Sabtu, 25 Februari 2012

Penjelasan Bagi Yang Salah Faham terhadap Hizbut Tahrir

بيان لمن أخطأ عن حزب التحرير
 (Penjelasan bagi yang salah faham terhadap Hizbut Tahrir)[1]
Oleh : Al-Ustadz Musthofa A. Murtadlo


Pengantar

Ketika kita baca sekilas tulisan tentang Hizbut Tahrir di situs PP Nurul Huda pasti menarik. Mengapa? Karena topik yang dikaji adalah topik yang berkaitan dengan Islam dan kaum Muslimin. Kita, sebagai bagian dari kaum Muslimin, tentu harus menjadikan problem multi dimensional kaum Muslimin serta semua hal yang berkaitan dengan kaum Muslimin sebagai qadhiyyah kita. Kita tidak boleh memiliki karakter yang digambarkan oleh seorang penyair:


أبني ان من الرجال بهيمة ***** فى صورة الرجل السميع المبصر
فطن لكل مصيبة فى ماله ***** واذا اصيب بدينه لم يشعر


Wahai anakku sesungguhnya ada sebagian laki-laki yang seperti binatang ternak *** Dalam wujud seorang laki-laki yang (bisa) mendengar dan melihat
Dia cerdas (kreatif) terhadap setiap musibah yang menimpa hartanya *** Tapi apabila menimpa agamanya dia sama sekali tidak merasa


Sayangnya, tulisan tersebut bukan hanya tidak benar, tapi sudah masuk kategori fitnah. Hal yang sama pernah dilakukan oleh Abdullah al-Harari dan Firqah al-Ahbasy. Dalam booklet Al-Gharrah Al-Imaniyah Fi Mafasid At-Tahririyyah, Abdullah al-Harari telah melemparkan fitnah terhadap Hizbut tahrir secara serampangan bahkan dengan mengabaikan kaedah-kaedah ilmiah.
Meski belum clear benar apakah tulisan yang dimuat di situs PP Nurul Huda tersebut merupakan kesimpulan dari penelitian terhadap kitab-kitab Hizbut Tahrir, atau sekedar copy paste dari tulisan yang terdapat pada kutaib Al-Gharrah Al-Imaniyah Fi Mafasid At-Tahririyyah, yang pasti memang ada kesamaan tema, tuduhan serta metode kajian yang dipakai. Itu yang pertama.
Kedua, jika kita mengkaji tulisan tersebut, secara bisathah kita dapat menyimpulkan bahwa ‘penyesatan’ terhadap Hizbut Tahrir ala PP Nurul Huda adalah kategori jari’an fi al-fatawa wa i’thail hukmi (gegabah dalam berfatwa dan penetapan hukum). Sikap ini adalah sikap yang dijauhi oleh para ulama’ salaf. Bahkan ada diantara mereka mengkategorikan siapa saja yang berkarakter seperti itu layak diragukan keikhlasannya.
Alhasil, tulisan tentang Hizbut Tahrir yang dimuat di situs PP Nurul Huda tersebut amat disayangkan. Mengapa? Karena, disamping merupakan sikap gegabah dalam memberikan fatwa, juga sama artinya dengan menyampaikan begitu saja apa yang di dengar atau yang di baca tanpa melakukan kajian yang mendalam atas sumber yang dijadikan acuan. Ini adalah kebohongan. Rasulullah SAW bersabda[2]:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ (أخرجه الامام مسلم)
“Cukuplah seseorang (dikatakan) berbohong apabila dia menyampaikan semua hal yang dia dengar” (Hadits dikeluarkan oleh Imam Muslim).
Dalam kitab Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, Syeikhul Islam al-Hafidz Abi Zakaria Yahya an-Nawawi menjelaskan[3]:
وَأَمَّا مَعْنَى الْحَدِيث وَالْآثَار الَّتِي فِي الْبَاب فَفِيهَا الزَّجْر عَنْ التَّحْدِيث بِكُلِّ مَا سَمِعَ الْإِنْسَان فَإِنَّهُ يَسْمَع فِي الْعَادَة الصِّدْق وَالْكَذِب ، فَإِذَا حَدَّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ فَقَدْ كَذَبَ لِإِخْبَارِهِ بِمَا لَمْ يَكُنْ . وَقَدْ تَقَدَّمَ أَنَّ مَذْهَب أَهْل الْحَقّ أَنَّ الْكَذِب : الْإِخْبَار عَنْ الشَّيْء بِخِلَافِ مَا هُوَ ، وَلَا يُشْتَرَط فِيهِ التَّعَمُّد لَكِنَّ التَّعَمُّد شَرْط فِي كَوْنه إِثْمًا وَاَللَّه أَعْلَمُ
“…dan pengertian hadits dan atsar dalam topik tersebut, di dalamnya terdapat larangan untuk menyampaikan setiap hal yang didengar oleh manusia, karena biasanya dia mendengar (berita) yang benar maupun yang dusta. Apabila dia menyampaikan setiap hal yang dia dengar, sungguh dia telah berbohong karena menyampaikan hal-hal yang tidak terjadi. Dan (telah dibahas) di depan bahwa (menurut) madzhab Ahlu al-Haq bahwa bohong itu adalah menyampaikan berita atas sesuatu yang berbeda dengan faktanya, dan di dalamnya tidak disyaratkan adanya unsur kesengajaan. Tapi kesengajaan tersebut merupakan syarat bahwa kebohongan tersebut merupakan perbuatan dosa. Wallahu a’lam“.
Mestinya pengelola situs PP Nurul Huda meneliti dengan cermat, terutama isnad, khabar yang sampai pada mereka. Sehingga tidak terjebak pada kekeliruan akibat sikap ceroboh atau sembrono. Tentang pentingnya isnad atas khabar, Imam Ibn Sirin berkata[4]: ”(Mereka) pada awalnya tidak bertanya tentang isnad, namun ketika terjadi fitnah beri identitas rijal kalian, lalu dia akan diperiksa apabila (termasuk) ahlus sunnah maka diambil tapi jika termasuk ahlul bid’ah maka jangan diambil hadits mereka”
Imam Abdullah Ibn al-Mubarak barkata[5]:
الْإِسْنَادُ مِنْ الدِّينِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Isnad itu adalah bagian dari dien, kalaulah bukan karena isnad maka orang akan berkata semaunya”.
Jika pengelola situs PP Nurul Huda melakukan hal tersebut, tentu tidak akan begitu gegabah ‘menyesatkan’ Hizbut Tahrir. Dalam Islam menyesatkan seseorang apalagi secara kolektif bukan perkara sepele. Karena konsekuensinya bisa jadi menyangkut masalah ushul, bukan hanya sekedar masalah furu’. Sekali lagi, kita tidak boleh terjebak pada sikap Jari’an fi al-fatawa wa I’tha’il hukmi.
Berdasarkan fakta diatas, kami akan paparkan dua hal. Pertama, siapa Abdullah al-Harari al-Habasyi dan firqah al-Ahbasy. Kedua, kajian tiap maudhu’ yang dibahas dalam situs PP Nurul Huda.
Pertama, tentang Abdullah al-harari dan Firqah al-Ahbasy. Fakta adanya kesamaan maudhu’ al-bahts dan thariqatul bahts dalam situs PP Nurul Huda dengan tulisan Abdullah al-Harari al-Habasyi di dalam booklet al-Gharah al-Imaniyyah fi Mafasid at-Tahririyyah, memaksa kita untuk terpaksa menyimpulkan bahwa tulisan tersebut kemungkinannya adalah: (1) Copy-paste tulisan Abdullah al-Harari dalam booklet diatas, atau (2) paling tidak penulis terinspirasi dengan tulisan tersebut. Karena itu ahsan kalau saya sampaikan data-data tentang siapa Abdullah al-Harari dan Firqah al-Ahbasy dari sumber-sumber yang berkompeten.
Abdullah al-Harari datang ke Lebanon tahun 1950[6]. Dia hijrah ke Lebanon setelah mengobarkan fitnah melawan umat Islam di Kota Harar, Ethiopia, dengan melakukan konspirasi dengan rezim diktator Kafir Ethiopia, Hilasilasi. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Muhammad asy-Syaibi al-Abdari al-Harari al-Habasyi.[7] Menurut majalah al-Wathanul Arabi, masih banyak kontroversi seputar tokoh ini, antara lain tentang nasab dan tanggal lahirnya[8].
Untuk mendiskripsikan lebih jauh siapa Abdullah al-Harari yang juga pendiri Firqah al-Ahbasy di Lebanon, kami akan paparkan tiga hal.
Pertama, sikap Abdullah al-Harari terhadap Shahabat Rasulullah SAW serta para ulama’ Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah. Abdullah al-Harari banyak mencela Shahabat RA, khususnya Muawiyyah bin Abi Sufyan RA[9]. Dia berkata:
بأنه ليس في قلبه خشية لله ولا تقوى، وأنه رجل مخادع
“Bahwa di dalam hatinya tidak ada perasaan takut pada Allah dan tidak pula ada ketaqwaan (pada-Nya). Dia laki-laki culas”.
Bahkan dia menyatakan bahwa mereka yang melawan Ali bin Abi Thalib RA mati dalam keadaan mati jahiliyyah[10].
Dia juga mencela para ulama’ terkemuka panutan umat. Dia menggelari al-Muarrikh al-Kabir Imam al-Hafidz adz-Dzahabi dengan khabits (durjana)[11]. Dia berkata:
واذا قيل عن الذهبي خبيث فهو في محله
“Apabila dikatakan bahwa adz-Dzahabi itu durjana, sudah pada tempatnya”. Syeikh Abil Iz al-Hanafi dia diskripsikan sebagai Jahmi, sesat dan kafir[12]. Pada majalah resmi mereka, Manarul Huda, disebutkan bahwa al-Muhaddith Syeikh Abdullah al-Harari dan muridnya mengkafirkan Ibnu Taimiyyah dan Sayyid Quthub[13].
Kedua, pendapat dan fatwa ‘nyleneh’ Abdullah al-Harari dan Firqah al-Ahbasy. Al-Habasyi menyatakan bahwa al-Qur’an itu adalah ibarah dari Kalamullah yang majazi sifatnya[14]. Padahal umat Sayyidina Muhammad SAW baik muda maupun tua tahu bahwa al-Qur’an itu Kalamullah yang hakiki[15].
Al-Habasyi meyakini, bahwa Allah SWT tidak berkuasa atas segala sesuatu, Allah hanya berkuasa atas kebanyakan sesuatu[16]. Al-Habasyi juga mengklaim bahwa sungguh Allahlah yang memberikan i’anah pada orang kafir untuk menjadi kafir[17]. Dia juga memfatwakan kebolehan men-tasharuf-kan zakat untuk diberikan pada anaknya sendiri yang sudah baligh[18]. Padahal kaum Muslimin Ahlu as-Sunnah wa al-jama’ah sepakat ketidakbolehan men-tasharruf-kan zakat untuk pokok dan cabang (yang dimaksud dengan pokok dalam Kaedah Ushul adalah Bapak dan Ibu keatas, sedangkan cabang adalah anak ke bawah).
Bukan hanya itu, al-Harari juga menguatkan hadits-hadits dha’if serta maudhu’ untuk mendukung “madzhabnya” dan mendha’ifkan banyak sekali hadits shahih yang tidak mendukung “madzhabnya”. Sikap ini tervisualisasi dengan sangat gamblang dalam bukunya al-Maulid an-Nabawi[19].
Ketiga, Fatwa ulama’ terhadap Abdullah al-Harari dan Firqah al-Ahbasy. Sikap resmi Jami’ah al-Azhar asy-Syarif Mesir terhadap firqah al-Ahbasy. Ketika firqah al-Ahbasy mengklaim ada MOU dengan Universitas al-Azhar untuk mendirikan cabang di Lebanon, Dr Umar Hasyim sebagai Rais Jami’ah al-Azhar mengirim surat pada kantor Rabithah Alam Islami dan menegaskan bahwa: (1) firqah al-Ahbasy tidak iltizam secara total pada al-Qur’an dan as-Sunnah dan fihak al-Azahar menyatakan tidak ada hubungan apapun dengan mereka.(2) Bahwa informasi adanya MOU antara al-Azhar dan Firqah al-Ahbasy untuk mendirikan cabang al-Azhar di Lebanon adalah tidak benar[20]. Inilah risalah lengkap Dr Umar Hasyim[21]:
بسم الله الرحمن الرحيم السلام عليكم ورحمة الله وبركاته. وبعد: فقد أخبرني بما نمى إليكم من وجود تعاون بين جامعة الأزهر وبين من يسمون بالأحباش في لبنان. وحيث أنني لم أزر لبنان إلا منذ عامين، وقد تعرضت أثناء هذه الزيارة لمحاولات التأثير من جانب بعض الجهات، عندما قُدِّمَتْ إليّ مذكرة كمشروع اتفاقية للتوقيع عليها، وبعد أن عرفت من سفير مصر في لبنان وبعض الجهات الأخرى عدم سلامة هذه الجمعية وعدم مصداقيتها وعدم سلامة تفكيرها قطعنا العلاقة بهم وألغينا كل ما طلبوه، ولم تعد بيننا وبينهم أية علاقة، وليس بين جامعة الأزهر وبينهم أي صورة من صور الإعتراف أو التعاون، وكل الأوراق التي تفيد غير ذلك لا أساس لها من الصحة. ولهذا يسرني أن أفيدكم بعدم صحة ما نسب إلينا أو إلى جامعة الأزهر. نحن نرفض كل محاولات استغلال اسم جامعة الأزهر العريقة من قبل الهيئات أو الجمعيات التي لا تلتزم التزاما كاملا وواضحا بالقرآن الكريم والسنة النبوية الشريفة. وتقبلوا خالص تحياتي واحترامي؛ والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته؛ أخوكم الدكتور أحمد عمر هاشم – رئيس جامعة الأزهر. كتب الدكتور أحمد عمر هاشم الخطاب يوم الثلاثاء بتاريخ: (9 جمادى الآخرة 1422 هـ الموافق 28 أغسطس 2001 م) وتم إرساله بالفاكس الى مكتب مدير رابطة العالم الإسلامي يوم الإثنين بتاريخ: (15 جمادى الآخرة 1422هـ الموافق 3 سبتمبر2001 م) الساعة الواحدة وأربعون دقيقة بعد الظهر.
Fatwa, Hai’ah Kibar al-Ulama’ Saudi Arabia, tentang Abdullah al-Harari al-Habasyi dan Firqah al-Ahbasy. Fatwa nomor 19606. Berikut kutipannya[22]:
فإن اللجنة تقرر ما يلي:
1- أن جماعة الأحباش فرقة ضالة، خارجة عن جماعة المسلمين (أهل السنة والجماعة)، وأن الواجب عليهم الرجوع إلى الحق الذي كان عليه الصحابة والتابعون في جميع أبواب الدين في العمل والاعتقاد، وذلك خير لهم وأبقى.
2- لا يجوز الاعتماد على فتوى هذه الجماعة؛ لأنهم يستبيحون التدين بأقوال شاذة، بل ومخالفة لنصوص القرآن والسنة، ويعتمدون الأقوال البعيدة الفاسدة لبعض النصوص الشرعية، وكل ذلك يطرح الثقة بفتاويهم والاعتماد عليها من عموم المسلمين.
3- عدم الثقة بكلامهم على كل مكان الحذر والتحذير من هذه الجماعة الضالة، ومن الوقوع في حبائها تحت أي اسم أو شعار، واحتساب النصح لأتباعها والمخدوعين بها، وبيان فساد أفكارها وعقائدها
Fatwa diatas menegaskan bahwa: (1) kelompok al-Ahbasy firqah yang sesat, keluar dari jama’atul Muslimin dan wajib kembali pada yang haq, (2) Tidak boleh berpegang pada fatwa kelompok ini, (3) tidak percaya terhadap apa yang mereka katakan. Masih banyak fatwa ulama’ Ahlu as-Sunnah wal Jama’ah yang lain yang menegaskan sesatnya Abdullah al-Harari dan Firqah al-Ahbasy.
Selain itu, Firqah ini juga menghalalkan semua cara untuk meraih tujuan mereka. Buktinya antara lain, untuk mendongkrak popularitas Syeikh mereka, mereka mengklaim bahwa Abdullah al-Harari adalah Mufti Ethiopia[23]. Komunitas Muslim Ethiopia di Norwegia menegaskan bahwa klaim tersebut bohong[24]. Saat Abdullah al-Harari berkunjung ke Norwegia, dia sempat diajak bicara dengan bahasa Ethiopia oleh komunitas Muslim Ethiopia disana. Dia sama sekali tidak mengerti. Bagaimana mungkin Mufti Ethiopia tidak mengerti bahasa Ethiopia? Komunitas Muslim Ethiopia tersebut juga menegaskan bahwa di Ethiopia tidak ada Mufti. Mereka tidak mengenal Abdullah al-Harari, mereka hanya mengenal Syeikh Syarif Abdu an-Nur[25]. Mereka juga menggelari syeikh mereka dengan gelar-gelar yang ‘tidak patut’ disandang oleh Abdullah al-Harari. Misalnya meraka menyebut Abdullah al-Harari dengan al-Hafidz al-Abdari[26]. Tentu dengan harapan agar masyarakat menyangka bahwa Abdullah al-Harari termasuk Ulama’ kenamaan di bidang Hadits layaknya al-Hafidz an-Nawawi atau al-Hafidz Ibn Hajar.
Dengan data singkat diatas, dan tentu masih banyak lagi, rasanya gharib kalau kita menjadikan Abdullah al-Harari atau buku-buku yang dia tulis sebagai ma’khadz apalagi sebagi panutan.
Selanjutnya bi at-Tafsil kita kaji tiap maudhu’:

1. Masalah Pengangkatan Khalifah

Di situs PP Nurul Huda dikatakan: “ Di antara kesesatan Hizbuttahrir dan bukti menyempalnya kelompok ini dari mayoritas umat Islam adalah pernyataan mereka bahwa orang yang meninggal dengan tanpa membaiat seorang kholifah maka matinya adalah mati jahiliyah. Artinya menurut mereka matinya orang tersebut laksana matinya orang-orang penyembah berhala. Berarti menurut mereka, dalam kurun waktu 100 tahun terakhir, seluruh orang muslim yang meninggal, matinya dalam keadaan mati jahiliyah, sebab sejak saat itu dunia Islam vakum dari khalifah. Sementara Khilafah Islamiyah tertinggi yang mengurus seluruh keperluan umat Islam terputus sejak lama. Umat Islam yang pada masa sekarang tidak mengangkat kholifah, mereka sesungguhnya mempunyai udzur (alasan yang diterima). Yang dimaksud umat Islam disini adalah rakyat, karena terbukti rakyat tidak memiliki kemampuan untuk mendirikan khilafah dan mengangkat seorang khalifah. Lantas berdosakah mereka jika memang tidak mampu? Bukankah Allah Ta’ala berfirman:
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها (البقرة: 268)
“Allah tidak membebankan terhadap satu jiwa kecuali apa yang ia sanggup melakukanya”. (Q.S. Al Baqoroh 268)
Pertama, tentang pengertian hadits. Pemahaman penulis terhadap hadits diatas senada yang dinyatakan oleh penulis al-Gharrah:

هذه العبارات من جملة تحريفهم للكلم عن مواضعه فإن الحديث رواه مسلم عن ابن عمر بهذا اللفظ: «من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لاحجة له، ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميتتة جاهلية» فهم يذكرون منه للناس الجملة الأخيرة فيكررون «من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتتة جاهلية» مع إيهامهم أن ذلك لمن لم يتكلم معهم في أمر الخليفة كما هم يتكلمون بألسنتهم. ومعنى الحديث ليس كما يزعمون إنما المعنى أن من تمرد على الخليفة واستمر على ذلك إلى الممات تكون ميتته ميتتة جاهلية، كما يدل على ذلك حديث مسلم عن ابن عباس عن النبي e: «من كره من أميره شيئا فليصبر فإنه ليس أحد من الناس خرج من السلطان شبرا فمات عليه إلا مات ميتتة جاهلية». فقوله: «فمات عليه» صريح في أن الذي يموت ميتتة جاهلية هو الذي يأتيه الموت وهو متمرد على السلطان.. فتبين بطلان قولهم وتمويههم وغرضهم التشويش على المسلمين حتى يتبعوهم وبايعوا زعيمهم تقي الدين النبهاني الذي ادعى الخلافة وبايعه جماعته على ذلك.
[Kalimat ini merupakan bagian dari pemutarbalikan kata dari konteksnya, karena hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn 'Umar dengan redaksi, "Siapa saja yang melepaskan diri dari ketaatan, maka di Hari Kiamat kelak dia akan menghadap Allah tanpa mempunyai alasan. Siapa saja yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada bai'at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah." Mereka menyampaikan hadits tersebut kepada masyarakat, dan mengulang-ulang bagian, Siapa saja yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada bai'at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah." dengan asumsi mereka, bahwa itu berlaku untuk siapa saja yang tidak membahas masalah khalifah dengan mereka, sebagaimana yang selalu diungkapkan oleh mulut mereka.
Padahal, makna hadits tersebut tidak seperti yang mereka asumsikan. Maknanya tak lain adalah siapa saja yang melawan khalifah, dan tetap seperti itu hingga mati, maka kematiannya adalah mati jahiliyah. Itu persis seperti yang ditunjukkan oleh hadits Muslim dari Ibn 'Abbas dari Nabi saw. yang menyatakan, "Siapa saja yang tidak menyukai sesuatu pada amirnya, hendaknya bersabar. Sebab, tak ada seorang pun yang melepaskan diri dari kekuasaan, meski hanya sejengkal, kecuali dia mati dalam keadaan mati jahiliyah."
Pernyataan Nabi, "Mati dalam keadaan mati jahiliyah." Menjelaskan, bahwa orang yang mati dalam keadaan jahiliyah adalah orang yang dijemput kematian, sementara dia tetap membangkang dari penguasa.
Maka, nyata kebatilan pandangan mereka, penyelewengan dan tujuan mereka untuk membingungkan kaum Muslim hingga mereka mengikutinya dan membai'at pemimpin mereka, Taqiyuddin an-Nabhani, yang telah mengklaim jabatan khilafah dan dibai'at oleh jamaahnya.[27]

Bantahan:

Dengan menyandarkan pada hadits:
«مَنْ خَلَعَ يَداً مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa yang melepaskan (tangan) dirinya dari ketaatan, maka (dia) akan berjumpa dengan Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan barangsiapa mati sementara di atas pundaknya tidak ada bai’at, maka matinya dalam keadaan jahiliyah.
Penulis al-Gharrah, para pengikutnya dan yang sefaham dengan dia mengatakan, bahwa (yang dimaksud dengan) mati jahiliyah itu hanya berlaku untuk orang yang melawan penguasa, jika dia dijemput oleh kematian, sementara dia tetap seperti itu. Mereka yang mengatakan itu lupa atau sengaja pura-pura lupa, bahwa lafadz yang berbentuk umum (shiyagh al-’umum) menunjukkan hukum yang bersifat umum. Pada bagian kedua hadits tersebut terdapat lafadz umum, yaitu: man yang menunjukkan lafadz umum, lalu kata bai’atun yang berbentuk nakirah munafiyah, juga termasuk lafadz umum. Jadi keumuman hadits tersebut adalah perkara yang sangat jelas. Imam asy-Syirazi berkata[28]:
فصل وألفاظه أربعة أنواع أحدها إسم الجمع إذا عرف باللأف النبي واللام كالمسلمين والمشركين والأبرار والفجار وما أشبه ذلك وأما المنكر منه كقولك مسلمون ومشركون وأبرار وفجار فلا قتضي العموم ومن أصحابنا من قال هو للعموم وهو قول أبي علي الجبائي والدليل على فساد ذلك أنه نكرة فلم يقتض الجنس كقولك رجل ومسلم فصل والثاني إسم الجنس إذا عرف بالألف واللام كقولك الرجل والمسلم ومن أصحابنا من قال هو للعهد دون الجنس والدليل على أنه للجنس قوله عز وجل والعصر إن الإنسان لفي خسر. والمراد به الجنس ألا ترى أنه استثنى منه الجمع فقال إلا الذين آمنوا وتقول العرب أهلك الناس الدينار والدرهم ويريدون الجنس فصل والثالث الأسماء المبهمة وذلك من فيمن بعقل وما فيما لا يعقل في الاستفهام والشرط والجزاء تقول في الاستفهام من عندك وما عندك وفي الجزاء تقول من أكرمني أكرمته ومن جاءني رفعته وأي فيما يعقل وفيما لا يعقل في الاستفهام وفي الشرط والجزاء تقول في الاستفهام أي شئ عندك وفي الشرط والجزاء أي رجل أكرمني أكرمته وأين وحيث في المكان ومتى في الزمان تقول اذهب اين شئت وحيث شئت واطلبني متى شئت فصل والرابع النفي في النكرات تقول ما عندي شئ ولا رجل في الدار
Di dalam kitab diatas, Imam asy-Syirazi menegaskan bahwa lafadz-lafadz yang menunjuk pada makna umum ada empat. Antara lain, asma’ al-mubhamah dan an-nafi fii an-nakirat (huruf nafi yang masuk pada isim nakirah). Maka siapapun yang mengerti bahasa Arab dan istinbath tentu akan mengetahui bahwa kalimat:
«وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Dan barangsiapa mati sementara di atas pundaknya tidak ada bai’at, maka matinya dalam keadaan jahiliyah.”
adalah berbentuk umum. Artinya apabila khalifah ada, seorang Muslim wajib berbaiat, dan dalam keadaan tidak adanya Khalifah seorang Muslim harus melakukan aktivitas yang bisa mewujudkannya. Disamping itu, mafhum dari hadits tersebut juga menyatakan demikian, yakni nash tersebut menyatakan wajibnya membaiat Khalifah yang jika tidak dilakukan, maka dia akan mati dalam keadaan jahiliyah. Ini merupakan dalil (penunjukkan) yang jelas, bahwa jika tidak ada (Khalifah), maka wajib menjalankan aktivitas untuk mewujudkannya.
Karena itu, penyesatan terhadap makna hadits tersebut dimaksudkan untuk mengacaukan kaum Muslim agar kaum Muslim tidak beranjak menjalankan aktivitas untuk mewujudkan Khalifah dan membai’ahnya supaya tidak mati dalam keadaan jahiliyah.

Rabu, 08 Februari 2012

Bekerja di Pemerintahan Thaghut

Sesungguhnya bekerja di dinas milik pemerintahan thaghut adalah ada rincian sebagaimana berikut ini:

<1>. Setiap pekerjaan yang merupakan pembuatan hukum, pemutusan dengan hukum buatan, pembelaan kepada thaghut atau sistemnya, mengikuti atau menyetujui sistem thaghut, ada syarat sumpah atau janji setia kepada thaghut atau sistemnya, maka semua ini adalah KEKAFIRAN.



A. PEKERJAAN YANG MERUPAKAN PEMBUATAN HUKUM

Pembuatan hukum adalah hak khusus Rububiyyah Alllah Ta’ala karena Dia adalah yang menciptakan maka hanya Dia-lah dzat yang berhak menentukan hukum bagi ciptaan-Nya, Dia Ta’ala berfirman:
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah…” (Al A’raf: 54)


إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ

“Menetapkan hukum itu hanya hak Allah…” (Al An’am: 57)


إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia” (Yusuf: 40)
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ

“Menetapkan hukum itu hanya hak Allah” (Yusuf: 67)

Allah Ta’ala tidak menyertakan satu makhluk pun di dalam hak khusus pembuatan hukum ini baik itu malaikat ataupun para nabi, karena hanya Dia-lah dzat yang menciptakan:
وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَداً

“Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum” (Al Kahfi: 26)

Dan di alam qira-ah Ibnu Amir yang mutawatir di baca:
وَلَا تُشْرِكْ فِي حُكْمِهِ أَحَداً

“Dan janganlah kamu mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum” (Al Kahfi: 26)
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ ٦٨ وَرَبُّكَ يَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ ٦٩ وَهُوَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ ٧٠

“Dan Tuhan mu menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). Dan Tuhan mu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. Dan Dia-lah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nya lah Segala Puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nya lah Segala Penentuan Hukum dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan” (Al Qashash: 68-70)
لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Dan bagi-Nya lah segala penetuan hukum dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan” (Al Qashash: 88)

Serta ayat-ayat muhkamat lainnya yang menjelaskan bahwa penetuan hukum baik hukum kauniy mapun hukum syar’i adalah hak khusus Allah ta’ala yang bila sebagiannya disandarkan atau dipalingkan kepada selain-Nya maka itu berarti bentuk penyekutuan terhadap-Nya, bentuk pengangkatan tuhan selain-Nya dan bentuk pengangkatan tandingan bagi-Nya, sedangkan itu adalah kekafiran.
ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِرَبِّهِم يَعْدِلُونَ

“Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka” (Al An’am: 1)

Bila orang yang menyandarkan hak tersebut kepada selain Allah Ta’ala adalah divonis MUSYRIK lagi KAFIR, maka bagaimana halnya dengan orang yang mengakui hak pembuatan hukum itu ada pada dirinya atau kelompoknya atau lembaganya, maka tidak ragu lagi bahwa orang semacam ini lebih KAFIR LAGI karena mengakui dirinya tuhan, walaupun dia tidak membuat hukum, sebagaimana yang diklaim oleh lembaga-lembaga legislatif dengan semua tingkatannya dan para anggota di dalamnya yang diberi kewenangan pembuatan UUD atau UU seperti yang tertuang di dalam UUD 1945.
وَمَن يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِّن دُونِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ

“Dan barangsiapa diantara mereka mengatakan: “sesungguhnya aku adalah tuhan selain daripada Allah”, maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim” (Al Anbiya: 29)

Kami adalah para anggota legislatif yang berwenang membuat UU makna artinya kami adalah tuhan-tuhan selain Allah. Orang-orang semacam ini lebih KAFIR daripada para nabi palsu seperti Musailamah Al Kadzdzab dan yang lainnya.

Para pembuat hukum dan UU itu telah divonis dengan berbagai vonis yaitu: arbab, wali-wali syaitan, sekutu-sekutu yang disembah, thaghut dan aulia (pemimpin-pemimpin) kesesatan, serta orang-orang bodoh.
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka menjadikan orang-orang ‘alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (At Taubah: 31)

Bentuk pentuhanan diri yang dilakukan ‘alim ‘ulama dan para rahib di sini adalah pembuatan hukum yang mereka lakukan, dimana RasulullahShallallahu ‘Alaih Wa Sallam berkata dalam hadits hasan perihal tafsir ayat ini kepada Adiy ibnu Hatim radliyallahu ‘anhu “Bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan kemudian kalian (ikut) menghalakannya, dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan kemudian kalian (ikut) mengharankannya?” Adiy menjawab: “Ya”, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaih Wa Sallam berkata: “Maka itulah peribadatan kepada mereka.”

Dan itu adalah yang dilakukan para legislatif dan pejabat tertentu yang diberikan kewenangan pembuatan hukum dan UU. Jadi setiap person para anggota legislatif adalah MUSYRIK KAFIR lagi dipertuhankan selain Allah ta’ala, dan MURTAD bila asalnya muslim dan bila mengatasnamakan ajaran maka dia itu orang yang mengada-ada kebohongan terhadap Allah ta’ala.
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِباً أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءهُ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِّلْكَافِرِينَ

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang kafir?” (Al ‘Ankabut: 68)

Mereka juga divonis sebagai wali-wali syaithan, sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَلاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah kefasiqan. Sesungguhnya syaithan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah kamu dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” (Al An’am: 121)


Ayat ini di antaranya berkaitan dengan perdebatan anatara Aulia Ar Rahman dengan Aulia Asy Syaithan (kafirin Quraisy), dimana orang-orang kafir menghalalkan bangkai dan mendebat kaum muslimin agar ikut menghalalkannya, Al Hakim meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma mereka berkata: “Apa yang disembelih Allah maka kalian tidak memakannya, sedang yang kalian sembelih maka kalian memakananya; maka Alllah menurunkan… Sesungguhnya syaithan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah kamu…”. Di sini hanya satu hukum saja yaitu pengahalalan bangkai, namun Allah ta’ala memvonis orang yang menurutinya sebagai orang musyrik, dan pembuatnya sebagai wali (kawan) syaithan, dan hukum itu sebagai wahyu (bisikan) syaithan.

Sedangkan yang dilakukan para anggota legislatif adalah lebih dari itu; penghalalan (pembolehan atau peniadaan sangsi) yang haram, pengaharaman (penetapan sebagai kejahatan dan tindak pidana atau penetapan sangsi) hal yang halal, dan pembuatan ketentuan-ketentuan yang menyelisihi syari’at Allah ta’ala, maka mereka itu adalah wali-wali syaithan. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang dikala menghalalkan suatu yang haram yang telah di ijma’kan atau mengharamkan suatu yang halal yang sudah di ijma’kan atau mengganti aturan yang sudah di ijma’kan, maka dia itu kafir lagi murtad dengan kesepakatan para fuqaha” (Majmu Al Fatawa)

Mereka juga adalah syuraka (sekutu-sekutu) yang disembah selain Allah sebagaimana firman Nya ta’ala:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka dien yang tidak diijinkan Allah” (Asy Syura: 21)

Sedangkan diantara makna Dien adalah hukum atau UU, sebagaimana firman Nya ta’ala:
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ

“Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut dien (UU) raja” (Yusuf: 76)

Jadi para pembuat hukum atau UU itu adalah yang disembah selain Allah ta’ala dengan ketaatan para aparat penegak hukum kepada hukum buatan mereka itu “…dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang musyrik…” (Al An’am: 121) ”mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah…” (At Taubah: 31) berikut tafsir hadits bahwa ibadah di ayat ini adalah ketaatan kepada hukum buatan mereka, sedangkan ketaatan atau kekomitmenan merujuk kepada hukum selain Allah ta’ala adalah ibadah kepada si pembuat hukum itu.

Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy rahimahullah berkata: “Bahwa setiap orang yang itiba’ (mengikuti) aturan, uu dan hukum yang menyelisihi apa yang allah ta’ala syari’atkan lewat lisan rasul nya shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia itu musyrik kepada allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai tuhan.” (Risalah Al Hakimiyah Fi Tafsir Adlwail Bayan), dan beliau berkata juga: “Penyekutuan di dalam hukum adalah sama seperti penyekutuan di dalam ibadah.”

Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata: “Ulama telah ijma’ bahwa barang siapa memalingkan sesuatu dari dua macam doa kepada selain Allah maka dia itu musyrik meskipun mengucapkan laa ilaaha illallah, dia shalat dan shaum serta mengaku muslim” (Ibthalut Tandid: 76). Dua doa disini adalah doa ibadah dan doa mas-alah (permintaan), sedangkan penyandaran ketaatan adalah termasuk doa ibadah. Itu orang yang menyandarkan, maka bagaimana halnya dengan orang yang menerima penyandaran ibadah dan mengajak manusia kepadanya seperti para anggota legislatif itu…! Sungguh mereka lebih kafir dari Musailamah dan Mirza Ghulam Ahmad serta para pengaku nabi lainnya. Mereka juga adalah thaghut sebagaimana firman Nya ta’ala:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيداً

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk kafir kepada thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” (An Nisa: 60)

Thaghut di dalam ayat ini di antaranya adalah para pembuat hukum, Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah berkata perihal tokoh para thaghut yang kedua: ”Penguasa yang aniaya dan merubah aturan-aturan Allah” (Risalah Fi Ma’na Thaghut di dalam Majmu’ah At Tauhid). Jadi semua anggota legislatif itu adalah thaghut yang diibadati, sama seperti patung-patung yang dipajang di candi Borobudur, bila patung-patung itu diibadahi dengan doa, sesajian dan ritual lainnya, maka berhala-berhala berdasi di biara parlemen dan gedung dewan itu diibadati dengan ditaati hukum hasil buatannya…
أَأَرْبَابٌ مُّتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

“manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (Yusuf: 29).

Mana yang lebih baik, hukum yang diturunkan Allah ta’ala yang mengetahui segalanya ataukah hukum buatan orang-orang kafir dan murtad yang memiliki aneka macam kepentingan dan selalu ditemani syaithan…?

Mereka juga divonis sebagai pemimpin-pemimpin kesesatan sebagaimana firman Nya:
اتَّبِعُواْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء


“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah mengikuti aulia (pemimpin-pemimpin) selain-Nya” (Al A’raf: 3)

Apa yang digulirkan oleh para anggota legislatif itu jelas bukan apa yang Allah turunkan, sehingga mereka itu adalah para pemimpin kesesatan dan kekafiran yang mengajak manusia kepada hukum (dien) mereka yang zalim seluruhnya walaupun mereka menyebutnya sebagai keadilan, karena syirik adalah kezaliman yang sangat besar, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ


“Sesungguhnya syirik adalah benar-benar kezaliman yang sangat besar“(Luqman: 13)

Mereka juga divonis sebagai orang-orang bodoh, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. (Al Jatsiyah: 18)

Jadi para anggota legislatif itu adalah orang-orang yang tidak mengetahui alias orang bodoh, karena semua orang kafir pada hakikatnya adalah orang-orang yang bodoh,sebagaimana firman-Nya ta’ala:
قُلْ أَفَغَيْرَ اللَّهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ

“Katakanlah: “Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah hai orang-orang yang bodoh…?” (Az Zumar: 64),

Ini karena :
لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ

“Mereka mempunyai hati, tapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunya mata (tapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Alla). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi” (Al A’raf: 179)

Itulah vonis-vonis Allah ta’ala bagi para anggota legislatif (MPR, DPR, DPRD dan yang serupa itu) dan bagi para pembuat hukum atau UU dan para pengklaim memiliki kewenangan itu walau tidak membuat. Maka masih adakah yang meragukan kekafiran mereka…? atau adakah orang yang memberi udzur sebagian mereka dengan udzur takwil atau ijtihad dan yang serupa itu padahal dia tidak mengudzur yang kekafirannya di bawah kekafiran para pengaku tuhan itu…?

Sungguh tidak ada yang meragukan kekafiran mereka kecuali orang kafir seperti mereka atau para penganut paham bid’ah yang berpijak di atas syubhat, atau katak dalam tempurung yang tidak mengetahui realita yang terjadi di sekitarnya.

B. PEKERJAAN YANG MERUPAKAN PEMUTUSAN DENGAN HUKUM BUATAN

Pekerjaan pemutusan dengan selain hukum Allah ta’ala yang merupakan pekerjaan para yudikatif dan eksekutif, yaitu seperti para hakim, para jaksa dan para pejabat adalah pekerjaan kekafiran dengan sendirinya. Selain mereka memutuskan dengan hukum thaghut, mereka juga sudah pasti tahakum (merujuk hukum) kepada hukum thaghut yang menjadi sandarannya, sedangkan masing-masing dari keduanya merupakan kufur akbar.
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (Al Maidah: 44)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. (Al Maidah: 45)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”. (Al Maidah: 47)

Ayat-ayat ini dengan rentetan ayat sebelumnya adalah berkaitan dengan orang yang meninggalkan hukum Allah ta’ala dan malah merujuk kepada hukum tandingan yang mereka sepakati sebagai rujukan. Al Imam Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari Al Bara ibnu ‘Azib radliyallahu’anhu berkata: “Dilewatkan kepada Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam seorang Yahudi yang wajahnya dipoles hitam lagi di dera, maka beliau memanggil mereka dan berkaata: “Seperti ini kalian mendapatkan had pezina di kitab kalian?”, mereka berkata: “ya”, maka beliau memanggil seorang dari ulama mereka, terus berkata: “Saya ingatkan kamu dengan Allah yang telah menurunkan Taurat kepada Musa, seperti ini kalian mendapatkan had pezina di kitab kalian?”, maka dia berkata: “tidak, demi Allah, seandainya kamu tidak mengingatkan saya dengan hal ini tentu saya tidak mengabarkan kepadamu. Kami mendapatkan had pezina di kitab kami itu rajam, namun tatkala hal itu banyak dikalangan para bangsawan kami, maka kami bila seorang bangsawan berzina kamipun membiarkannya, dan bila orang lemah berzina maka kami tegakkan had itu kepadanya. Kemudian kami berkata: “Mari kita sepakati agar kita menjadikan sesuatu (hukuman) yang kita tegakkan terhadap bangsawan dan orang papa”, maka kami pun sepakat terhadap tahmim (pemolesan wajah dengan warna hitam) dan dera”.

Di sini mereka tidak menghapus hukum Allah ta’ala yang ada di dalam Taurat dan mereka juga tidak menghalalkan zina, namun mereka menyepakati hukum lain yang diterapkan di tengah mereka. Dan orang-orang yang memutuskan dengan hukum buatan pada zaman ini juga sama seperti mereka, sehingga vonis yang diterapkan kepada orang-orang itu juga sama dengan yang disematkan kepada mereka “…maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”, dan ulama sepakat bahwa gambaran yang sama dengan sebab turun ayat adalah masuk secara qath’iy di dalam hukum yang ada di ayat itu.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Barangsiapa meninggalkan aturan baku yang diturunkan kepada Muhammad ibnu Abdillah penutup para nabi dan dia malah merujuk hukum kepada hukum-hukum yang sudah dinaskh (dihapus), maka dia telah kafir. Maka bagaimana gerangan dengan orang yang merujuk hukum kepada Alyasa (Yasiq) dan lebih mendahulukannya terhadap (aturan Muhammad) itu, maka dia kafir berdasarkan ijma kaum muslimin”. (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119).

Sedangkan Alyasa (Yasiq) itu adalah kitab hukum yang disusun oleh Jengish Khan yang diambil dari gabungan hukum Islam, Yahudi, Nasrani, ahli bid’ah dan pikiran dia sendiri, sama seperti yang dibuat oleh pemerintahan thaghut negeri ini dimana mereka merangkum dari Islam (dipakai di Pengadilan Agama yang disebut akhwal syakhshiyyah kaitan dengan nikah, cerai dan warisan), dari Yahudi dan Nasrani (seperti KUHP dan yang lainnya sisa penjajahan Belanda dan dipakai sekarang oleh penjajah lokal) dan dari buah pikiran para arbab di parlemen atau di lembaga lainnya, yang semua tidak terlepas dari batasan Yasiq terbesarnya yaitu UUD 1945 yang sering ditambal sulam.

Pemerintah, pejabat, hakim dan jaksa semuanya meninggalkan ajaran Allah ta’ala dan malah memutuskan dan merujuk kepada Yasiq modern, maka mereka kafir dengan ijma kaum muslimin, bahkan mereka itu salah satu tokoh thaghut, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah bahwa diantara tokoh para thaghut yang ketiga: Yang memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan, dan dalilnya adalah firman-Nya ta’ala: “Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Risalah Fi Ma’na Thaghut, Majmu’ah At Tauhid). Vonis ini walaupun dalam satu hukum saja, seperti dalam sebab nuzul ayat itu.

C. PEKERJAAN YANG SIFATNYA PEMBELAAN KEPADA THAGHUT ATAU SISTEMNYA

Dan ini biasa para pelakunya dinamakan Anshar Thgahut seperti Tentara, Polisi, Intelejen dan yang lainnya yang bertugas mengokohkan thaghut atau sisitemnya atau kedua-duanya baik dengan lisan maupun dengan fisik dan senjata. Thaghut atau sistemnya tidak akan kokoh dan tidak bisa berbuat apa-apa tanpa anshar yang membelanya, melindunginya dan selalu siap siaga berperang di jalannya, oleh sebab itu Allah menamakan anshar thaghut (bala tentaranya) bagai pasak, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
وَفِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ ١٠ الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ ١١ فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ ١٢

“Dan Fir’aun yang memiliki pasak-pasak (tentara yang banyak) yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka membuat banyak kerusakan dalam negeri itu” (Al Fajr: 10-12)

Oleh sebab itu sanksi dunia dan akhirat pun sama-sama didapatkan oleh thaghut dan pembantunya berikut ansharnya sebagaiman firman-Nya ta’ala:
فَأَخَذْنَاهُ وَجُنُودَهُ فَنَبَذْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ

“Maka Kami siksa dia (Fir’aun) dan tentaranya lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut”. (Adz Dzariyat: 40),

dan firman-Nya ta’ala:
إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا خَاطِئِينَ

“Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta bala tentaranya adalah orang-orang yang bersalah”. (Al- Qashash: 8),


dan firman-Nya ta’ala:
فَأَخَذْنَاهُ وَجُنُودَهُ فَنَبَذْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الظَّالِمِينَ ٤٠ وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يُنصَرُونَ ٤١

“Maka Kami hukumlah Fir’aun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim. Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong”. (Al- Qashash: 40-41).

Anshar Thaghut itu ada dua:

1. Orang atau dinas yang membela thaghut dengan fisik dan senjata seperti tentara, polisi, intelijen, dan yang lainnya yang dibentuk dan dipersiapkan untuk itu.


2. Orang atau dinas yang membela thaghut atau sistemnya dengan lisan atau tulisan, baik itu wartawan atau para cendikiawan dan juga para ulama atau du’at suu’ yang menetapkan keabsahan pemerintahan thaghut ini dan mencap kaum muslimin yang berjihad melawannya sebagai para pembangkang atau khawarij. Dan sikap para ulama dan du’at suu’ ini lebih berbahaya daripada sikap tentara dan polisi terhadap umat, karena mereka berbicara atas Nama Allah ta’ala dalam membela para thaghut itu di hadapan umat, sedangkan tentara dan polisi bertindak atas dasar dunia (gaji dan pensiun). Adapun dalil-dalil perihal kekafiran anshar thaghut ini maka dari Al Qur’an, As Sunnah dan ijma.

Allah ta’ala berfirman:
الَّذِينَ آمَنُواْ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُواْ أَوْلِيَاء الشَّيْطَانِ

“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang kafir berperang di jalan Thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu. (An Nisa: 76).

Nash yang tegas menyatakan bahwa orang yang beperang di jalan thaghut adalah orang-orang kafir.
قُلْ مَن كَانَ عَدُوّاً لِّجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللّهِ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ ٩٧ مَن كَانَ عَدُوّاً لِّلّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللّهَ عَدُوٌّ لِّلْكَافِرِينَ


”Katakanlah: barangsiapa menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkan (Al-Qur’an) kedalam hatimu dengan seijin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang beriman. Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikatNya, Rasul-rasulNya, Jibril dan Mikail maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir. (AL Baqarah: 97-98).

Al Imam Ahmad, At Tirmidzi, dan An Nasai, meriwayatkan dari ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhuma bahwa orang-orang Yahudi bertanya kepada Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kabarkanlah kepada kami siapa kawanmu?”, beliau menjawab: “Jibril”. Mereka berkata: “Jibril itu yang turun dengan (membawa) pertempuran, peperangan dan azab, musuh kami? andaikata kamu mengatakan Mikail yang turun dengan rahmat, tanaman dan hujan tentu ia lebih baik”, maka turun ayat di atas.

Orang yang memusuhi Jibril yang merupakan salah satu utusan Allah ta’ala dari kalangan malaikat, maka dia adalah musuh bagi Allah, malaikat-malaikat-Nya dan semua rasul-Nya, dan dia itu divonis kafir oleh Allah ta’ala. Dan begitu juga orang yang memusuhi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia itu adalah musuh bagi Allah, semua malaikat dan semua rasul, dan dia itu adalah orang kafir.

Sedangkan bentuk permusuhan terhadap Allah ta’ala dan Rasul-Nya macam apa yang lebih dahsyat dari sikap thaghut dan ansharnya yang mencampakkan hukum Allah ta’ala, menjunjung tinggi hukum syaitan, meninggikan orang-orang kafir dan orang-orang murtad serta orang-orang bejat dan mereka malah mempersulit orang-orang yang bertauhid, memenjarakan dan membunuhi mereka, melapangkan jalan bagi setiap perusak ajaran Allah ta’ala dan membatasi gerakan para penyeru tauhid, mematikan tauhid dan menghidupkan syirik dan kerusakan…?!!

Dan anshar thaghut adalah dipersiapkan untuk menjaga keamanan sistem kafir dan mempertahankan negara kafir dari setiap upaya yang ingin merubahnya dengan sistem yang diturunkan Allah ta’ala, oleh sebab itu mereka adalah kafir baik berperang melawan kaum muwahhidin ataupun bukan, karena sikap mereka tawalliy (loyalitas yang megeluarkan dari Islam) kepada syirik, dan bila memerangi muwahhidin maka mereka menggabungkan antara tawalliy kepada syirik dengan tawalliy kepada orang-orang musyrik.
أَلَمْ تَر إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لِإِخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَداً أَبَداً وَإِن قُوتِلْتُمْ لَنَنصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafiq yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: ”Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersama kalian dan kami selama lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk menyulitkan kamu, dan jika kalian diperangi pasti kami akan membantu kalian.” Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta”. (Al Hasyr: 11).

Allah tala mempertalikan ukhwah kufuriyyah (persaudaraan kekafiran) antara orang orang munafik yang dhahirnya Islam dengan orang orang Yahudi, yaitu Allah ta’ala menvonis mereka kafir, dengan sebab janji mereka untuk membantu orang orang Yahudi itu bila diserang kaum muslimin, padahal janji mereka itu dusta, maka bagimana halnya dengan orang orang yang secara rutin berikrar janji dan sumpah untuk membela thaghut dan sistemnya bila ada rongrongan musuh (yang di antarannya mujahidin muwahhidin), dan mereka selalu siap siaga kapan saja dipanggil dan mereka sebelumnya bersaing untuk masuk dalam barisan itu ?. Bukankah itu realita tentara dan polisi serta yang serupa itu di negeri ini ?, janganlah ragu terhadap kekafiran mereka secara ta’yin. Andai tidak ada janji dan sumpah itu, tetap saja mereka itu kafir karena dzat dinas dan tugas mereka sejak awal adalah membela thaghut dan sistemnya, sedangkan sumpah dan janji itu adalah penambahan bagi kekafiran mereka. Mereka itu kafir saat perang, atau shalat atau haji atau tidur selama belum berlepas diri dari kekafiran mereka itu.

Bagaimana tentara, polisi juga intelejen serta anshar qanun (pembela undang-undang) yang dinas di penjara-penjara thaghut bisa disebut muslim sedangkan mereka tidak kafir kepada thaghut (Pancasila, UUD dan undang-undang turunannya) yang merupakan salah satu dari dua rukun laa ilaaha illallaah.

Syaikh Sulaiman ibnu Abdillah Alu Asy Syaikh rahimahullah berkata: “Sekedar mengucapkan kalimat syahadat tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan tauhid, meninggalkan syirik akbar dan kufur kepada thaghut, maka sesungguhnya (pengucapan) itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma”. (Taisir Al Aziz Al Hamid, dinukil dari Al Haqaiq, Syaikh Ali Al Khudlair).

Ayat di atas juga menunjukkan bahwa orang yang mengucapkan ucapan kekafiran maka dia kafir, walupun dusta, maka apa gerangan bila dia serius ?.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits yang globalnya ada dalam Shahih Al Bukhari memperlakukan Al ‘Abbas yang berada di barisan anshar thaghut Quraisy sebagaimana perlakukan terhadap orang kafir, dimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menawannya dan menyuruhnya untuk menebus dirinya, padahal dia itu mengaku muslim dan mengaku dipaksa ikut perang Badr, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menoleh kepada pengakuan dan klaimnya itu dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Dhahir kamu di barisan kaum musyrikin memerangi kami, adapun rahasia bathin kamu maka urusan itu atas Allah, tebus diri kamu dan dua keponakanmu !” (Fathul Bariy).

Di sini jelas takfir mu’ayyan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada individu anshar thaghut walaupun dia mengaku dipaksa, beliau shallallahu‘alaihi wa sallam menghukumi dia kafir secara dhahir, dan batinnya diserahkan kepada Allah ta’ala dengan sebab pengakuan dipaksanya itu.

Maka bagaimana gerangan dengan tentara, polisi, intelejen dan anshar thaghut hukum lainnya (sipir penjara) yang tidak dipaksa dan mereka bersaing saat mendaftar, bangga dengan korpsnya dan seragamnya, merasa pada posisi kuat dengan menjadi penyembah thaghut itu…?!!
وَاتَّخَذُوا مِن دُونِ اللَّهِ آلِهَةً لِّيَكُونُوا لَهُمْ عِزّاً


“Dan mereka telah mengambil tuhan-tuhan selain Allah, agar tuhan-tuahn itu menjadi pengokoh (pelindung) bagi mereka”. (Maryam 81).

Dan mereka lakukan itu demi menggapai dunia (gaji dan tunjangan)
ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّواْ الْحَيَاةَ الْدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَأَنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasannya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir”. (An Nahl: 107)

Dan mereka selalu siap siaga kapan saja dipanggil serta kekafiran-kekafiran lainnya. Maka jangan ragu-ragu terhadap kekafiran mereka secara ta’yin. Ingat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah lebih wara’ dan lebih hati-hati daripada kamu, tapi beliau mengkafirkan secara mu’ayan (personal) orang yang bergabung di barisan anshar thaghut Quraisy padahal mengaku muslim dan mengaku dipaksa, namun kamu bersikap wara’ dari mengkafirkan ta’yin (personal) tentara dan polisi thaghut itu, maka wara’ macam apa itu…?!!

Para shabat pada zaman Abu Bakar Ash Shidiq radliyallahu ‘anhum telah ijma (sepakat) terhadap kekafiran anshar thaghut Musailamah Al Kadzdzab dan nabi palsu lainnya secara ta’yin, dimana saat utusan Buzakha’ meminta damai dan taubat datang kepada Abu Bakar radliyallahu ‘anhu, maka beliau mengutarakan beberapa syarat yang disepakati para sahabat di antaranya bahwa mantan orang-orang murtad itu harus bersaksi bahwa orang-orang yang mati terbunuh dari mereka adalah masuk neraka. Sedangkan orang-orang yang terbunuh itu adalah orang-orang yang mu’ayanin (tertentu) dan sedangkan yang boleh dipastikan masuk neraka dalam aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah hanyalah orang-orang yang mati dalam kondisi kafir, dan orang muslim walaupun ahli maksiat tidak boleh dipastikan masuk neraka. Ini artinya para sahabat ijma atas kekafiran anshar thaghut secara ta’yin. (Ijma ini bisa dilihat di dalam Risalah Mufidul Mustafid dan Syarah Syittati Mawadli’ Minas Sirah poin ke-6, milik Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab dan Al Jami’ bahasan Anshar Thaghut milik Syaik Abdul Qadir ibnu Abdil Aziz).

Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata perihal orang-orang yang dikafirkan dengan sebab syirik akbar: “…dan begitu juga (kami kafirkan) orang yang berdiri dengan pedangnya melindungi kuburan-kuburan yang dikeramatkan ini semuanya dan dia memerangi orang yang mengingkarinya dan berupaya untuk melenyapkannya”.Sedangkan tentara, polisi dan satgas syirik lainnya adalah penjaga dan pengawal Pancasila syirik, demokrasi kafir dan UU thaghut, dimana lisan mereka selalu bergema melantunkan dengan lantang Garuda Pancasila, Akulah Pendukungmu, Patriot Proklamasi, Rela Berkorban Untukmu.

Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah tentang anshar Musailamah Al Kadzdzab yang tertipu oleh para saksi palsu dan para du’at penipu yang mengabsahkan klaim Musailamah: “…namun begitu para ulama ijama bahwa mereka itu murtad walaupun mereka jahil akan hal itu, dan barang siapa ragu perihal kemurtadan mereka maka dia kafir.” (Syarah Syittati Mawadli’ Minas Sirah poin ke-6, Majmuah At Tauhid), bahkan diantara yang menjadi saksi keabsahan Musailamah adalah Ibnu Unfuah utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamkepada Banu Hanifah (kaum Musailamah) yang malah membelot kepada Musailamah dan menyesatkan mereka, begitu juga banyak orang yang tertipu menjadi anshar thaghut (tentara, polisi, intelejen, kepala lapas dan anak buahnya dan lain-lain) oleh ulama suu’ dan du’at penyeru di atas pintu-pintu jahanam yang mengabsahkan pemerintahan kafir murtad ini, sistemnya, falsafahnya dan hukumnya (pemerintahan RI), di antara mereka ada yang duduk menjadi thaghut di parlemen, ada yang menjadi menteri agama Pancasila, ada yang menjadi du’at departemen agama thaghut, ada sebagai Bintal (pembintaan mental) di militer dan posisi-posisi lainnya yang menipu umat.

Di dalam kaidah fiqiyyah ditegaskan bahwa status personel thaifah mumtani’ah (kelompok yang mengokohkan diri atau melindungi diri dengan kekuatan yang dimilikinya) adalah tergantung pemimpinnya. Bila thaifah itu adalah bughat (pemberontak muslim) maka personelnya adalah baghiy (pemberontak muslim), bila Khawarij maka personelnya Khariji, bila thaifah itu adalah pemerintah murtad maka personel ansharnya adalah orang kafir murtad (bila mengaku muslim).

D. PEKERJAAN YANG BERSIFAT MENYETUJUI DAN MENGIKUTI SISTEM THAGHUT

Seperti pekerjaan-pekerjaan yang ada di dinas kejaksaan, kehakiman, KPU, Sekretariat MPR/DPR/DPRD dan yang serupa dengan itu yang intinya menyetujui dan mengikuti sistem atau hukum kafir. Umpamanya seorang petugas kejaksaan (bukan Jaksa) saat memborgol dan mengkrangkeng atau menjemput tahanan adalah dalam rangka mengikuti hukum thaghut, seorang petugas Sijn (sipir penjara/LP) bertugas menjaga narapidana agar tidak kabur dalam rangka mengikuti hukum thaghut dan seterusnya.

Pekerjaan-pekerjaan ini sama dengan pekerjaan-pekerjaan sebelunya adalah kekafiran, baik ada sumpah maupun tidak ada karena menyetujui atau mengikuti hukum kafir tanpa ikrah (dipaksa) adalah tawaliy/muwallah kubra (loyalitas yang mengeluarkan dari Islam)
إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ ٢٥ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللَّهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِسْرَارَهُمْ ٢٦ فَكَيْفَ إِذَا تَوَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ ٢٧ ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ ٢٨

”Sesunguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah: “Kami akan mematuhi kamu dalam sebagian urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat maut mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridlaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka”. (Muhammad: 25-28)

Di dalam ayat-ayat ini Allah ta’ala memvonis murtad orang yang berjanji kepada orang-orang kafir bahwa dia akan mematuhi atau mengikuti mereka dalam satu urusan kekafiran, maka bagaimana halnya dengan orang yang benar-benar mematuhi atau mengikuti dalam urusan kekafiran itu?, dan bagaimana halnya dengan orang yang tugasnya adalah menjalankan aturan kafir dan bila dia diprotes maka dia menjawab “ saya hanya menjalankan tugas atau perintah” atau “ saya hanya menjalankan atau mengikuti hukum yang berlaku” ?. Jelas mereka mengikuti apa yang menimbulkan murka Allah ta’ala dan dengan tindakannya itu mereka membenci apa yang mendatangkan ridla-Nya.

Allah ta’ala befirman :
وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ

“Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. (Al Baqarah : 120)

Dan firman-Nya ta’ala :
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم مِّن بَعْدِ مَا جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذَاً لَّمِنَ الظَّالِمِينَ


“Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu sesungguhnya kalau begitu kamu termasuk orang-orang yang zalim”. (Al Baqarah: 145)

Ayat itu menjelaskan bahwa seandainya orang muslim mengikuti ajaran kafir tanpa dipaksa maka dia itu kafir walaupun di hati tidak menyukainya atau dia membencinya atau hatinya masih beriman, karena keyakinan hati ini tidak dianggap saat lisan mengucapkan kekafiran atau anggota badan mengerjakan kekafiran kecuali saat kondisi ikrah (dipaksa) saja, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
مَن كَفَرَ بِاللّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَـكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْراً فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ١٠٦ ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّواْ الْحَيَاةَ الْدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَأَنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ ١٠٧

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, kecuali orang yang dipaksa padahal hatinya tetap tenang dengan keimanan, akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka Allah menimpa mereka azab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kaum yang kafir”. (An Nahl: 106-107)

Ayat ini menunjukan bahwa kekafiran itu tidak dimaafkan kecuali dengan sebab ikrah saja, dan ayat ini menunjukan juga bahwa orang yang mengucapkan atau mengerjakan kekafiran tanpa ikrah adalah telah melapangkan dadanya untuk kekafiran walaupun dia mengklaim sebaliknya atau mengklaim mencintai Islam tetap saja dia divonis kafir dan Allah ta’ala nyatakan bahwa kekafiran itu terjadi bukan karena ingin kafir atau benci kepada Islam, namun “…karena mereka sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat”, yaitu gaji, tunjangan, fasilitas kehidupan dan jaminan pensiun di masa tua.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan secara umum barangsiapa mengucapkan atau mengerjakan sesuatu yang merupakan kekafiran maka dia kafir dengan sebab itu meskipun dia tidak bermaksud untuk kafir, karena tidak bermaksud untuk kafir seorangpun kecuali apa yang Allah kehendaki”. (Ash Sharimul Maslul).

Syaikh Sulaiman ibnu Abdilllah Alu Asy Syaikh rahimahullah berkata “Ulama ijma bahwa siapa yang mengucapkan atau mengerjakan kekafiran maka dia kafir, baik dia itu serius atau bercanda atau main-main, kecuali orang yang dipaksa”. (Ad Dalail: 1).

Bahkan Allah ta’ala berfirman perihal orang-orang yang mengucapkan kekafiran terus beralasan bahwa mereka hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja
لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“…tidak usah kalian meminta maaf, karena kalian kafir setelah beriman” (At Taubah: 66)

E. PEKERJAAN YANG DISYARATKAN TERLEBIH DAHULU UNTUK BERSUMPAH ATAU BERJANJI SETIA KEPADA THAGHUT/SISTEM DAN HUKUMNYA

Setiap pekerjaan di dalam dinas pemerintahan thaghut ini walaupun asal pekerjaannya mubah atau haram yang tidak sampai kepada kekafiran, namun sebelum diangkat menjadi pegawai/pekerja disyaratkan mengikrarkan sumpah/janji setia kepada thaghut, maka ini adalah kekafiran karena sebab sumpah/janjinya itu bukan karena dzat pekerjaannya. Umpanya menjadi mantri atau dokter di puskesmas atau rumah sakit adalah mubah, namun bila dia sumpah setia kepada thaghut sebelumnya maka dia kafir karena sumpahnya. Menjadi PNS di Bea Cukai atau Perpajakan atau Imigrasi adalah pekerjaan haram karena semuanya kezaliman, namun tidak sampai kepada kekafiran akan tetapi bila sebelumnya ada sumpah atau janji setia kepada thaghut maka menjadi kafir dengan sebab sumpahnya itu.
إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ ٢٥ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللَّهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِسْرَارَهُمْ ٢٦ فَكَيْفَ إِذَا تَوَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ ٢٧ ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ ٢٨

”Sesunguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah: “Kami akan mematuhi kamu dalam sebagian urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat maut mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridlaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka”. (Muhammad: 25-28)

Di sisi Allah taa’ala memvonis murtad orang yang berjanji kepada orang-orang kafir untuk mematuhi sebagian urusan kekafiran mereka, maka apa gerangan dengan orang yang berjanji untuk setia kepada falsafah kafir, hukum kafir dan negara kafir dan untuk mematuhi segala aturan thaghut…???, dan apa gerangan dengan orang yang mengatakan janjinya dan sumpahnya itu dengan nama Allah…???, sedangkan sesuai dengan aturan main/UU thaghut bahwa orang yang resmi menjadi PNS harus mengikrarkan sumpah PNS seraya disaksikan seorang rohaniawan dan pejabat dilingkungan dinasnya, dan isi sumpahnya adalah sumpah dengan nama Allah untuk setia kepada Pancasila, UUD 45 dan Negara Kafir Republik Indonesia (NKRI) dan untuk mematuhi segala peraturan perundang-undangan yang berlaku serta untuk menjaga rahasia negara dan mendahulukan kepentingan negara terhadap kepentingan golongan (yaitu agama Islam diantaranya). Hakikat sumpah itu adalah: “DEMI ALLAH SAYA AKAN KAFIR KEPADA ALLAH DAN BERIMAN KEPADA THAGHUT…!!!” padahal Allah ta’ala:
أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ

“… beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut itu…” (An Nahl: 36)

Dan Allah ta’ala berfirman :
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا

“…barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kokoh yang tidak akan putus” (Al BAqarah: 256).

Bila orang itu mengklaim bahwa dia ucapkan itu seraya berdusta dan dihatinya tidak ada niat untuk setia dan patuh, maka kami katakan bahwa kamu tetap kafir…! walau hanya bohongan saat mengikrarkan sumpah itu, karena Allah telah mencap kafir orang yang berjanji bohong untuk melakukan kekafiran (yaitu membantu orang-orang Yahudi dalam melawan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana firman-Nya ta’ala:
أَلَمْ تَر إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لِإِخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَداً أَبَداً وَإِن قُوتِلْتُمْ لَنَنصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafiq yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: ”Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersama kalian dan kami selama lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk menyulitkan kamu, dan jika kalian diperangi pasti kami akan membantu kalian.” Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta”. (Al Hasyr: 11).

Alasan yang diterima Islam hanya ikrah (paksaan), sedangkan kalian tidak dipaksa dan malah justru bersaing untuk menjadi pegawai dan bahkan dengan menyogok agar lulus, tapi
ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّواْ الْحَيَاةَ الْدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ وَأَنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“… yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat, dan bahwasannya Allah ta’alatidak member petunjuk kepada kaum yang kafir”. (An Nahl: 107)

Ini adalah bentuk-bentuk pekerjaan yang kufur akbar di dinas pemerintahan thaghut ini, dan untuk poin A, B, C dan D pekerjaan-pekerjaan di sana adalah kekafiran akbar dengan sendirinya yaitu dzat pekerjaannya adalah kufur akbar dan syirik akbar sehingga individu orangnya bisa kita kafirkan karena terbukti kekafirannya di hadapan kita. Adapun yang poin E yaitu yang dikafirkan dengan sebab sumpah/janji setia bukan karena dzat dinas atau pekerjaannya maka kita tidak bisa mengkafirkan individu orangnya kecuali kalau kita mengetahui lansung bahwa dia bersumpah, atau orang itu mengakui bahwa dia bersumpah, atau ada dua saksi laki-laki adil yang bersaksi dihadapan kita bahwa keduanya melihat atau mendengar dia bersumpah atau ada khabar yang istifadlah (masyhur diketahui khalayak umum) bahwa dia bersumpah.

Kalau ada salah satu dari hal-hal itu maka boleh mengkafirkan individu (ta’yin) orang itu, namun bila tidak ada maka tidak boleh mengkafirkannya walaupun sebenarnya dia itu bersumpah (kafir), di mana dihadapan Allah ta’ala dia itu kafir sedangkan dihadapan kita dia itu dihukumi muslim karena menampakkan keislaman. Dan bisa saja si A mengetahui dia itu kafir karena melihatnya bersumpah sehingga memperlakukannya sebagaimana orang kafir, namun si B tidak mengetahuinya sehingga menganggapnya muslim, dan itu tidak ada masalah dan si A tidak boleh memaksa si B untuk mengikuti vonis dia, tapi si B boleh mengikuti si A bila dia adil sebagaimana Umar radliyallahu‘anhu mengikuti Hudzaifah radliyallahu ‘anhu dalam sikap tidak menshalatkan jenazah orang munafik yang hanya diketahui Hudzaifah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

<2>. Pekerjaan yang haram yang tidak sampai kepada kekafiran.

Yaitu setiap pekerjaan yang tidak mengandung salah satu usur kekafiran di atas akan tetapi bergerak di dalam bidang yang haram, seperti riba, kezaliman, membantu dalam kezaliman, memakan harta manusia dengan batil, atau muwallah shugra (segala yang menghantarkan kepada penghormatan dan kemuliaan orang kafir dengan tetap membenci, memusuhi, dan mengkafirkannya), atau hal haram lainnya.

<3>. Pekerjaan yang makruh

Yaitu yang tidak ada unsur kekafiran dan keharaman, dengan syarat darurat atau sangat membutuhkan dan tetap menampakkan keyakinan (dien). Dikatakan makruh karena yang dituntut dari orang muslim adalah menjauhi orang kafir. Dan adapun syarat menampakan dien maka dia diambil dari kontek hadits atau atsar yang menunjukkan bahwa sebagian shahabat bekerja pada orang-orang musyrik seraya tetap menampakkan dien yang dianut, di mana Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Khabab ibnu Al Art radliayallahu ‘anhu berkata: “Saya mendatangi Al ‘Ash ibnu Wail As Sahmi untuk menagih hak saya yang ada padanya, maka dia berkata: “Saya tidak akan memberikannya kepadamu sampai kamu kafir kepada Muhammad.”, maka saya berkata: “Tidak, sampai kamu mati terus dibangkitkan pun.”

Bila tidak menampakkan diennya saat dia bekerja di dinas milik thaghut maka dia berdosa karena meninggalkan kewajiban demi dunia.

Orang yang kekafirannya hanya karena sebab sumpah setia kepada thaghut namun dzat pekerjaannya bukan kekafiran seperti bentuk pekerjaan model E, maka dia menjadi muslim dengan berlepas diri dari sumpahnya itu dan ikrar dua kalimah syahadat lagi, walaupun dia tidak keluar dari pekerjaannya, namun yang utama adalah dia keluar dari pekerjaannya itu. Sedangkan orang yang dzat pekerjaannya adalah kekafiran seperti bentuk-bentuk pekerjaan model A, B, C, D, maka dia tidak menjadi muslim kecuali dengan keluar dari pekerjaannya dan ikrar dua kalimah syahadat lagi.

Wallahu Ta’ala A’lam.