islam terhindar jauh dari kelucuan-kelucuan ritual seperti yang terdapat di dalam agama kita (Kristen); Bangsa Turki juga menyebut kita sebagai orang-orang penyembah berhala dan dewa."

Selanjutnya :

"Surely, I have told you on different occations and I have intimated to you by various
discourses that I am a Unitarian Musselman and I glorify the prophet Muhammad and that I love the Musselmans."

"Dengan penuh kepastian saya telah mengatakan kepada anda semua pada kesempatan yang berbeda, dan saya harus memperjelas lagi kepada anda di setiap ceramah, bahwa saya adalah seorang Muslim, dan saya memuliakan nabi Muhammad serta mencintai orang-orang Islam."

Akhirnya ia berkata :
"In the name of God the Merciful, the Compassionate. There is no god but God, He has no son and He reigns without a partner."

"Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tiada Tuhan selain Allah. Ia tidak beranak dan Ia mengatur segala makhlukNya tanpa pendamping."

Napoleon Bonaparte mengagumi Al-Quran setelah membandingkan dengan kitab sucinya terdahulu, Alkitab. Akhirnya ia menemukan keunggulan-keunggulan Al-Quran, juga semua cerita yang melatar belakanginya.

Dalam buku yang berjudul ‘Bonaparte et I'Islarn oleh Cherlifs, Paris, halaman 105’, Napoleon Bonaparte berkata sebagai berikut: "I hope the time is not far off when I shall be able to unite all the wise and educated men of all the countries and establish a uniform regime based on the prinsiples of the Qur'an wich alone can lead men to happiness.”

“Saya meramalkan bahwa tidak lama lagi akan dapat dipersatukan semua manusia yang berakal dan berpendidikan tinggi untuk memajukan satu kesatuan kekuasaan yang berdasarkan prinsip--prinsip ajaran Islam, karena hanyalah Qur'an itu satu-satunya kebenaran yang mampu memimpin manusia kepada kebahagiaan.”

Beberapa sumber lain yang menyatakan ke-Islaman beliau:
  • Buku ‘Satanic Voices - Ancient and Modern’ dengan penulis David M. Pidcock (1992 ISBN: 1-81012-03-1), pada hal. 61
  • Surat kabar Perancis ‘Le Moniteur’, yang menulis bahwa beliau masuk Islam pada tahun 1798.
  • Buku ‘Napoleon And Islam’ dengan penulis C. Cherfils (ISBN: 967-61-0898-7).
Islam hadir tidak hanya mayoritas di suatu negara tapi juga sebagai minoritas khususnya di benua Eropa dan Amerika. Napoleon Bonaparte adalah salah satu contoh dari pribadi muslim yang sukses sebagai minoritas di Perancis.

Meskipun pada akhirnya Napoleon dimakamkan secara Kristen di Perancis pada tgl 15 Desember 1840 di gereja Paris, namun sepertinya hal tersebut sebagai sesuatu untuk mengaburkan fakta bahwa beliau adalah seorang Muslim. Sama halnya di Indonesia, Pattimura yang seorang muslim bahkan cicitnya menyatakan mereka adalah muslim, lalu tiba-tiba menjadi Thomas Mattulesi Pattimura.

Terlepas dari semua hal tersebut, kiranya kita mesti merenungkan ucapan beliau tidak lama setelah mempelajari isi Al-Quran dan sebelum masuk Islam; yang pertama menguntungkan kaum muslimin dan yang kedua membahayakan mereka. Ucapan yang keluar dari mulut politikus besar ini dan menguntungkan kaum muslimin adalah, "Aku telah belajar dari buku ini, dan aku merasa bahwa apabila kaum muslimin mengamalkan aturan-aturan komprehensif buku ini, maka niscaya mereka tidak akan pernah terhinakan."

Adapun kata-kata yang membahayakan kaum muslimin adalah, "Selama Al-Quran ini berkuasa di tengah-tengah kaum muslimin, dan mereka hidup di bawah naungan ajaran-ajarannya yang sangat istimewa, maka kaum muslimin tidak akan tunduk kepada kita, kecuali bila kita pisahkan antara mereka dengan Al-Quran."

Wallahu a’lam.

Minggu, 18 Desember 2011

Kritik Atas Pendapat Yang Menyatakan Mengoreksi Penguasa Harus Dengan (Empat Mata)

Perlu kami nyatakan bahwa hukum asal amar makruf nahi mungkar harus dilakukan secara terang-terangan, dan tidak boleh disembunyikan. Ini adalah pendapat mu'tabar dan perilaku generasi salafus sholeh. Namun, sebagian orang bodoh berpendapat bahwa menasehati seorang penguasa haruslah dengan cara sembunyi-sembunyi (empat mata). Menurut mereka, seorang Muslim dilarang menasehati mereka dengan terang-terangan di depan umum, atau mengungkapkan kejahatan dan keburukan mereka di depan umum, karena ada dalil yang mengkhususkan. Pendapat semacam ini adalah pendapat bathil, dan bertentangan dengan realitas muhasabah al-hukkam yang dilakukan oleh Nabi saw, para shahabat dan generasi-generasi salafus shaleh sesudah mereka.

Pasalnya, pendapat tersebut (keharusan mengoreksi pennguasa dengan empat mata) bertentangan dengan point-point berikut ini:

a. Perilaku Rasulullah saw dalam mengoreksi pejabat yang diserahi tugas mengatur urusan rakyat (pemerintahan). Beliau saw tidak segan-segan mengumumkan perbuatan buruk yang dilakukan oleh pejabatnya di depan kaum Muslim, dengan tujuan agar pelakunya bertaubat dan agar pejabat-pejabat lain tidak melakukan perbuatan serupa. Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Humaid As Sa'idiy bahwasanya ia berkata:


اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ الْلَّتَبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ خَطَبَنَا فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ وَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَهُ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطِهِ يَقُولُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ بَصْرَ عَيْنِي وَسَمْعَ أُذُنِي

"Rasulullah saw mengangkat seorang laki-laki menjadi amil untuk menarik zakat dari Bani Sulaim. Laki-laki itu dipanggil dengan nama Ibnu Luthbiyyah. Tatkala tugasnya telah usai, ia bergegas menghadap Nabi saw; dan Nabi Mohammad saw menanyakan tugas-tugas yang telah didelegasikan kepadanya. Ibnu Lutbiyah menjawab, ”Bagian ini kuserahkan kepada anda, sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah diberikan orang-orang (Bani Sulaim) kepadaku. Rasulullah saw berkata, ”Jika engkau memang jujur, mengapa tidak sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu datang sendiri kepadamu”. Beliau saw pun berdiri, lalu berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Setelah memuji dan menyanjung Allah swt, beliau bersabda, ”’Amma ba’du. Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian untuk menjadi amil dalam berbagai urusan yang diserahkan kepadaku. Lalu, ia datang dan berkata, ”Bagian ini adalah untukmu, sedangkan bagian ini adalah milikku yang telah dihadiahkan kepadaku”. Apakah tidak sebaiknya ia duduk di rumah ayah dan ibunya, sampai hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia memang benar-benar jujur? Demi Allah, salah seorang di antara kalian tidak akan memperoleh sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan menghadap kepada Allah swt dengan membawanya. Ketahuilah, aku benar-benar tahu ada seseorang yang datang menghadap Allah swt dengan membawa onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik. Lalu, Nabi saw mengangkat kedua tangannya memohon kepada Allah swt, hingga aku (perawi) melihat putih ketiaknya”. [HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Hadits di atas adalah dalil sharih yang menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw pernah menasehati salah seorang pejabatnya dengan cara mengungkap keburukannya secara terang-terangan di depan khalayak ramai. Beliau saw tidak hanya menasehati Ibnu Luthbiyyah dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi, membeberkan kejahatannya di depan kaum Muslim. Lantas, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa haruslah dengan sembunyi-sembunyi (empat mata), sedangkan Nabi saw, manusia yang paling mulia akhlaqnya, justru menasehati salah satu pejabatnya (penguasa Islam) dengan terangan-terangan, bahkan diungkap di depan khalayak ramai?

b. Ada perintah dari Nabi saw agar kaum Muslim memberi nasehat kepada para penguasa fajir dan dzalim secara mutlak. Imam Al Hakim dan Ath Thabaraniy menuturkan riwayat dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

سيد الشهداء عند الله يوم القيامة حمزة بن عبد المطلب ورجل قام إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله

"Pemimpin para syuhada di sisi Allah, kelak di hari Kiamat adalah Hamzah bin 'Abdul Muthalib, dan seorang laki-laki yang berdiri di depan penguasa dzalim atau fasiq, kemudian ia memerintah dan melarangnya, lalu penguasa itu membunuhnya". [HR. Imam Al Hakim dan Thabaraniy]

Hadits ini datang dalam bentuk umum. Hadits ini tidak menjelaskan secara rinci tatacara mengoreksi seorang penguasa; apakah harus dengan sembunyi-sembunyi atau harus dengan terang-terangan. Atas dasar itu, seorang Muslim dibolehkan menasehati penguasa dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi (empat mata). Hadits ini tidak bisa ditakhshih dengan hadits-hadits yang menuturkan tentang muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) dengan empat mata. Pasalnya, hadits-hadits yang menuturkan tentang menasehati penguasa dengan empat mata adalah hadits dla'if. (Penjelasannya lihat di point berikutnya).

c. Ada perintah dari Rasulullah saw untuk mengoreksi (muhasabah) penguasa hingga taraf memerangi penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata (kufran bawahan). Nabi saw memerintahkan para shahabat untuk mengoreksi penguasa dengan pedang, jika telah tampak kekufuran yang nyata. Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari 'Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:

دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

"Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untu selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah."[HR. Imam Bukhari]

Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا

"Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)". Para shahabat bertanya, "Tidaklah kita perangi mereka?" Beliau bersabda, "Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat" Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]

Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, "Di dalam hadits ini terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi di masa depan, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw….Sedangkan makna dari fragmen, ""Tidaklah kita perangi mereka?" Beliau bersabda, "Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat," jawab Rasul; adalah ketidakbolehan memisahkan diri dari para khalifah, jika mereka sekedar melakukan kedzaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak mengubah satupun sendi-sendi dasar Islam."

Hadits di atas menunjukkan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu seorang Muslim wajib mengoreksi penguasa dengan terang-terangan bahkan dengan pedang, jika para penguasanya melakukan kekufuran yang nyata. Hadits-hadits di atas juga menjelaskan bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa-penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata. Selain itu, riwayat di atas juga menunjukkan bahwa menasehati penguasa boleh dilakukan dengan pedang, jika penguasa tersebut telah menampakkan kekufuran yang nyata. Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi (empat mata) dan tidak boleh dilakukan dengan terang-terangan?

d. Realitas muhasabah yang dilakukan oleh para shahabat ra terhadap para penguasa. Apabila kita meneliti secara jernih dan mendalam realitas muhasabah hukam yang dilakukan oleh shahabat ra, dapatlah disimpulkan bahwa mereka melakukan muhasabah dengan berbagai macam cara, tidak dengan satu cara saja.

Riwayat-riwayat berikut ini menjelaskan kepada kita bagaimana cara-cara muhasabah yang mereka lakukan.
• Di dalam Kitab Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8, hal. 217, disebutkan bahwasanya Imam Al Huda al-Husain bin 'Ali ra, pemimpin pemuda ahlul jannah, memisahkan diri (khuruj) dari penguasa fajir Khalifah Yazid bin Mu'awiyyah. Imam Husain ra dibai'at oleh penduduk Kufah pada tahun 61 H. Beliau ra juga mengutus anak pamannya, Muslim bin 'Aqil ra untuk mengambil bai'at penduduk Kufah untuk dirinya. Dan tidak kurang 18 ribu orang membai'at dirinya. Dan di dalam sejarah, tak seorang pun menyatakan bahwa Imam Husain ra dan penduduk Kufah pada saat itu termasuk firqah (kelompok) yang sesat )".[Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8/217] Inilah cara yang dilakukan oleh Imam Husain bin 'Ali ra untuk mengoreksi (muhasabah) kepemimpinan Yazid bin Mu'awiyyah.

• Sebelum Imam Husain bin 'Ali ra, kaum Muslim juga menyaksikan Ummul Mukminin 'Aisyah ra yang memimpin kaum Muslim untuk khuruj dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Inilah cara Ummul Mukminin 'Aisyah ra mengoreksi Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Hingga akhirnya, meletuslah peperangan yang sangat besar dan terkenal dalam sejarah umat Islam, Perang Jamal.

• Ketika Umar bin Khaththab ra berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, "Barangsiapa di antara kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya". Seorang laki-laki Arab berdiri dan berkata, "Demi Allah wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami".

• Pada saat Umar bin Khaththab ra mengenakan baju dari kain Yaman yang di dapat dari harta ghanimah. Beliau ra kemudian berkhuthbah di hadapan para shahabat dengan baju itu, dan berkata, "Wahai manusia dengarlah dan taatilah..." Salman Al Farisi ra, seorang shahabat mulia berdiri seraya berkata kepadanya, "Kami tidak akan mendengar dan mentaatimu". Umar berkata, "Mengapa demikian?" Salman menjawab, "Dari mana kamu mendapat pakaian itu, sedangkan kamu hanya mendapat satu kain, sedangkan kamu bertubuh tinggi? Beliau menjawab, "Jangan gesa-gesa, lalu beliau memanggil, "Wahai 'Abdullah". Namun tidak seorang pun menjawab. Lalu beliau ra berkata lagi, "Wahai 'Abdullah bin Umar..". 'Abdullah menjawab, "Saya wahai Amirul Mukminin". Beliau berkata, "Bersumpahlah demi Allah, apakah kain yang aku pakai ini kainmu? Abdullah bin Umar menjawab, "Demi Allah, ya". Salman berkata, "Sekarang perintahlah kami, maka kami akan mendengar dan taat". ['Abdul 'Aziz Al Badriy, Al-Islam bain al-'Ulama' wa al-Hukkam Ihitam Putih Wajah Ulama dan Penguasa.terj), hal. 70-71]

Amirul Mukminin Mu'awiyyah berdiri di atas mimbar setelah memotong jatah harta beberapa kaum Muslim, lalu ia berkata, "Dengarlah dan taatilah..". Lalu, berdirilah Abu Muslim Al Khulani mengkritik tindakannya yang salah, "Kami tidak akan mendengar dan taat wahai Mu'awiyyah!". Mu'awiyyah berkata, "Mengapa wahai Abu Muslim?". Abu Muslim menjawab, "Wahai Mu'awiyyah, mengapa engkau memotong jatah itu, padahal jatah itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih payah ibu bapakmu? Mu'awiyyah marah dan turun dari mimbar seraya berkata kepada hadirin, "Tetaplah kalian di tempat". Lalu, dia menghilang sebentar dari pandangan mereka, lalu keluar dan dia sudah mandi. Mu'awiyyah berkata, "Sesungguhnya Abu Muslim telah berkata kepadaku dengan perkataan yang membuatku marah. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, "Kemarahan itu termasuk perbuatan setan, dan setan diciptakan dari api yang bisa dipadamkan dengan air. Maka jika salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia mandi". Sebenarnya saya masuk untuk mandi. Abu Muslim berkata benar bahwa harta itu bukan hasil jerih payahku dan bukan pula jerih payah ayahku, maka ambillah jatah kalian".[Hadits ini dituturkan oleh Abu Na'im dalam Kitab Al-Khiyah, dan diceritakan kembali oleh Imam Al Ghazali dalam Kitab Al Ihya', juz 7, hal. 70]

• Seorang ulama besar, Syaikh Mundzir bin Sa'id mengkritik sangat keras Khalifah Abdurrahman An Nashir Lidinillah ra yang telah menguras harta pemerintahan untuk mempermegah dan memperindah kota Az Zahra. Ulama besar ini mengkritik sang Khalifah dalam khuthbah Jum'atnya secara terang-terangan di depan Khalifah An Nashir dan dihadiri orang penduduk kota Az Zahra. [Abdul Hamid Al Ubbadi, Min Akhlaq al-'Ulamaa', Majalah Al Azhar, Ramadhan, 1371 H]

• Dalam Kitab Qalaaid Al Jawaahir disebutkan bahwasanya Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berdiri di atas mimbar untuk mengkritik dan memberikan nasehat kepada Gubernur Yahya bin Sa'id yang terkenal dengan julukan Abnu Mazaahim Adz Dzaalim Al Qadla. Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berkata, "Semoga orang Islam tidak dipimpin oleh orang yang paling dzalim; maka apa jawabanmu kelak ketika menghadap Tuhan semesta alam yang paling pengasih? Gubernur itu gemetar dan langsung meninggalkan apa yang dinasehatkan kepadanya". [Qalaaid Al Jawaahir, hal. 8]

• Sulthan al-'Ulama, Al 'iz bin Abdus Salam telah mengkritik Raja Ismail yang telah bersekongkol dengan orang-orang Eropa Kristen untuk memerangi Najamuddin bin Ayyub. Ulama besar ini tidak hanya membuat fatwa, tetapi juga mengkritik tindakan Raja Ismail di depan mimbar Jum'at di hadapan penduduk Damaskus. Saat itu Raja Ismail tidak ada di Damaskus. Akibat fatwa dan khuthbahnya yang tegas dan lurus, Al 'Iuz 'Abdus Salam dipecat dari jabatannya dan dipenjara di rumahnya. [As Subki, Thabaqat, dan lain-lain]

Kisah-kisah di atas menunjukkan bagaimana cara para ulama shalih dan mukhlish menasehati penguasa-penguasanya. Kisah-kisah semacam ini sangat banyak disebut di dalam kitab-kitab tarikh. Mereka tidak segan-segan untuk menasehati para penguasa menyimpang dan dzalim secara terang-terangan, mengkritik kebijakannya di mimbar-mimbar terbuka, maupun fatwa-fatwanya.

Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa haruslah dengan empat mata saja, sementara ulama-ulama yang memiliki ilmu dan ketaqwaannya justru memilih melakukannya dengan terang-terangan dan terbuka?

e. Kelemahan hadits riwayat Imam Ahmad. Nash-nash qath'iy telah menunjukkan kepada kita bahwa hukum asal nasehat itu harus disampaikan secara terang-terangan, dan tidak boleh sembunyi-sembunyi. Al Quran dan Sunnah telah menyebut masalah ini dengan sangat jelas. Namun, sebagian orang awam menyangka ada riwayat yang mengkhususkan ketentuan ini. Mereka berpendapat bahwa mengoreksi penguasa harus dilakukan dengan empat mata, karena ada dalil yang mengkhususkan. Mereka berdalih dengan hadits yang sumbernya (tsubutnya) masih perlu dikaji secara mendalam. Hadits itu adalah hadits yang riwayatkan oleh Imam Ahmad.

Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dan berkata:

حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارِيَا حِينَ فُتِحَتْ فَأَغْلَظَ لَهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّىغَضِبَ عِيَاضٌ ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِيَ فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ أَلَمْ تَسْمَعْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِيءُ إِذْ تَجْتَرِئُ عَلَى سُلْطَانِ اللَّهِ فَهَلَّا خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ فَتَكُونَ قَتِيلَ سُلْطَانِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

"Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al Mughirah, dan dia berkata, "Telah menuturkan kepada kami Shofwan, dan ia berkata, "Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih bin 'Ubaid al Hadlramiy dan lainnya, dia berkata, "'Iyadl bin Ghanm mendera penduduk Dariya, ketika berhasil dikalahkan. Hisyam bin Hakim pun mengkritik Iyadl bin Ghanm dengan kasar dan keras, hingga 'Iyadl marah. Ketika malam datang, Hisyam bin Malik mendatangi 'Iyadl, dan meminta maaf kepadanya. Lalu Hisyam berkata kepada 'Iyadl, "Tidakkah engkau mendengar Nabi saw bersabda, "Sesungguhnya manusia yang mendapat siksa paling keras adalah manusia yang paling keras menyiksa manusia di kehidupan dunia". 'Iyadl bin Ghanm berkata, "Ya Hisyam bin Hakim, sungguh, kami mendengar apa yang engkau dengar, dan kami juga menyaksikan apa yang engkau saksikan; tidakkah engkau mendengar Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa hendak menasehati penguasa (orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah), maka janganlah menasehatinya dengan terang-terangan, tetapi ambillah tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima nasehat, maka baginya pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya untuk orang itu. Sesungguhnya, engkau ya Hisyam, kamu sungguh berani, karena engkau berani kepada penguasanya Allah. Lalu, tidakkah engkau takut dibunuh oleh penguasanya Allah, dan engkau menjadi orang yang terbunuh oleh penguasa Allah tabaaraka wa ta'aala".[HR. Imam Ahmad]

'Iyadl bin Ghanm adalah Ibnu Zuhair bin Abiy Syadad, Abu Sa'ad al-Fahri. Beliau adalah seorang shahabat yang memiliki keutamaan. Beliau termasuk shahabat yang melakukan bai'at Ridlwan; dan wafat pada tahun 20 H di Syams.
Hisyam bin Hakim bin Hazam bin Khuwailid al-Qurasyiy al-Asdiy adalah shahabat yang memiliki keutamaan, dan beliau adalah putera dari seorang shahabat. Beliau wafat pada awal-awal masa kekhilafahan Mu'awiyyah bin Abi Sofyan. Ada orang yang menduga bahwa beliau meraih mati syahid di Ajnadain. Beliau disebut di dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim dalam haditsnya Umar tatkala ia mendengarnya membaca surat Al Furqan. Beliau wafat sebelum ayahnya meninggal dunia. Imam Muslim, Abu Dawud, dan An Nasaaiy menuturkan hadits dari beliau, sebagaimana disebutkan dalam Kitab At Taqriib.
Di dalam Kitab Tahdziib al-Kamal, Al Maziy berkata, "Diriwayatkan darinya:...dan 'Urwah bin Az Zubair...hingga akhir. Adapun Syuraih bin 'Ubaid al-Hadlramiy al-Hamashiy, dia adalah seorang tabi'in tsiqqah (terpercaya). Riwayatnya dari shahabat secara mursal, sebagaimana disebut dalam Tahdziib al-Kamal, "Mohammad bin 'Auf ditanya apakah Syuraih bin 'Ubaid al-Hadlramiy mendengar dari Abu Darda'? Mohammad bin 'Auf menjawab, "Tidak". Juga ditanyakan kepada Mohammad bin 'Auf, apakah dia mendengar dari seorang shahabat Nabi saw? Dia menjawab, "Saya kira tidak. Sebab, ia tidak mengatakan dari riwayatnya, "saya mendengar". Dan dia adalah tsiqqah (terpercaya)".
Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Kitab At Taqriib mengatakan, "Dia tsiqqah (terpercaya), dan banyak meriwayatkan hadits secara mursal; karena tadlisnya. Ibnu Abi Hatim di dalam Kitab Al Maraasiil berkata, "Saya mendengar ayahku berkata, "Syuraih bin 'Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah, al-Harits bin Harits, dan Miqdam. Ibnu Abi Hatim berkata, "Saya mendengar bapakku berkata, "Syuraih bin 'Ubaid menuturkan hadits dari Abu Malik Al Asy'ariy secara mursal".
Jika Syuraih bin 'Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah Shadiy bin 'Ijlaan al-Bahiliy ra yang wafat pada tahun 76 H dan Miqdam al-Ma'diy Karab ra yang wafat pada tahun 87 H, maka bagaimana bisa dinyatakan bahwa Syuraih bin 'Ubaid bertemu dengan Hisyam bin Hakim yang wafat pada awal-awal pemerintahan Mu'awiyyah, lebih-lebih lagi 'Iyadl bin Ghanm yang wafat pada tahun 20 Hijrah pada masa 'Umar bin Khaththab ra?
Selain itu, Syuraih bin 'Ubaid ra meriwayatkan hadits itu dengan ta'liq (menggugurkan perawi atasnya) dan di dalam hadits itu tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, atau mendengar orang yang mengisahkan kisah tersebut. Dengan demikian, hadits di atas harus dihukumi sebagai hadits munqathi' (terputus), dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Demikian pula hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad secara ringkas (mukhtashar) dari Ibnu 'Abi 'Ashim di dalam kitab As Sunnah, di mana Imam Ahmad berkata, "Telah meriwayatkan kepada kami 'Amru bin 'Utsman, di mana dia berkata,"Telah meriwayatkan kepada kami Baqiyah, dan dia berkata, "Telah meriwayatkan kepada kami Sofwan bin 'Amru, dari Syuraih bin 'Ubaid, bahwasanya dia berkata, "'Yadl bin Ghanam berkata kepada Hisyam bin Hakim, tidakkah engkau mendengar sabda Rasulullah saw yang bersabda, "Barangsiapa hendak menasehati penguasa janganlah ia sampaikan dengan terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia ambil tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima maka ia akan mendapatkan pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya".[HR. Imam Ahmad]
Baqiyyah adalah seorang mudalis. Walaupun Baqiyyah menuturkan hadits ini dengan sharih menurut versi Ibnu Abi 'Aashim, tetapi, tetap saja tidak bisa menyelamatkan Baqiyyah. Pasalnya, ia adalah perawi yang suka melakukan tadlis dengan tadlis yang buruk (tadlis qabiih) –yakni tadlis taswiyah . Dikhawatirkan dari tadlisnya itu 'an'anah [(meriwayatkan dengan 'an (dari), 'an (dari)] dari gurunya dari gurunya jika ditarik ke atas. Di dalam Kitab Al Majma', Imam Al Haitsamiy berkata, "Yang benar, jalur darinya (Syuraih bin 'Ubaid) hanya berasal dari Hisyam saja. Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad, dan rijalnya tsiqat (terpercaya). Akan tetapi, saya tidak mendapati Syuraih bin 'Ubaid mendengar hadits ini langsung dari 'Iyadl dan Hisyam, walaupun dia seorang tabi'un.
Catatan lain, Syuraih bin 'Ubaid meriwayatkan hadits ini dengan ta'liq (menggugurkan perawi atasnya), dan di dalam hadits ini tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, maupun mendengar dari orang yang menceritakan kisah tersebut. Oleh karena itu, hadits ini harus dihukumi sebagai hadits munqathi'; dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Adapun dari jalur-jalur lain, misalnya dari jalur Jabir bin Nafir, maka setelah diteliti, ada perawi yang lemah, yakni Mohammad bin Ismail bin 'Iyasy.
Jika demikian kenyataannya, gugurlah berdalil dengan hadits riwayat Imam Ahmad di atas.
[Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy]

KAPAN PENGUASA TIDAK BOLEH DITAATI?


Mentaati penguasa merupakan salah satu kewajiban seorang Muslim. Allah swt berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri di antara kalian. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.”[al-Nisaa’:59]

Ketika menafsirkan surat al-Nisa’:59, Imam Nasafiy menyatakan:

ولما أمر الولاة بأداء الأمانات والحكم بالعدل أمر الناس بأن يطيعوهم بقوله { ياأيها الذين ءَامَنُواْ أَطِيعُواْ الله وَأَطِيعُواْ الرسول وَأُوْلِي الأمر مِنْكُمْ } أي الولاة أو العلماء لأن أمرهم ينفذ على الأمر { فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِى شَيْءٍ } فإن اختلفتم أنتم وأولو الأمر في شيء من أمور الدين { فَرُدُّوهُ إِلَى الله والرسول } أي ارجعوا فيه إلى الكتاب والسنة { إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بالله واليوم الآخر } أي إن الإيمان يوجب الطاعة دون العصيان ، ودلت الآية على أن طاعة الأمراء واجبة إذا وافقوا الحق فإذا خالفوه فلا طاعة لهم لقوله عليه السلام ” لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق ” . وحكي أن مسلمة بن عبد الملك بن مروان قال لأبي حازم : ألستم أمرتم بطاعتنا بقوله : و«أولي الأمر منكم»؟ فقال أبو حازم : أليس قد نزعت الطاعة عنكم إذا خالفتم الحق . بقوله «فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله» أي القرآن و«الرسول» في حياته وإلى أحاديثه بعد وفاته { ذلك } إشارة إلى الرد أي الرد إلى الكتاب والسنة

“Ayat ini menunjukkan bahwa taat kepada para pemimpin adalah wajib, jika mereka sejalan dengan kebenaran. Apabila ia berpaling dari kebenaran, maka tidak ada ketaatan bagi mereka. Ketetapan semacam ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiyatan kepada Allah.”[HR. Ahmad]. Dituturkan bahwa Maslamah bin Abdul Malik bin Marwan berkata kepada Abu Hazim,” Bukankah engkau diperintahkan untuk mentaati kami, sebagaimana firman Allah, “dan taatlah kepada ulil amri diantara kalian..” Ibnu Hazim menjawab, “Bukankah ketaatan akan tercabut dari anda, jika anda menyelisihi kebenaran, berdasarkan firman Allah, “jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah, yakni kepada Rasul pada saat beliau masih hidup, dan kepada hadits-hadits Rasul setelah beliau saw wafat..”
Pendapat senada juga dikemukakan oleh al-Hafidz al-Suyuthi dalam kitab Tafsirnya,Durr al-Mantsuur, Imam Syaukani dalam Fath al-Qadir, dan serta kalangan mufassir lainnya.

Ibnu al-‘Arabiy, dalam kitab Ahkaam al-Quran,menyatakan:
“Kemudian mereka diperintahkan untuk mentaati pemimpin (ulil amri) yang telah diperintahkan oleh Rasulullah. Ketaatan kepada mereka bukanlah ketaatan mutlak, akan tetapi yang dikecualikan dalam hal ketaatan dan apa yang diwajibkan kepada mereka….”[2]
Dalam kitab Minhaaj al-Sunnah, Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah berkata:
“Sesungguhnya, Nabi saw telah memerintahkan untuk taat kepada imam (pemimpin) legal yang memiliki kekuasaan, dan mampu mengatur urusan masyarakat. Tidak ada ketaatan bagi pemimpin yang tidak dikenal dan tidak legal. Tidak ada ketaatan bagi orang yang tidak memiliki kekuasaan dan tidak memiliki kemampuan apapun, secara asal. “[3]
Di dalam hadits-hadits shahih juga dituturkan mengenai kewajiban mentaati penguasa (ulil amriy), baik yang adil maupun fasik. Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat dari Abi Salamah bin ‘Abdirrahman, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah berkata:

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي

Rasulullah saw telah bersabda, “Siapa saja yang mentaati aku, maka dia telah mentaati Allah swt, dan barang siapa bermaksiyat kepadaku, sungguh dia telah bermaksiyat kepada Allah. Siapa saja yang mentaati pemimpinku, maka dia telah mentaatiku; dan barangsiapa tidak taat kepada pemimpinku, maka dia telah berbuat maksiyat kepadaku..”[HR. Bukhari]
Hisyam bin ‘Urwan meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia menyatakan, bahwa Rasulullah saw bersabda:

سَيَلِيْكُمْ بَعْدِي وُلَاةٌ فَيَلِيْكُمُ الْبِرَّ بِبِرِّهِ وَالْفَاجِرُ بِفُجُوْرِهِ فَاسْمَعُوْا لَهُمْ وَأَطِيْعُوْا فِي كُلِّ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَصَلُّوْا وَرَاءَهُمْ فَإِنْ أَحْسَنُوْا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أًَسَاءُوْا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

“Setelahku akan ada para penguasa, maka yang baik akan memimpin kalian dengan kebaikannya, sedangkan yang jelek akan memimpin kalian dengan kejelekannya. Untuk itu, dengar dan taatilah mereka dalam segala urusan bila sesuai dengan yang haq. Apabila mereka berbuat baik, maka kebaikan itu adalah hak bagi kalian. Apabila mereka berbuat jelek maka kejelekan itu hak bagi kalian untuk mengingatkan mereka, serta kewajiban mereka untuk melaksanakannya.”
Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits dari ‘Abdullah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepada kami:

سَتَكُونُ أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ
“Kalian akan melihat pada masa setelahku, ada suatu keadaan yang tidak disukai serta hal-hal yang kalian anggap mungkar. Mereka (para shahabat) bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Tunaikanlah hak mereka, dan memohonlah kepada Allah hak kalian.”[HR. Bukhari]
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Abu Raja’, dari Ibnu ‘Abbas, dinyatakan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ النَّاسِ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa membenci sesuatu yang ada pada pemimpinnya, hendaklah ia bersabar. Sebab, tak seorangpun boleh memisahkan diri dari jama’ah, sekalipun hanya sejengkal, kemudian dia mati, maka matinya adalah seperti mati jahiliyyah.”[HR. Bukhari]

Dalam Syarh an-Nawawi ‘alaa Shahiih Muslim telah dinyatakan, “Memisahkan diri dari mereka —maksudnya, para penguasa— hukumnya jelas haram, berdasarkan ijma’ kaum Muslim, walaupun para penguasa itu orang yang fasik dan zalim. Banyak hadits yang menunjukkan pengertian seperti pendapat saya ini”.[4]

Hadits-hadits di atas merupakan hujjah yang sangat jelas wajibnya seorang Muslim mentaati penguasa meskipun ia terkenal fasik dan dzalim. Bahkan di dalam riwayat-riwayat lain, Rasulullah saw telah memberikan penegasan (ta’kid) agar kaum Muslim tetap mentaati penguasa dalam kondisi apapun.

Kapan Penguasa Tidak Boleh Ditaati?

Meskipun kaum Muslim diperintahkan untuk tetap mentaati penguasa dzalim dan fasiq[5], dan dilarang memerangi dengan pedang, akan tetapi dalam satu kondisi; kaum mukmin wajib memisahkan diri dari mereka, tidak memberikan ketaatan kepada mereka, dan diperbolehkan memerangi mereka dengan pedang, yaitu, jika mereka telah menampakkan kekufuran yang nyata. Ketentuan semacam ini didasarkan pada riwayat-riwayat berikut ini. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]
Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan:

قوله صلى الله عليه وسلم : ( ستكون أمراء فتعرفون وتنكرون فمن عرف فقد برئ ومن أنكر سلم , ولكن من رضي وتابع , قالوا : أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا . . . ما صلوا ” هذا الحديث فيه معجزة ظاهرة بالإخبار بالمستقبل , ووقع ذلك كما أخبر صلى الله عليه وسلم . وأما قوله صلى الله عليه وسلم : ( فمن عرف فقد برئ ) وفي الرواية التي بعدها : ( فمن كره فقد برئ ) فأما رواية من روى ( فمن كره فقد برئ ) فظاهرة , ومعناه : من كره ذلك المنكر فقد برئ من إثمه وعقوبته , وهذا في حق من لا يستطيع إنكاره بيده لا لسانه فليكرهه بقلبه , وليبرأ . وأما من روى ( فمن عرف فقد برئ ) فمعناه – والله أعلم – فمن عرف المنكر ولم يشتبه عليه ; فقد صارت له طريق إلى البراءة من إثمه وعقوبته بأن يغيره بيديه أو بلسانه , فإن عجز فليكرهه بقلبه . وقوله صلى الله عليه وسلم : ( ولكن من رضي وتابع ) معناه : لكن الإثم والعقوبة على من رضي وتابع . وفيه : دليل على أن من عجز عن إزالة المنكر لا يأثم بمجرد السكوت . بل إنما يأثم بالرضى به , أو بألا يكرهه بقلبه أو بالمتابعة عليه . وأما قوله : ( أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا , ما صلوا ) ففيه معنى ما سبق أنه لا يجوز الخروج على الخلفاء بمجرد الظلم أو الفسق ما لم يغيروا شيئا من قواعد الإسلام .

“Sabda Nabi saw, “(Satukuunu umaraaun fa ta’rifuuna wa tunkiruun faman ‘arifa faqad bari`a wa man ankara salima, wa lakin man radliya wa taaba’a, qaaluu: afalaa nuqaatiluhum? Qaala : Laa…ma shalluu)”, hadits ini, di dalamnya terkandung mukjizat yang sangat nyata mengenai informasi yang akan terjadi di masa mendatang, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi saw. Adapun sabda Rasulullah saw, “(faman ‘arafa faqad bari`a) dan dalam riwayat setelahnya dituturkan, “(faman kariha faqad bari`a). Adapun riwayat dari orang yang meriwayatkan, “(faman ‘arafa faqad bari`a), maka hal ini sudah sangat jelas. Maknanya adalah, ”Siapa saja yang membenci kemungkaran tersebut, maka terlepaslah dosa dan siksanya. Ini hanya berlaku bagi orang yang tidak mampu mengingkari dengan tangan dan lisannya, lalu ia mengingkari kemungkaran itu dengan hati. Dengan demikian, ia telah terbebas (dari dosa dan siksa). Adapun orang yang meriwayatkan dengan redaksi ”faman ’arafa bari`a), maknanya adalah –Allah swt yang lebih Mengetahui–, ”Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, kemudian ia tidak menyerupainya (mengikutinya), maka ia akan mendapat jalan untuk terlepas dari dosa dan siksanya dengan cara mengubah kemungkaran itu dengan tangan dan lisannya. Dan jika tidak mampu, hendaknya ia mengingkari kemungkaran itu dengan hatinya. Sedangkan sabda beliau, ”(walakin man radliya wa taaba’a)”, maknanya adalah, akan tetapi, dosa dan siksa akan dijatuhkan kepada orang yang meridloi dan mengikuti. Hadits ini merupakan dalil, bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak akan berdosa meskipun hanya sukut (mengingkari kemungkaran dengan diam). Namun, ia berdosa jika ridlo dengan kemungkaran itu, atau jika tidak membenci kemungkaran itu, atau malah mengikutinya. Adapun sabda Rasulullah saw, ”(Afalaa nuqaatiluhum? Qaala ” Laa, maa shalluu), di dalamnya terkandung makna sebagaimana disebutkan sebelumnya, yakni tidak boleh memisahkan diri dari para khalifah, jika sekedar dzalim dan fasik, dan selama mereka tidak mengubah salah satu dari sendi-sendi Islam”.[6]

Dalam hadits ‘Auf bin Malik yang diriwayatkan Imam Muslim, juga diceritakan:

قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ
“Ditanyakan,”Ya Rasulullah, mengapa kita tidak memerangi mereka dengan pedang?!‘ Lalu dijawab, ‘Jangan, selama di tengah kalian masih ditegakkan shalat.” [HR. Imam Muslim]
Dalam riwayat lain, mereka berkata:

قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Kami bertanya, ‘Ya Rasulullah, mengapa kita tidak mengumumkan perang terhadap mereka ketika itu?!‘ Beliau menjawab, ‘Tidak, selama di tengah kalian masih ditegakkan shalat.”
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:

دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untu selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Bukhari]
Hadits-hadits ini telah mengecualikan larangan untuk memisahkan diri dan memerangi penguasa dengan pedang pada satu kondisi, yakni ”kekufuran yang nyata”. Artinya, jika seorang penguasa telah melakukan kekufuran yang nyata, maka kaum Mukmin wajib melepaskan ketaatan dari dan diperbolehkan memerangi mereka dengan pedang.

Al-Hafidz Ibnu Hajar, tatkala mengomentari hadits-hadits di atas menyatakan, jika kekufuran penguasa bisa dibuktikan dengan ayat-ayat, nash-nash, atau berita shahih yang tidak memerlukan takwil lagi, maka seorang wajib memisahkan diri darinya. Akan tetapi, jika bukti-bukti kekufurannya masih samar dan masih memerlukan takwil, seseorang tetap tidak boleh memisahkan diri dari penguasa.[7]

Imam al-Khathabiy menyatakan; yang dimaksud dengan “kufran bawahan“ (kekufuran yang nyata) adalah “kufran dzaahiran baadiyan” (kekufuran yang nyata dan terang benderang)[8]

‘Abdul Qadim Zallum, dalam Nidzam al-Hukmi fi al-Islaam,menyatakan, bahwa maksud dari sabda Rasulullah saw “selama mereka masih mengerjakan sholat“, adalah selama mereka masih memerintah dengan Islam; yakni menerapkan hukum-hukum Islam, bukan hanya mengerjakan sholat belaka Ungkapan semacam ini termasuk dalam majaz ithlaaq al-juz`iy wa iradaat al-kulli (disebutkan sebagian namun yang dimaksud adalah keseluruhan).[9]

Masih menurut ‘Abdul Qadim Zallum, riwayat yang dituturkan oleh ‘Auf bin Malik, Ummu Salamah, dan ‘Ubadah bin Shamit, seluruhnya berbicara tentang khuruj ‘ala al-imaam (memisahkan diri dari imam), yakni larangan memisahkan diri dari imam. Ini termaktub dengan jelas pada redaksi hadits: “ Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]. Dengan demikian, hadits ini merupakan larangan bagi kaum Muslim untuk memisahkan diri dari penguasa, meskipun ia terkenal fasiq dan dzalim.[10]

Masih menurut ‘Abdul Qadim Zallum; akan tetapi, larangan memisahkan diri dari penguasa telah dikecualikan oleh pecahan kalimat berikutnya, yakni,” kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Bukhari]. Ini menunjukkan, bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa, bahkan boleh memerangi mereka dengan pedang, jika telah terbukti dengan nyata dan pasti, bahwa penguasa tersebut telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata.” [11]

Bukti-bukti yang membolehkan kaum Muslim memerangi khalifah haruslah bukti yang menyakinkan (qath’iy). Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa kekufuran adalah lawan keimanan. Jika keimanan harus didasarkan pada bukti-bukti yang menyakinkan (qath’iy), demikian juga mengenai kekufuran. Kekufuran harus bisa dibuktikan berdasarkan bukti maupun fakta yang pasti, tidak samar, dan tidak memerlukan takwil lagi. Misalnya, jika seorang penguasa telah murtad dari Islam, atau mengubah sendi-sendi ‘aqidah dan syariat Islam berdasarkan bukti yang menyakinkan, maka ia tidak boleh ditaati, dan wajib diperangi. Sebaliknya, jika bukti-bukti kekufurannya tidak pasti, samar, dan masih mengandung takwil, seorang Muslim tidak diperkenankan mengangkat pedang di hadapannya.

Imam Nawawiy, di dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan;

قال القاضي عياض : أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر , وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل , قال : وكذا لو ترك إقامة الصلوات والدعاء إليها , ….. قال القاضي : فلو طرأ عليه كفر وتغيير للشرع أو بدعة خرج عن حكم الولاية , وسقطت طاعته , ووجب على المسلمين القيام عليه , وخلعه ونصب إمام عادل إن أمكنهم ذلك.
Imam Qadliy ‘Iyadl menyatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa imamah tidak sah diberikan kepada orang kafir. Mereka juga sepakat, seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekafiran, maka ia wajib dimakzulkan. Beliau juga berpendapat, “Demikian juga jika seorang penguasa meninggalkan penegakkan sholat dan seruan untuk sholat…Imam Qadliy ’Iyadl berkata, ”Seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekufuran dan mengubah syariat, atau terjatuh dalam bid’ah yang mengeluarkan dari hukm al-wilayah (tidak sah lagi mengurusi urusan pemerintahan), maka terputuslah ketaatan kepadanya, dan wajib atas kaum Muslim untuk memeranginya, memakzulkannya, dan mengangkat seorang imam adil, jika hal itu memungkinkan bagi mereka”.[12]

Pendapat Ibnu Hazm

Hanya saja, Imam Ibnu Hazm berpendapat; jika penguasa telah terjatuh kepada kemaksiyatan, maka seorang Muslim wajib memisahkan diri dari mereka, dan kaum Muslim wajib melakukan amar makruf nahi ’anil mungkar, bahkan boleh memeranginya dengan pedang. Menurut beliau hadits-hadits yang memerintahkan untuk mentaati penguasa fasik yang menyimpang telah dihapus dengan perintah perang. Selanjutnya beliau menyatakan; pendapat semacam ini adalah pendapat ’Ali bin Abi Thalib dan shahabat-shahabat yang mengikutinya. Pendapat ini juga dipegang oleh Ummul Mukminin ’Aisyah ra, Thalhah, Zubeir bin ’Awwam dan shahabat-shahabat yang mengikutinya. Pendapat ini juga dipegang oleh Mu’awiyyah dan shahabat yang mengikutinya; Husein bin ’Ali, ’Abdullah bin al-Zubeir, shahabat-shahabat, dan tabi’un yang ikut perang di Harrah.[13]

Apakah Penguasa Sekarang Telah Terjatuh Kepada Kekufuran Yang Nyata?

Para ulama telah sepakat; seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata, berdasarkan hadits-hadits shahih di atas. Mereka juga sepakat mengenai bolehnya memerangi penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata. Di dalam Syarh an-Nawawi ‘alaa Shahiih Muslim, dijelaskan sebagai berikut,” al-Qaadhi ‘Iyaadh berkata, “Para ulama’ telah sepakat, bahwa jabatan imamah tidak boleh diserahkan kepada orang kafir, kalau tiba-tiba kekufuran itu menimpa dirinya. Dalam kondisi semacam ini ia wajib dipecat. Beliau berkata,” Ketentuan ini juga berlaku jika ia meninggalkan penegakkan sholat dan dakwah untuk mendirikan sholat. Lalu, Imam Nawawi berkata,” al-Qaadhi berkata,” “Seandainya khalifah terjatuh ke dalam kekufuran, atau mengubah syariat, atau melakukan bid’ah yang bisa mengeluarkan dirinya dari jabatan kepala negara; maka ia tidak wajib ditaati. Kaum Muslim wajib mengangkat senjata, mencopotnya, dan mengangkat imam adil yang baru, jika mereka mampu melakukan hal itu.”.[14]
Pertanyaan, kapan seorang penguasa dianggap telah terjatuh kepada ”kekufuran yang nyata”, sehingga kaum Muslim harus melepaskan ketaatan kepada mereka?

Dr. Mohammad Khair Haekal menyatakan; penguasa dianggap telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata, jika ia berada dalam kondisi-kondisi berikut ini;

1. Kekufuran nyata yang terjadi pada diri penguasa itu sendiri. Para ulama berpendapat mengenai wajibnya “munaza’ah” (merebut kekuasaan) dari penguasa yang telah keluar dari Islam[15]. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari ‘Ubadah bin Shaamit ra, bahwasanya ia berkata;


دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Bukhari dan Muslim]

 1. Kekufuran nyata yang terjadi pada individu-individu kaum Muslim karena kemurtadan mereka dari Islam, namun hal ini tidak diingkari atau dicegah oleh penguasa. Ketentuan ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang bertutur wajibnya merebut kekuasaan ketika telah terjadi kekufuran yang nyata pada individu-individu kaum Muslim, dan penguasa tidak mengingkari kekufuran ini. Menurut Dr. Mohammad Khair Haekal, kekufuran tersebut tidak dibatasi hanya kepada penguasa saja atau selain penguasa. Hadits-hadits itu hanya ditaqyiid (dibatasi) dengan kata “bawahan” (nyata) belaka; yakni kekufuran tersebut terjadi secara terang-terangan, telah tersebar luas, dan sudah tidak bisa diingkari lagi.

2. Kekufuran nyata yang berasal dari sistem pemerintahannya, yakni, ketika penguasa tersebut menegakkan sistem pemerintahan di atas aqidah kufur, walaupun penguasa itu belum dianggap kafir. Ketentuan ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang menuturkan wajibnya merebut kekuasaan dari penguasa jika telah tampak kekufuran yang nyata. Frase “kekufuran nyata” yang terdapat di dalam nash-nash tersebut tidak hanya diterapkan kepada penguasa yang jatuh kepada kekufuran maupun kepada selain penguasa; akan tetapi juga bisa diberlakukan pada sistem pemerintahan yang ditegakkan di atas aqidah kufur, misalnya atheisme maupun sekulerisme; dan selanjutnya, sistem ini dipaksakan dan diberlakukan di tengah-tengah masyarakat.

Oleh karena itu, jika seorang penguasa memerintahkan rakyatnya melakukan kemaksiyatan, namun selama sistem aturannya menganggap kemaksiyatan itu sebagai tindak penyimpangan terhadap aturan, maka dalam kondisi semacam ini belum terwujud apa yang disebut dengan “kekufuran yang nyata”, baik pada penguasa maupun sistem pemerintahannya. Namun, bila kemaksiyatan yang dilakukannya berpijak kepada sistem aturan yang justru melegalkan dan mensahkan tindak kemaksiyatan tersebut, misalnya, karena sistem aturannya dibangun berdasarkan sekulerisme–, maka kemaksiyatan semacam ini dianggap sebagai “kekufuran yang nyata“[16].

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan Dr. Mohammad Khair Haekal di atas dapatlah disimpulkan bahwa penguasa-penguasa yang menjadikan aqidah kufur sebagai asas negara –semacam demokrasi dan sekulerisme–, serta menerapkan aturan-aturan kufur telah terjatuh kepada tindak ”kekufuran yang nyata” (kufran shurahan), walaupun secara individu mereka masih mengerjakan sholat. Begitu pula jika mereka tidak lagi menyeru rakyat untuk menegakkan sholat dengan cara menegakkan sanksi bagi orang yang tidak mengerjakan sholat; atau jika mereka sudah mengubah salah satu sendi dari Islam; maka dalam kondisi semacam ini mereka tidak boleh ditaati, bahkan kaum Muslim wajib memisahkan diri dari mereka dan memakzulkan mereka jika memungkinkan.

Pendapat ini sejalan dengan penjelasan Imam Syaukaniy ketika menafsirkan firman Allah swt, surat An Nisa’ ayat 59;

وأولي الأمر هم : الأئمة ، والسلاطين ، والقضاة ، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية
“Ulil amriy adalah para imam, sultan, qadliy, dan setiap orang yang memiliki kekuasaan syar’iyyah[17] bukan kekuasaan thaghutiyyah[18]”.[19]
Walhasil, penguasa-penguasa di negeri-negeri kaum Muslim saat ini telah terjatuh ke dalam kekufuran yang nyata. Kaum Muslim wajib memisahkan diri dari mereka, tidak memberikan ketaatan kepada mereka, dan dengan sekuat tenaga berjuang untuk mengganti system kufur tersebut menjadi system Islam. Inilah pendapat yang lurus, suci, dan dipegang oleh para ulama-ulama wara’.
Sayangnya, ketentuan semacam ini telah dikaburkan dan diselewengkan oleh ulama-ulama salatin yang rela berkhianat terhadap umat Islam untuk melanggengkan eksistensi penguasa dan pemerintahan kufur melalui fatwa-fatwa culas dan penuh dengan pengkhianatan. Ulama-ulama ini tidak segan-segan dan malu-malu menyerukan kepada umat Islam agar mereka tetap mentaati penguasa-penguasa sekarang, padahal para penguasa itu telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata”. Wallahu al-Haadiy al-Muwaffiq ila Aqwaam al-Thaariq.



__________________________
______________
[1] Imam Nasafiy, Madaarik al-Tanziil wa Haqaaiq al-Ta`wiil, surat al-Nisaa’:59
[2] Ibnu al-‘Arabiy, Ahkaam al-Quran, tafsir surat al-Nisaa’:59
[3] Minhaaj al-Sunnah, juz 1/115
[4] Imam al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz VIII, hal. 35.
[5] Yang dimaksud penguasa fasiq dan dzalim yang tetap harus ditaati adalah penguasa-penguasa yang masih menerapkan sistem Islam untuk mengatur urusan negara dan rakyat, namun berbuat dzalim dan fasiq. Dengan kata lain, selama mereka masih menerapkan sistem pemerintahan Islam, menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai landasan dasar negara dan masyarakat, serta menerapkan syariat Islam untuk mengatur urusan rakyat; kaum Muslim wajib mentaati mereka, meskipun penguasa tersebut dzalim dan fasiq.
[6] Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 12/243-244
[7] Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 13/8-9
[8] Ibid, juz 13/8
[9] ‘Abdul Qadim Zallum, Nidzam al-Hukmi fi al-Islaam, hal. 257-258
[10] Ibid, hal. 258-260
[11] Ibid, hal. 259-260
[12] Imam Muslim, Syarah Shahih Muslim, juz 8, hal. 35-36
[13] Ibnu Hazm, al-Muhalla, juz 9, hal. 362
[14] Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz VIII, hal. 35-36.
[15] Imam al-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 8, hal. 35-36. Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 13, hal. 8
[16] Dr. Mohammad Khair Haekal, al-Jihaad wa al-Qitaal fi al-Siyaasah al-Syar’iyyah,juz 1, hal. 130-131. Buku ini merupakan desertasinya untuk meraih gelar doctor dari Kuliah al-Imam al-Auza’iy, pada al-Dirasah al-Islaamiyyah di Beirut pada tahun 1412 H. Desertasi ini meraih gelar imtiyaaz ma’ al-tanwiih (summa cum laude); bahkan jika ada gelar yang lebih tinggi daripada summa cum laude tentu beliau akan meraihnya.
[17] Kekuasaan atau pemerintahan yang didasarkan pada aqidah dan syariat Islam.
[18] Kekuasaan atau pemerintahan yang didasarkan pada aqidah dan system kufur.
[19] Imam al-Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2, hal. 166.

(Fiqh Nisa') seputar hukum masirah atau aksi berjalan sambil menyuarakan sebuah seruan




Jawab:

Masîrah secara harfiah berarti perjalanan, baik dengan diam maupun disertai dengan pembicaraan. Dalam kamus al-Mawrîd, disebutkan bahwa masîrah berarti march, atau long march; juga disamakan dengan demonstration—meski yang terakhir ini lebih tepat disebut dengan muzhâharah.[1]



Dalam konotasi etimologis, memang ada perbedaan antara masîrah dan muzhâharah. Bagi kaum sosialis, muzhâharah (demonstrasi) itu dilakukan dengan disertai boikot, aksi pemogokan, kerusuhan, dan perusakan (teror). Targetnya agar tujuan revolusi mereka berhasil dilakukan.[2] Sedangkan masîrah tidak lebih dari medium untuk menyampaikan pendapat dan tuntutan, ataupun bantahan terhadap opini atau kebijakan yang dijalankan oleh para penguasa; bukan hanya pemerintah, tetapi semua kelompok yang memegang kekuasaan—bisa legislatif, eksekutif, yudikatif, partai yang sedang berkuasa, ataupun kelompok yang menjadi sandaran kekuasaan; seperti polisi dan militer. Pendapat, tuntutan, atau bantahan tersebut disampaikan sebagai bentuk seruan (dakwah) atau koreksi (muhâsabah); tanpa disertai dengan upaya-upaya yang justru bertentangan dengan misi dakwah dan muhâsabah itu sendiri—seperti aksi pemogokan, kerusuhan, dan teror.

Karena itu, hukum asal masîrah itu sendiri mengikuti hukum uslûb yang status asalnya adalah mubah. Sebagaimana uslûb (cara) yang lain, masîrah sebagai salah satu uslûb juga bisa digunakan untuk melaksanakan kewajiban, seperti menyampaikan seruan kepada para penguasa yang zalim atau mengoreksi kebijakan mereka. Hal ini dalam rangka melaksanakan sabda Nabi saw.:

«أَلاَ وَأَنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya jihad yang paling baik adalah (menyatakan) pernyataan hak kepada penguasa yang zalim. (HR al-Hakim).

Karena itu, statusnya sebagai uslûb yang mubah tetap tidak akan berubah menjadi wajib; sekalipun uslûb tersebut bisa digunakan untuk melaksanakan dan menyempurnakan suatu kewajiban.

Sebagai uslûb yang memang mubah, masîrah tidak boleh diwarnai dengan perkara-perkara yang diharamkan, seperti aksi pemogokan, kerusuhan, dan teror; termasuk di dalamnya adalah pernyataan-pernyataan yang disampaikan pada saat masîrah. Karena itu, dalam hal ini harus diperhatikan tiga ketentuan sebagi berikut:

1. Al-jur’ah bi al-haq, yakni lantang dan berani dalam menyuarakan kebenaran (Islam);

2. Al-Hikmah fi al-Khithâb, yakni bijak dalam menyampaikan seruan (orasi);

3. Husn al-Hadits, yakni baik dalam tutur bahasa.

Mengenai boleh-tidaknya wanita melakukan masîrah, jelas hukumnya mubah:

Pertama, dilihat dari aspek keikutsertaan mereka dalam long march, atau rombongan perjalanan bersama kaum laki-laki di tempat terbuka. Keikutsertaan mereka dalam hal ini diperbolehkan, baik dengan atau tanpa mahram. Dalilnya, pada saat hijrah ke Habasyah, selain kaum laki-laki juga terdapat 16 kaum wanita yang ikut dalam rombongan perjalanan tersebut.[3]

Kedua, dilihat dari aspek orasi, pidato atau penyampaian pendapat di tempat terbuka, hukumnya juga mubah; dilihat dari sisi bahwa suara wanita jelas bukan merupakan aurat. Ini dibuktikan dengan tindakan para sahabat laki-laki yang biasa bertanya kepada ‘Aisyah, jika mereka tidak memahami persoalan yang mereka hadapi, termasuk tentang kehidupan Rasulullah saw.

Di samping itu, bisa dilihat dari sisi penyampaian pendapat atau protes. Dalam hal ini, Ijma’ Sahabat telah menyatakan kemubahan sikap seorang wanita memprotes kebijakan penguasa, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang wanita terhadap ‘Umar bin al-Khatthab selaku khalifah dalam kasus penetapan mahar. (Lihat penuturan Abu Hatim al-Basti, dalam Musnad sahihnya, dari Abu al-Ajfa’ as-Salami).

Dalam hal ini, tak seorang sahabat pun yang mengingkari tindakan wanita tersebut; mereka justru mendiamkannya. Padahal, tindakan tersebut dilakukan di tempat terbuka, di hadapan semua orang, dan jika bertentangan dengan hukum, seharusnya perkara tersebut diingkari; tetapi kenyataannya tidak.[4]

Tindakan muhâsabah semacam ini juga telah dilakukan oleh para sahabat wanita, seperti yang dilakukan oleh Asma’ binti Abu Bakar ketika mengoreksi tindakan para penguasa Bani Umayah yang selalu menghina keluarga ‘Ali bin Abi Thalib di atas mimbar-mimbar masjid.[5]

Dalil-dalil di atas dengan jelas membuktikan, bahwa masîrah (long march) sebagai sebuah uslûb (cara) untuk berdakwah dan menyampaikan pandangan hukum syariat atau protes terhadap pelanggaran hukum syariat jelas mubah. Kemubahan tersebut juga berlaku bukan hanya untuk kaum pria, tetapi juga untuk para wanita. Sebagaimana dalil-dalil dan alasan yang dikemukakan di atas. Wallâhu a‘lam. []

[1] Ba’albakki, Qamus al-Mawrid: Arabiyyah-Injeliziyyah, materi: Masirah.

[2] V.I. Lennin, Where to Begin, dalam V.I. Lenin, Collected Works, cet. IV, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1961, V/13-24.

[3] Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, ed. Thaha ‘Abd ar-Ra’uf Sa’ad, Dar al-Jil, Beirut, cet. I, 1411, V/15.

[4] Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, ed. Ahmad ‘Abd al-’Alim al-Barduni, Dar as-Sya’b, Beirut, cet. II, 1372, V/99.

[5] Al-Ya’qubi, Târîkh al-Ya’qûbi, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, t.t.

Sumber : www.hizbut-tahrir.or.id