Minggu, 17 Juni 2012

Apa Itu Khilafah????

PERTAMA: PENGERTIAN KHILAFAH


Menurut Ulama Lughoh (Bahasa Arab)

Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisaan al-’Arab dan Al-’Allamah Muhammad Murtadho Az-Zabidiy dalam Tajul ‘Arusy min Jawahir al-Qamus, menyatakan:

والخليفة إمام الرعية

“Khalifah adalah Imamnya rakyat”.



Menurut Ulama Fiqih



Dalam kitab الموسوعة الفقهية bab إمَامَةٌ كُبْرَى disebutkan :

وَالْإِمَامَةُ الْكُبْرَى فِي الِاصْطِلَاحِ : رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ فِي الدِّينِ وَالدُّنْيَا خِلَافَةً عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَسُمِّيَتْ كُبْرَى تَمْيِيزًا لَهَا عَنْ الْإِمَامَةِ الصُّغْرَى , وَهُمْ إمَامَةُ الصَّلَاةِ

(Makna) Imamah kubra secara istilah: Kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Rasulullah SAW, dikatakan kubra (besar) untuk membedakan dari Imamah sughro (kecil) yakni Imam shalat.



Imam Al-Mawardi Mazhab Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Ahkaam As-Sulthaniyyah hal 3, menyatakan:

الْإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا، وَعَقْدُهَا لمن يقومُ بها في الأمة واجب بالاجماع

"Imamah diletakkan (diposisikan) untuk mengganti nabi dalam menjaga agama dan mengurus dunia, dan mengangkat orang yang melakukannya (menjaga agama dan mengurus dunia) ditengah-tengah umat merupakan kewajiban berdasarkan ijma’."



Imam Ar-Ramli dalam Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i (dari mazhab Syafi’i) menyatakan:

الخليفة هو الإمام الأعظم, القائم بخلافة النبوة, فى حراسة الدين وسياسة الدنيا

“Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan Khilafah Nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”



Menurut Ulama Ushuluddin

Imam Al-Haramain dalam Ghiyatsul Umam fil Tiyatsi Adz-Dzulam berkata:

الإمامة رياسة تامة ، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا ـ .

“Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan agama maupun dunia”.



Imam Al-Aijiy dalam kitab Al-Mawaqif menyatakan:

هي خلافة الرسول في إقامة الدين بحيث يجب اتباعه على كافة الأمة الامامة) .

“Imamah adalah merupakan Khilafah (pengganti) Rasul SAW (sebagai kepala Negara) dalam menegakkan agama, dimana seluruh umat wajib mengikutinya.”.



Pada bagian yang lain:

قال قوم من أصحابنا الإمامة رياسة عامة في أمور الدين والدنيا لشخص من الأشخاص

“Sebagaian kelompok dari shahabat kami menyatakan bahwa Imamah itu adalah kepemimpinan umum dalam berbagai urusan agama dan dunia”.

Sebutan Lain Khilafah dan Khalifah

Para Ulama’ menjelaskan kata Khilafah, Imamah atau Imamah Uzhma atau Imarotul Mukminin sebagai makna yang sama. Dan kata Imam, Khalifah, dan Amirul Mu’minin sebagai bentuk sinonim (taraaduf).



Imam Ar-Razi berpendapat mengenai istilah Imamah dan Khilafah dalam kitab Mukhtar Ash-Shihah hal. 186 :

الخلافة أو الإمامة العظمى ، أو إمارة المؤمنين كلها يؤدي معنى واحداً ، وتدل على وظيفة واحدة و هي السلطة العيا للمسلمين

“Khilafah atau Imamah ‘Uzhma, atau Imaratul Mukminin semuanya memberikan makna yang satu [sama], dan menunjukkan tugas yang satu [sama], yaitu kekuasaan tertinggi bagi kaum muslimin.” (Lihat Muslim Al-Yusuf, Daulah Al-Khilafah Ar-Rasyidah wa Al-‘Alaqat Ad-Dauliyah, hal. 23; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz 8/270).



Imam Al-Hafidz Al-Nawawi dalam Raudhah Ath-Thalibin wa Umdah Al-Muftiin dan Syeikh Khatib Asy-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj menyatakan:

يجوز أن يقال للإمام : الخليفة ، والإمام ، وأمير المؤمنين ...

“Imam boleh juga disebut dengan Khalifah, Imam atau Amirul Mukminin”.

Al-‘Allamah Abdurrahman Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah hal 97 berkata:

وإذ قد بيَّنَّا حقيقة هذا المنصف وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة وإمامة والقائم به خليفة وإمام

“Telah kami jelaskan hakikat kedudukan ini [Khalifah] dan bahwa ia adalah pengganti dari Pemilik syariah [Rasulullah SAW] dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan agama. [Kedudukan ini] dinamakan Khilafah dan Imamah, dan orang yang melaksanakannya [dinamakan] Khalifah dan Imam.”

Dalam Al-Majmu’, Imam An-Nawawi menyatakan bahwa khilafah disebut juga Imamah Kubra:

لان الامامة الكبرى إنما يقصد بها الخلافة كما قدمنا

Syeikh Muhammad Najib Al-Muthi’iy dalam Takmilah-nya atas Kitab Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab karya Imam An Nawawi. Beliau menegaskan:

( الإمامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة )

“Imamah, Khilafah dan Imaratul mukminin itu Mutaradif (sinonim).




KEDUA: KHILAFAH FARDHU


Kewajiban Khilafah adalah perkara yang jelas dalilnya berdasarkan Al Qur’an, as Sunnah, dan ijmak Sahabat. Meskipun demikian masih ada yang menyatakan bahwa Khilafah tidak memiliki pijakan nash.

Pertama, bahwa sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan semesta alam adalah sistem Khilafah. Di dalam sistem Khilafah ini, Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan kitabullah dan sunah rasul-Nya untuk memerintah (memutuskan perkara) sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Dalil-dalilnya banyak, diambil dari al-kitab, as-sunah dan ijmak sahabat :

Dalil dari al-Qur’an, bahwa Allah Swt telah berfirman menyeru Rasul saw :

فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ



Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS. al-Maidah [5]: 48)

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ

Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.(QS. al-Maidah [5]: 49).

Seruan kepada Rasul saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah juga merupakan seruan bagi umat Beliau saw. Mafhumnya adalah hendaknya umat Beliau mewujudkan seorang hakim setelah Rasulullah saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Perintah dalam seruan ini bersifat tegas. Karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan jazm (tegas). Hakim yang memutuskan perkara diantara kaum muslim setelah wafatnya Rasulullah saw adalah Khalifah. Sistem pemerintahan menurut sisi ini adalah sistem Khilafah. Terlebih lagi bahwa penegakan hudud dan seluruh ketentuan hukum syara adalah sesuatu yang wajib. Kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa. Dan kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. Yakni bahwa mewujudkan penguasa yang menegakkan syariat hukumnya adalah wajib. Penguasa menurut sisi ini adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem Khilafah.

Ketika, Rasulullah Muhammad saw., menjelang hijrah dari Makkah ke Madinah, beliau saw., mendapatkan wahyu:

وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا

Katakanlah (Muhammad), “Duhai Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan pula dari tempat keluar yang benar, serta berikanlah kepada diriku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong-(ku).” (QS al-Isra’ [17]: 80).

Berkaitan dengan hal ini Imam Ibnu Katsir mengutip pendapat Qatadah, “Rasul saw. tahu bahwa tidak ada kemampuan yang beliau miliki untuk melakukan hal itu (hijrah) kecuali dengan adanya kekuasaan. Karena itu, beliau memohon kekuasaan yang menolong Kitabullah, hukum Allah, kewajiban dari Allah dan kekuasaan yang menolong penegakkan agama Allah. Sebab, kekuasaan itu merupakan rahmat dari Allah yang Dia berikan di antara hamba-hamba-Nya. Andai saja tanpa kekuasaan niscaya orang kuat akan memakan orang lemah di antara mereka.” (Tafsiral-Quran al-’Azhim, V/111).

Dalam ayat ini setidaknya ada empat pelajaran yang dapat diambil terkait kebangkitan. Pertama: perlu memahami realitas buruk yang hendak dirubah. Kedua: perlu memahami realitas baik yang dituju sebagai pengganti realitas yang buruk tersebut. Ketiga: menempuh jalan perubahan itu sesuai dengan jalan yang digariskan oleh Allah SWT. Keempat: perlu adanya kekuatan untuk keberhasilan kebangkitan itu.

Siapapun yang mengkaji sirah Rasulullah saw. akan menemukan setidaknya ada dua hal yang dilakukan oleh beliau sebagai penjelas dari hal tersebut. Beliau terus-menerus melakukan pembinaan kepada masyarakat. Di dalamnya menyangkut penjelasan tentang kebobrokan kondisi Arab Jahiliah sekaligus tawaran Islam sebagai solusinya. Melalui jalan ini tumbuhlah kesadaran masyarakat, lalu masyarakat menuntut perubahan dengan penuh pengorbanan.

Nabi saw. tidak berhenti sampai di sini. Beliau pun mendakwahi para pemilik kekuatan (ahlul quwwah) dan meminta mereka untuk mendukung dakwah serta menolong beliau dalam meraih kekuasaan (thalab an-nushrah). Berkat kegigihan beliau, dengan izin Allah SWT, beliau mendapatkan pertolongan dari para pemimpin kabilah di Madinah sehingga tegaklah pemerintahan Islam pertama di Madinah.

Maka, jelaslah bahwa mengangkat seorang Khalifah adalah wajib.

Berdasarkan hal ini ada dua jalan yang mutlak ditempuh dalam menyongsong kebangkitan itu. Pertama: membangun kesadaran masyarakat tentang syariah dan Khilafah sebagai satu-satunya solusi bagi umat Islam dan seluruh umat manusia secara umum. Untuk itu, berbagai upaya pembinaan dan penyadaran perlu dilakukan terus di berbagai tempat dan kesempatan. Masyarakat yang sadar akan bersama-sama berjuang menuntut perubahan dengan tegaknya syariat dan Khilafah. Perjuangan masyarakat yang massif tidak akan pernah ada yang dapat menghalanginya. Satu-satunya pihak yang boleh jadi menjadi batu penghalang adalah para pemilik kekuatan. Untuk itu, perlu dilakukan aktivitas kedua: meraih dukungan dakwah dari para pemilik kekuatan. Oleh sebab itu, upaya thalab an-nushrah harus terus dilakukan dari berbagai pihak pemilik kekuatan, termasuk militer. Melalui jalan ini, insya Allah, kemenangan sebagaimana yang diberikan oleh Allah SWT kepada Rasulullah saw. 15 abad lalu akan diberikan kepada umatnya saat ini.

Adapun dalil dari as-Sunnah, telah diriwayatkan dari Nafi’, ia berkata : “Abdullah bin Umar telah berkata kepadaku: “aku mendengar Rasulullah saw pernah bersabda :

رُوي عن نافع قال:قال لي عبد الله بن عمر:سمعت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يقول:{من خلع يداً من طاعة لقي الله يوم القيامة لاحجة له، ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية} رواه مسلم

“Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka dia pasti akan bertemu dengan Allah pada hari Kiamat tanpa hujjah, dan siapa saja yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada bai’at, maka dia pun mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim)

Nabi saw telah mewajibkan kepada setiap muslim agar dipundaknya terdapat baiat. Beliau juga mensifati orang yang mati sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat bahwa ia mati seperti kematian jahiliyah. Baiat tidak akan terjadi setelah Rasulullah saw kecuali kepada Khalifah, bukan yang lain. Hadits tersebut mewajibkan adanya baiat di atas pundak setiap muslim. Yakni adanya Khalifah yang dengan eksistensinya itu terealisasi adanya baiat di atas pundak setiap muslim.

Di dalam hadits ini dijelaskan bahwa kaum muslimin wajib terdapat bai’at pada pundaknya, dan mensifati orang yang meninggal sedangkan di pundaknya tidak ada bai’at dengan mati jahiliyah. Faktanya, bai’at setelah wafatnya Rasulullah SAW itu hanya dilakukan kepada para khalifah bukan kepada yang lain. Jadi hadits ini menegaskan wajibnya adanya bai’at pada setiap pundak kaum muslim, yakni adanya seorang khalifah yang dengannya terwujudlah bai’at pada setiap pundak kaum muslim.

Tidaklah mungkin kita bisa melaksanakan semua hukum-hukum semacam qishash, had zina, potong tangan, jihad fi sabilillah dll, tanpa adanya penguasa yang memiliki kekuasaan real. Kaidah syara’ mengatakan:

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

“Apabila suatu kewajiban tidak dapat sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib.”

Maka, jelaslah bahwa mengangkat seorang Khalifah adalah wajib.

Sedangkan dalil berupa ijma’ sahabat, maka para sahabat –ridhwanaLlâh ‘alayhim– telah bersepakat atas keharusan pengangkatan Khalifah (pengganti) bagi Rasulullah saw setelah Beliau wafat. Mereka telah bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah, lalu Umar bin Khaththab sepeninggal Abu Bakar, dan sepeninggal Umar, Utsman bin Affan. Telah nampak jelas penegasan ijmak sahabat terhadap wajibnya pengangkatan Khalifah dari penundaan pengebumian jenazah Rasulullah saw, lalu mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah (pengganti) Beliau. Sementara mengebumikan jenazah setelah kematiannya adalah wajib. Para sahabat adalah pihak yang berkewajiban mengurus jenazah Rasul saw dan mengebumikannya, sebagian dari mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah, sementara sebagian yang lain diam saja atas hal itu dan mereka ikut serta dalam penundaan pengebumian jenazah Rasul saw sampai dua malam. Padahal mereka mampu mengingkarinya dan mampu mengebumikan jenazah Rasul saw. Rasul saw wafat pada waktu dhuha hari Senin, lalu disemayamkan dan belum dikebumikan selama malam Selasa, dan Selasa siang saat Abu Bakar dibaiat. Kemudian jenazah Rasul dikebumikan pada tengah malam, malam Rabu. Jadi pengebumian itu ditunda selama dua malam dan Abu Bakar dibaiat terlebih dahulu sebelum pengebumian jenazah Rasul saw. Maka realita tersebut merupakan ijmak sahabat untuk lebih menyibukkkan diri mengangkat Khalifah dari pada mengebumikan jenazah. Hal itu tidak akan terjadi kecuali bahwa mengangkat Khalifah lebih wajib daripada mengebumikan jenazah. Juga bahwa para sahabat seluruhnya telah berijmak sepanjang kehidupan mereka akan wajibnya mengangkat Khalifah. Meski mereka berbeda pendapat mengenai seseorang yang dipilih sebagai Khalifah, mereka tidak berbeda pendapat sama sekali atas wajibnya mengangkat Khalifah baik ketika Rasul saw wafat, maupun ketika para Khulafaur Rasyidin wafat. Maka ijmak sahabat itu merupakan dalil yang jelas dan kuat atas wajibnya mengangkat Khalifah.

Maka, jelaslah bahwa mengangkat seorang Khalifah adalah wajib.

Menurut ahli Fiqh

Abdurrahman Al Jaziri, dalam kitab الفقه على المذاهب الأربعة juz 5 hal 197 mengatakan :

اتفق الأئمة رحمهم الله تعالى على : أن الإمامة فرض وأنه لا بد للمسليمن من إمام يقيم شعائر الدين وينصف المظلومين من الظالمين وعلى أنه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا إمامان لا متفقان ولا مفترقان…

Telah sepakat para Imam Madzhab, semoga Allah merahmati mereka, atas: sesungguhnya Imamah (Khilafah) adalah kewajiban dan sesungguhnya haruslah kaum muslimin mempunyai Imam yang menegakkan syi’ar-syi’ar agama, mengambil haknya orang orang yang didzolimi dari orang-orang yang dzalim, dan (mereka sepakat) bahwa sesungguhnya tidak boleh bagi kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia terdapat dua imam baik mereka sepakat atau bersengketa…

Dalam kitab الموسوعة الفقهية bab إمَامَةٌ كُبْرَى dinyatakan:

أَجْمَعَتْ الْأُمَّةُ عَلَى وُجُوبِ عَقْدِ الْإِمَامَةِ , وَعَلَى أَنَّ الْأُمَّةَ يَجِبُ عَلَيْهَا الِانْقِيَادُ لِإِمَامٍ عَادِلٍ , يُقِيمُ فِيهِمْ أَحْكَامَ اللَّهِ , وَيَسُوسُهُمْ بِأَحْكَامِ الشَّرِيعَةِ الَّتِي أَتَى بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم

Umat telah sepakat akan wajibnya mengangkat Imamah (Khilafah), dan umat wajib tunduk kepada imam yang adil, yang menegakkan hukum-hukum Allah atas mereka, dan mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum syara’ yang dibawa Rasulullah SAW.

Imam 'Alauddin al-Kasaniy Mazhab al-Hanafiy dalam Bada’iush Shanai’ fii Tartibis Syarai’ menyatakan:

وَلِأَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَرْضٌ ، بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ ، وَلَا عِبْرَةَ - بِخِلَافِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ - ؛ لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ ؛ لِتَقَيُّدِ الْأَحْكَامِ ، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ ، وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ الَّتِي لَا تَقُومُ إلَّا بِإِمَامٍ ، ...

“Dan karena sesungguhnya mengangkat seorang Imamul a’dzom itu fardhu. Tidak ada perbedaan di antara para ahlul haq (ahlus sunnah) - dan tidak usah dianggap apa yang dikatakan oleh sebagian pengikut qodariyyah - berdasakan ijma’ shahabat r.a. atas hal itu, dan karena kebutuhan yang sangat urgen terhadap keberadaan imam, untuk menerapkan hukum-hukum syariah, membela orang yang didzolimi dari yang mendzolimi, menghentikan pertentangan yang merupakan sumber kerusakan, dan lain sebagainya yang tidak mungkin terealisir tanpa adanya seorang imam.”

Al-'Allamah Ibnu Hajar al-Haitsami Al-Makki Mazhab Asy-Syafi’i (wafat 974 H) dalam kitabnya yang berjudul الصواعق المحرقة على أهل الرفض والضلال والزندقة juz 1 hal 25 menyatakan:

اعلم أيضا أن الصحابة رضوان الله تعالى عليهم أجمعين أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله واختلافهم في التعيين لا يقدح في الإجماع المذكور

“Ketahuilah juga bahwa para shahabat r.a. telah berijma’ atas wajibnya mengangkat seorang imam pasca selesainya zaman kenabian, bahkan mereka menjadikan kewajiban ini sebagai kewajiban yang paling penting, di mana mereka lebih menyibukkan diri dalam mengangkat khalifah dari pada menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan perbedaan pendapat tentang penentuan (seorang yang menjadi Khalifah) tidaklah merusak Ijma yang disebutkan tadi".

Menurut Ulama Ushuluddin

Imam Ibnu Hazm al-Andalusi Azh-Zhohiriy dalam Al-Fashl fî Al-Milal wa Al-Ahwâ’ wa An-Nihal berkata :

اتَّفَقَ جَمِیْعُ أَھلِ السُّنَّةِ وَجَمِیْعُ الْمُرْجِئَةِ وَجَمِیْعُ الشِّیْعَةِ وَجَمِیْعُ الْخَوَارِجِ عَلَى وُجُوْبِ الْإِمَامَةِ وَأَنَّ الْأُمَّةَ وَاجِبٌ عَلَیھا الْاِنْقِیَادُ لِإِمَامٍ عَادِلٍ یُقِیْمُ فِیْھمْ أَحْكَامُ اللهِ وَیَسُوْسُھمْ بِأَحْكَامِ الشَّرِیْعَةِ الَّتِيْ أَتَى بھا رَسُوْلُ اللهِ حَاشَا النَّجَدَاتِ مِنَ الْخَوَارِجِ

“Semua Ahlu as-Sunnah, Murji’ah, Syî’ah dan Khawarij sepakat atas wajibnya Al-Imâmah dan wajib bagi umat Islam untuk menaati seorang Imam Adil, yang menerapkan hukum-hukum Allah SWT di tengah-tengah mereka, mengurus mereka dengan Syarî’ah yang dibawa Rasulullah SAW, kecuali an-Najadât dari kalangan Khawârij”.

Syaikh Abdulloh bin ‘Umar bin Sulaimân Ad-Dumaijî dalam Al-Imâmah Al-‘Udhmâ ‘Inda Ahli As-Sunnah wa Al-Jamâ’ah berkata :

اتفق السواد الأعظم من المسلمين على وجوب نصب الإمام ، ولم يشذ عن هذا الإجماع إلا النجدات من الخوارج ، والأصم ، والفوطي

“Telah bersepakat mayoritas (as-Sawadul A’dzhom) dari kaum muslimin atas wajibnya mengangkat seorang Imam, tidak ada yang menolak Ijma ini kecuali An-Najadât dari kalangan Khawârij serta Al-Ashamm dan Al-Fûthî (dari kalangan Mu’tazilah)”.

Menurut ahli Tafsir al-Quran

Berkata Imam Umar bin Ali bin Adil Ad-Dimasyqi Mazhab Hambali, yang dikenal dengan Ibnu Adil dalam Tafsirul Lubab fii 'Ulumil Kitab, ketika menjelaskan firman Allah Ta'ala surah Al-Baqarah[2] ayat 30:

إني جاعل في الارض خليفة



"Sungguh Kami jadikan di bumi itu Khalifah."

... هذه الآية دليلٌ على وجوب نصب إمام وخليفة يسمع له ويُطَاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة ، ولا خلاف في وجوب ذلك بَيْنَ الأئمة إلاّ ما روي عن الأصَمّ ، وأتباعه

...

“Ayat ini adalah dalil wajibnya mengangkat Imam dan Khalifah yang didengar dan dita'ati, untuk menyatukan pendapat, serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham dan orang yang mengikuti dia…”

Al-Imam Al-Qurthubi Mazhab Maliki, dalam tafsir الجامع لأحكام القرآن ketika menafsirkan QS.al-Baqarah[2]: 30, beliau berkata:

”... هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة. ولا خلاف في وجوب ذلك بين الامة ولا بين الائمة إلا ما روي عن الاصم(1) حيث كان عن الشريعة أصم، وكذلك كل من قال بقوله واتبعه على رأيه ومذهبه

،..“

…ayat ini pokok (yang menegaskan) bahwa mengangkat imam dan khalifah untuk didengar dan dita’ati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan, melalui khalifah, hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara umat, tidak pula diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham [1], yang menjadi syariat Asham, dan begitu pula setiap orang yang berkata dengan perkataannya serta orang yang mengikuti pendapat dan madzhabnya."

[1] Al-Asham adalah salah satu tokoh senior Mu’tazilah, nama lengkapnya adalah Abu Bakar Al-Asham

Menurut ahli Hadits

Imam al-Hafidz An-Nawawi Mazhab As-Syafi’I (wafat 676 H) dalam Syarh an-Nawawi ‘ala Shohih Muslim (12/205) mengatakan:

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِب عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْب خَلِيفَة وَوُجُوبه بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ ، وَأَمَّا مَا حُكِيَ عَنْ الْأَصَمّ أَنَّهُ قَالَ : لَا يَجِب ، وَعَنْ غَيْره أَنَّهُ يَجِب بِالْعَقْلِ لَا بِالشَّرْعِ فَبَاطِلَانِ ،

“Dan mereka (para ulama’ kaum muslimin) telah sepakat bahwasanya wajib bagi kaum Muslim mengangkat seorang Khalifah. Kewajiban ini berdasarkan syara’ bukan akal. Adapun yang diriwayatkan dari Al-Asham bahwasanya dia mengatakan: tidak wajib, atau dari selainnya, yang mengatakan wajib berdasarkan akal, bukan syara’, maka dua pandangan itu adalah bathil.”


KETIGA: KHILAFAH FARDHU KIFAYAH

Hukum mengangkat Khalifah (kepala negara), termasuk mendirikan Khilafah, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kaum Muslim, yaitu fardhu. Hanya saja, apakah fardhu ‘ain atau fardhu kifayah, memang ada perbedaan pendapat. Al-’Allamah al-Mardawi, dari mazhab Hanbali, dalam Bab Qital Ahl al-Baghy, menyatakan, “Mengangkat Imam (kepala negara) hukumnya fardhu kifayah.” Dalam kitab al-Furu’, dia menegaskan, “Hukumnya fardhu kifayah menurut pendapat yang paling tepat.” Pada bagian yang lain, dia menegaskan kembali, bahwa mengangkat Imam hukumnya fardhu kifayah menurut mazhab yang sahih.1

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Imam an-Nawawi, Zakaria al-Anshari, al-Khathib as-Syarbini, az-Zujaji, al-Bujairimi dan al-Jamal bin Sulaiman; semuanya dari mazhab Syafii, bahwa hukum mendirikan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah.2

Dalam kitab Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Imam Al-Hafidz Abu Zakaria An-Nawawi Mazhab Asy-Syafi’i menyatakan:

اَلْفَصْلُ الثَّانِيْ فِيْ وُجُوْبِ الإِمَامَةِ وَبَيَانِ طُرُقِهَا: لاَبُدَّ لِلأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ الدِّيْنَ، وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ، وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُوْمِيْنَ، وَيَسْتَوْفِيَ الْحُقُوْقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا. قُلْتُ: تَوَلَّي الإمَامَة فَرْضُ كِفَايَةٍ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَنْ يَصْلُحُ إِلاَّ وَاحِداً، تَعَيَّنَ عَلَيْهِ وَلَزِمَهُ طَلَبُهَا إِنْ لَمْ يَبْتَدِئُوْهُ

Pasal Kedua tentang Kewajiban Adanya Imamah (Khilafah) dan Penjelasan tentang Tatacaranya: Umat harus mempunyai seorang imam (khalifah) yang menegakkan agama, membela as-Sunnah, dan membela hak-hak orang yang dizalimi, menunaikan hak-hak dan menempatkannya pada tempatnya. Aku (an-Nawawi) berkata: Mendirikan Imamah (Khilafah) hukumnya fardhu kifayah. Jika tidak ada orang yang layak, kecuali hanya satu, maka kewajiban tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain bagi dirinya. Dia pun harus dicari, jika mereka tidak mulai (dengan) mengangkatnya.3

Imam Al-hafidz Zakaria Al-ansohri Mazhab asy-Syafi’i dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab, dan Syeikh Sulaiman Al-Bajairimi Mazhab asy-Syafi’i dalam Hasyiyah Al-bajayrimi ala Al-Khatib menyatakan:

في شروط الامام الاعظم، وفي بيان طرق انعقاد الامامة، وهي فرض كفاية

“… tentang syarat-syarat Imam yang agung serta penjelasan metode-metode in’iqadnya Imamah. Mewujudkan Imamah yang agung itu adalah fardhu kifayah”.

Imam Abu al-Hasan Al-Mardawiy Al Hanbali dalam Al Inshaaf fii Ma'rifatir Rajih minal Khilaf ala Madzhabil Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

فَرْضُ كِفَايَةٍ ... نَصْبُ الْإِمَامِ.

“Mengangkat Imam itu adalah fardhu kifayah”.

Imam Al-Bahuti Mazhab Hanafi dalam Kasyful Qanaa' ‘an Matnil Iqnaa' berkata:

...( نَصْبُ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ ) عَلَى الْمُسْلِمِينَ ( فَرْضُ كِفَايَةٍ )...

“…(mengangkat Imam yang agung itu) atas kaum Muslim (adalah fardhu kifayah).”


KE EMPAT: TAK MEMPERJUANGKAN KHILAFAH, BERDOSA?

Soal: Jika menegakkan Khilafah hukumnya fardhu kifayah, apakah tidak cukup hanya dengan kelompok-kelompok yang sudah ada? Apakah kaum Muslim masih berdosa jika tidak ikut berjuang menegakkan Khilafah saat sudah ada yang mengerjakannya?

Jawab:

Sudah dijelaskan bahwa, pendapat yang paling kuat (rajih) terkait pendirian Khilafah, hukumnya adalah fardhu kifayah.

Pertanyaannya kemudian, apakah tidak cukup dengan kelompok-kelompok yang sudah mengupayakannya, ataukah kaum Muslim masih berdosa jika tidak ikut berjuang menegakkannya saat kelompok yang mengerjakannya hingga sekarang belum berhasil?

Dalam hal ini, Imam an-Nawawi memberikan jawaban:

إِذَا فَعَلَهُ مَنْ تَحْصُلُ بِهِمُ الْكِفَايَةُ سَقَطَ الْحَـرَجُ عَنِ الْبَاقِيْنَ، وَإِنْ تَرَكُوْهُ كُلُّهُمْ أَثِمُوْا كُلُّهُمْ

Jika fardhu kifayah (jihad) itu dikerjakan oleh orang yang mempunyai kapasitas untuk menunaikannya, maka beban (kewajiban) tersebut telah gugur dari yang lain. Namun, jika mereka semuanya meninggalkannya, maka semuanya berdosa. 4

Artinya, yang menjadi ukuran bukan yang penting kewajiban tersebut telah dikerjakan, tetapi dikerjakan oleh orang atau sekelompok orang yang mempunyai kapasitas untuk menunaikannya hingga berhasil, baru kewajiban tersebut dinyatakan gugur dari yang lain.

Dalam penjelasan lain, tentang amar makruf dan nahi mungkar yang hukumnya juga fardhu kifayah, Imam an-Nawawi menyatakan:

ثُمَّ إِنَّهُ قَدْ يَتَعَيَّنَ كَمَا إِذَا كَانَ فِيْ مَوْضِـعٍ لاَ يَعْلَـمُ بِهِ إِلاَّ هُوَ، أَوْ لاَ يَتَمَكَّنَ مِنْ إِزَالَـتِهِ إِلاَّ هُوَ

Kemudian, kadang-kadang fardhu kifayah itu bisa berubah menjadi fardhu ‘ain, seperti ketika fardhu kifayah (amar makruf/nahi mungkar) ini dalam konteks yang hanya diketahui oleh orang itu, atau tidak mungkin bisa dihilangkan, kecuali oleh dia. 5

Dengan kata lain, fardhu kifayah dinyatakan gugur saat benar-benar telah berhasil diwujudkan. Bila tidak, maka fardhu tersebut kembali kepada seluruh kaum Muslim; semuanya dianggap berdosa saat fardhu tersebut belum terwujud. Pada saat itu, masing-masing orang berkewajiban untuk melaksanakannya hingga benar-benar terwujud. Dalam konteks inilah, maka fardhu kifayah bisa berubah menjadi fardhu ‘ain.

Ini dipertegas oleh penjelasan Imam al-Baidhawi:

خَاطَبَ الْجَمِيْعَ وَطَلَبَ فِعْلَ بَعْضِهِمْ لِيَدُلَّ عَلَى أَنَّهُ وَاجِبٌ عَلَى الْكُلِّ حَتىَّ لَوْ تَرَكُوْهُ رَأْساً أَثِمُوْا جَمِيْعاً وَلَكِنْ يَسْقُطُ بِفِعْلِ بَعْضِهِمْ، وَهَكَذَا كُلُّ مَا هُوَ فَرْضُ كِفَايَةٍ

.

(Fardhu kifayah) menyerukan kepada seluruh kaum Muslim, dan meminta dikerjakan oleh sebagian di antara mereka untuk membuktikan, bahwa fardhu tersebut merupakan kewajiban bagi semuanya. Karena itu, saat mereka secara langsung meninggalkannya, maka mereka semuanya berdosa. Namun, kewajiban tersebut gugur dengan dikerjakan oleh sebagian di antara mereka. Begitulah ketentuan seluruh fardhu kifayah. 6

Al-’Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, sebagai mujtahid mutlak, telah melakukan ijtihad yang diperlukan untuk merumuskan metode menegakkan kembali Khilafah, yang hukumnya fardhu kifayah. Namun, karena belum ada seorang pun mujtahid sebelum beliau yang merumuskannya, maka ini menjadi fardhu ‘ain bagi beliau. Beliau pun telah melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya, termasuk mendirikan Hizbut Tahrir bersama sejumlah ulama. Sejak berdiri tahun 1953 hingga sekarang, Hizbut Tahrir telah melakukan perjuangan dengan seluruh potensi dan kemampuannya, termasuk dukungan umat yang terus menguat di lebih dari 40 negara. Namun, hingga saat ini Hizb belum juga berhasil.

Maka dari itu, kewajiban menegakkan Khilafah ini—sebagaimana seruan (khithab) asalnya untuk seluruh kaum Muslim—kembali kepada seluruh umat Islam. Dengan dilaksanakannya kewajiban ini oleh sebagian di antara mereka, yaitu aktivis Hizbut Tahrir bersama umat, maka tetap belum menggugurkan kewajiban ini dari pundak umat Islam. Sebab, kewajiban yang diperintahkan itu belum terwujud. Dengan demikian, mereka yang tidak terlibat dalam kewajiban ini tetap dinyatakan berdosa.

Tepat sekali apa yang dijelaskan oleh Imam Al-’Allamah As-Syathibi, dalam kitabnya, Al-Muwafaqat:

إنَّهُ وَاجِبٌ عَلَى الْجَمِيْعِ.. لأَنَّ الْقِيَامَ بِذَلِكَ الْفَرْضِ قِيَامٌ بِمَصْلَحَةٍ عَامَّةٍ، فَهُمْ مَطْلُوْبُوْنَ بِسَدِّهَا عَلَى الْجُمْلَةِ، فَبَعْضُهُمْ هُوَ قاَدِرٌ عَلَيْهَا مُبَاشَرَةً، وَذَلِكَ مَنْ كَانَ أَهْلاً لَهَا، وَالْبَاقُوْنَ ـ وَإِنْ لَمْ يَقْدِرُوْا عَلَيْهَا ـ قَادِرُوْنَ عَلَى إِقَامَةِ الْقَادِرِيْنَ، فَمَنْ كَانَ قَادِراً عَلىَ الْوِلاَيَةِ فَهُوَ مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَتِهَا، وَمَنْ لاَ يَقْدِرُ عَلَيْهَا مَطْلُوْبٌ بِأَمْرٍ آخَر وَهُوَ إِقَامَةُ ذَلِكَ الْقَادِرِ وَإِجْبَارُهُ عَلَى الْقِيَامِ بِهَا، فَالْقَادِرُ إِذاً مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَةِ الْفَرْضِ، وَغَيْرُ الْقَادِرِ مَطْلُوْبٌ بِتَقْدِيْمِ ذَلِكَ الْقَادِرِ، إِذْ لاَ يَتَوَصَّلَ إِلَى قِيَامِ الْقَادِرِ إِلاََّ باِلإقَامَةِ؛ مِنْ بَابِ مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاََّ بِهِ

.

Fardhu kifayah merupakan kewajiban bagi semua orang…Karena melaksanakan fardhu ini merupakan pelaksanaan kemaslahatan publik. Mereka dituntut untuk menunaikannya secara akumulatif. Sebagian ada yang mampu secara langsung, seperti orang yang mempunyai kelayakan. Sebagian yang lain, sekalipun tidak mampu, tetap mampu mengusahakan orang yang mampu. Orang yang bisa mengangkat pemimpin, ia wajib mengangkatnya. Bagi yang tidak mampu, ia mampu melakukan yang lain, yaitu mengusahakan orang yang mampu, dan memaksanya untuk menegakkannya. Jadi, yang mampu wajib menunaikan kewajiban ini, sedangkan yang tidak mampu wajib mengusahakan orang yang mampu. Sebab, orang yang mampu tidak akan melakukannya, kecuali dengan diupayakan (oleh yang tidak mampu). Ini merupakan bab suatu kewajiban tidak sempurna, kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib. 7

Saat ini, satu-satunya masalah yang dihadapi oleh Hizbut Tahrir dalam menegakkan Khilafah adalah dukungan Ahl an-Nushrah. Bagi Ahl an-Nushrah, menegakkan Khilafah saat ini adalah fardhu ‘ain. Mereka berkewajiban menegakkannya karena mereka adalah orang yang mempunyai kapasitas dan kemampuan. Tugas Hizb adalah terus mencari dukungan dan meyakinkan mereka. Adapun umat secara keseluruhan, yang termasuk kategori kedua, berkewajiban mengupayakan mereka, baik dari kalangan keluarga, orang tua maupun anak-anak mereka. Tidak hanya itu, mereka juga berkewajiban memaksa Ahl an-Nushrah agar mereka segera melaksanakan kewajiban mereka. Jika tidak, maka umat Islam pun menanggung dosa.


KE LIMA: TENTANG HUKUM FARDHU KIFAYAH


Imam al-Manawi berkata dalam At-Taisîr bi Syarh Al-Jâmi’ Ash-Shaghîr li Al-Manâwî:

أن ترك إزالة المنكر مع القدرة عظيم الإثم

“Bahwa meninggalkan aktivitas ‘menghilangkan kemungkaran’ adalah besar dosanya jika ada kemampuan untuk itu.”

Imam Saifuddin al-Amidi dalam kitab al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam:

المسألة الثانية لا فرق عند أصحابنا بين واجب العين، والواجب على الكفاية من جهة الوجوب، لشمول حد الواجب لهما

”Masalah yang kedua. Tidak ada perbedaan menurut ashab kita antara wajib ain dan wajib kifayah. Dari sisi kewajiban. Karena inklusinya batas kewajiban untuk keduanya”.

Imam Asy-syirazi, dalam kitab Al-luma’ fii Ushul Al-fiqh tentang fardhu kifayah:

إذا أقام به من يقع به الكفاية سقط عن الباقين

Maka apabila kewajiban tersebut telah selesai ditunaikan oleh siapa saja yang mampu, gugurlah (kewajiban) tersebut atas yang lain …”.

Syeikhul Islam Imam al-Hafidz an-Nawawi, dalam kitab Al-majmu’ Syarh Al-muhadz-dzab:

إذا فعله من فيه كفاية سقط الحرج عن الباقين وان تركوه كلهم اثموا كلهم

“Makna fardhu kifayah adalah apabila siapa saja yang pada dirinya ada kifayah (kecukupan untuk melaksanakan kewajiban tsb.) telah melaksanakan maka akan menggugurkan beban atas yang lain. Namun apabila mereka semua meninggalkan kewajiban tersebut, mereka semua berdosa.”

Al-'Allamah Asy-Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam Fathul Mu’in tentang fardhu kifayah:

ويأثم كل من لا عذر له من المسلمين إن تركوه وإن جهلوا.

“Dan berdosa atas setiap orang yang tidak udzur baginya dari kaum Muslimin apabila mereka meninggalkannya meski mereka bodoh”

Dalam kitab Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Imam an-Nawawi menyatakan:

فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَنْ يَصْلُحُ إِلاَّ وَاحِداً، تَعَيَّنَ عَلَيْهِ وَلَزِمَهُ طَلَبُهَا إِنْ لَمْ يَبْتَدِئُوْهُ.

“Jika tidak ada orang yang layak, kecuali hanya satu, maka kewajiban tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain bagi dirinya. Dia pun harus dicari, jika mereka tidak mulai (dengan) mengangkatnya”.

Imam al-’Allamah an-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim,:

ثُمَّ إِنَّهُ قَدْ يَتَعَيَّنَ كَمَا إِذَا كَانَ فِيْ مَوْضِـعٍ لاَ يَعْلَـمُ بِهِ إِلاَّ هُوَ، أَوْ لاَ يَتَمَكَّنَ مِنْ إِزَالَـتِهِ إِلاَّ هُوَ

“Kemudian, kadang-kadang fardhu kifayah itu bisa berubah menjadi fardhu ‘ain, seperti ketika fardhu kifayah (amar makruf/nahi mungkar) ini dalam konteks yang hanya diketahui oleh orang itu, atau tidak mungkin bisa dihilangkan, kecuali oleh dia”.

Tepat sekali apa yang dijelaskan oleh Imam al-’Allamah as-Syathibi, dalam kitabnya, Al-Muwafaqat:

فَالْقَادِرُ إِذاً مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَةِ الْفَرْضِ، وَغَيْرُ الْقَادِرِ مَطْلُوْبٌ بِتَقْدِيْمِ ذَلِكَ الْقَادِرِ

“Jadi, yang mampu wajib menunaikan kewajiban ini, sedangkan yang tidak mampu wajib mengusahakan orang yang mampu.”


KE ENAM: KHILAFAH HARUS SATU

KHILAFAH HARUS SATU, TIDAK BOLEH ADA LEBIH DARI SATU



Abdullah bin Amr bin Ash ra. pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ الآخَرِ

"Siapa saja yang telah membaiat seorang imam, lalu kepadanya ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaatinya sekuat kemampuannya. Kemudian, jika ada orang lain yang hendak merebutnya, maka penggallah leher orang lain tersebut! "(HR Muslim).

Hadis ini menjelaskan bahwa setelah seorang pemimpin (imam) dibaiat, maka kaum Muslim wajib menaati dia, dan tidak boleh membiarkan adanya pemimpin yang lain. Abu Said al-Khudri ra. Juga mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخَرَ مِنْهُمَا

"Jika dua orang khalifah dibaiat maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya!" (HR Muslim).

Hadis ini menjelaskan bahwa kaum Muslim tidak boleh memiliki lebih dari seorang pemimpin di seluruh dunia.

Semua ini menunjukkan keharaman memecah kesatuan umat ke dalam dua pemerintahan atau lebih. Artinya, haram menjadikan negara Islam terdiri dari beberapa negara, melainkan wajib hanya satu negara.

Imam An-Nawawi (w. 676 H), dalam kitab Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, berkata:

« واتفق العلماء على أنه لا يجوز أن يعقد لخليفتين في عصر واحد سواء اتسعت دار الإسلام أم لا »

“Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh mengangkat dua khalifah di satu masa, baik wilayah kekhilafahan luas maupun tidak.”

Imam Ibnu Katsir (w. 774 H), dalam kitab Tafsir al-Qur’anul Adzhim mengatakan:

فأما نصب إمامين في الأرض أو أكثر فلا يجوز لقوله عليه الصلاة والسلام : « من جاءكم وأمركم جميع يريد أن يفرق بينكم فاقتلوه كائنًا من كان » . وهذا قول الجمهور ، وقد حكى الإجماع على ذلك غير واحد ، منهم إمام الحرمين .

“Dan sedangkan pengangkatan dua imam atau lebih di muka bumi, maka hal itu tidak boleh, berdasarkan Sabda Nabi saw: “Barang siapa yang mendatangi kalian sedangkan urusan kalian terkumpul (pada satu khalifah), dia ingin memecahbelah kalian maka bunuhlah dia seketika siapapun dia.” Yang demikian ini pendapat jumhur (mayoritas) Ulama, dan yang mengatakan bahwa pendapat tersebut merupakan ijma’ tidak hanya satu orang, diantaranya adalah Imam Haramain (Al-Juwaini).”

Imam As-Sinqithi (w. 1393 H), dalam kitab tafsirnya, Adhwâ’ Al-Bayân fî Îdhâh Al-Qur’ân bi Al-Qur’ân menyatakan:

قول جماهير العلماء من المسلمين : أنه لا يجوز تعدد الإمام الأعظم ، بل يجب كونه واحدا ، وأن لا يتولى على قطر من الأقطار إلا أمراؤه المولون من قِبَلِهِ ، محتجين بما أخرجه مسلم في "صحيحه" من حديث أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما » .



“Pendapat jumhur ‘ulama: Bahwa berbilangnya Khalifah adalah tidak boleh, bahkan wajib berjumlah satu, dan hendaknya tidak berkuasa atas wilayah-wilayah (kekuasaan kaum muslimin) kecuali umara’ yang diangkat olehnya, mereka (jumhur ‘ulama) berhujjah dengan hadits sahih dikeluarkan oleh Imam Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “jika dibai’at dua khalifah maka bunuhlah yang terakhir (diba’at) di antara keduanya.”

Di dalam Al Ahkaam As-Sulthoniyyah, Imam Al Mawardi Mazhab Asy-Syafi’i menyatakan:

وإذا عٌقدت لإمامين في بلدين لم تنعقد إمامتهما لأنّه لا يجوز أن يكون للأمة إمامان في وقت واحد

“Dan jika diangkat dua orang imam di dua negeri yang berbeda maka aqad imamah keduanya tidak sah, sebab umat tidak boleh memiliki dua imam dalam satu waktu.”

Di dalam Al-Ahkamus Sulthooniyyah, Qodhi Abu Ya’la Al Farraa’ Mazhab Al-Hanbali menyatakan:

ولا يجوز عقد الإمامة لإمامين في بلدين

“Dan tidak dibolehkan menyerahkan Imamah kepada dua orang imam di dua negeri yang berbeda.”

Di dalam Al Muhalla bil Atsar, Ibnu Hazm al-Andalusi Azh-Zhohiri menyatakan:

وَلاَ يَحِلُّ أَنْ يَكُونَ فِي الدُّنْيَا إِلاَّ إمَامٌ وَاحِدٌ

“Tidak dihalalkan adanya Imam di seluruh dunia kecuali hanya satu”.

Al-Marhum Syaikh Abdur Rahman Al-Jazairi di dalam Al-Fiqh ’Alaa Madzaahibil Arba’ah menyatakan:

اتفق الأئمة رحمهم اللّه تعالى على: أن الإمامة فرض، وأنه لا بد للمسليمن من إمام يقيم شعائر الدين وينصف المظلومين من الظالمين وعلى أنه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا إمامان

“Para imam rahimahumullaah Ta’aalaa telah sepakat bahwa Al Imamah itu wajib, dan umat harus memiliki seorang imam yang menegakkan syariat agama serta memberi keadilan bagi orang yang terdzolimi, dan bahwa tidak boleh terdapat dua orang imam bagi umat Islam di seluruh dunia dalam waktu yang sama.”

Penulis buku Al-Imamah Al-’Udzma ’inda Ahli as-Sunnah Wal Jama’ah, Syaikh Sulaiman ad-Dumaiji menyatakan:

المذهب الأول وهو مذهب جماهير المسلمين من أهل السنة والجماعة وغيرهم قديمًا وحديثًا وهو أنه : لا يجوز تعدد الأئمة في زمن واحد



“Madzhab yang pertama adalah madzhab jumhur umat islam dari kalangan Ahlus Sunnah dan selain mereka, baik masa lalu maupun masa sekarang, bahwasannya: tidak dibolehkan adanya banyak imam dalam satu masa.“

Dr. Musthofa Hilmi di dalam kitab Nidzoomul Khilaafah fil Fikril Islamiy menyatakan:

فإنّ الغاية الجوهرية من قيام الدولة الإسلامية هي إيجاد الجهاز السياسي الذي يحقق وحدة الأمة الإسلامية

“Karena sesungguhnya, tujuan dari berdirinya Negara Islam adalah terbentuknya suatu institusi politik (dalam bentuk negara –pent) yang dapat mewujudkan kesatuan umat islam…”

Dr. Sholah Ash-Showi di dalam buku beliau, Al Wajiz fil Fiqhil Khilafah menyatakan:

اتفق جمهور أهل السنّة والجماعة على عدم جواز تعدد الأئمة في الزمن الواحد

“Jumhur Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah sepakat mengenai tidak dibolehkannya keberadaan lebih dari satu imam dalam satu masa.”


KE TUJUH: KHILAFAH, AMAL PERBUATAN JAMA'I


إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."(QS ar-Ra’du:11)

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنْكَرِ وَأُوْلَئِكَ هُمْ الْمُفْلِحُونَ

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (Q.S Ali Imran : 104)

Imam At Thabari dalam Jâmi’ul Bayan Fi Ta’wilil Qur’an:

جَمَاعَةٌ يَقُوْلُ: أُمَّةٌ" الْمُؤْمِنُوْنَ أَيُّهَا مِنْكُمْ" وَلْتَكُنْ

[Hendaknya ada dari kalian]: wahai orang-orang yang beriman: sebuah "ummah", Abu Ja’far menyebutkan: "Jama’ah"

يَعْنِي إِلىَ اْلِإسْلاَمِ وَشَرَائِعِهِ الَّتيِ شَرَعَهَا اللهُ لِعِبَادِهِ =" ,="يَدْعُوْنَ" النَّاسَ="إِلَى الْخَيْر

وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ"، يَقُوْلُ يَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِاتِّبَاعِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدِيْنِهِ الَّذِيْ جَاءَ بِهِ مِنْ عِنْدِ اللهِ

"وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ"،: يَعْنِي َويَنْهَوْنَ عَنِ الْكُفْرِ باِللهِ وَالتَّكْذِيْبِ بِمُحَمَّدٍ وَبِمَا جَاءَ بِهِ مِنْ عِنْدِ اللهِ



“Yang menyeru manusia kepada "al-khair (kebaikan)", yaitu: kepada Islam dan syariat Islam yang telah Allah syariatkan kepada hamba-hambaNya. "Memerintahkan yang makruf", beliau berkata: "Memerintahkan manusia untuk mengikuti Nabi Muhammad saw dan agama yang diturunkan kepadanya dari sisi Allah swt". "Mencegah dari kemungkaran", yaitu: "Mencegah dari kufur kepada Allah dan mendustakan kenabian Muhammad saw dan apa yang dibawanya dari sisi Allah swt",

Al Hafidz Ibnu Katsir, dalam tafsir al-Quran al’Azhim:

وَالْمَقْصُوْدُ مِنْ هَذِهِ اْلآيَةِ أَنْ تَكُوْنَ فِرْقَةٌ مِنَ اْلأُمَّةِ مُتَصَدِّيَةً لِهَذَا الشَّأْنِ،

"Maksud dari ayat ini adalah; hendaknya ada firqah (kelompok) dari umat Islam yang berjuang untuk urusan tersebut.

KE DELAPAN: KHILAFAH JANJI ALLAH


وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ)

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (An-Nûr:55-56).

Imam Al-Baidhawi di dalam Tafsir al-Baydhawi menyatakan:

Frasa لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ artinya adalah: menjadikan mereka para khalifah pengatur bumi yang akan mengatur semua kekuasaan di dalam kekuasaan mereka. Hal itu sebagaimana halnya Allah telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai penguasa, yakni Bani Israil yang berkuasa atas Mesir dan Syam setelah runtuhnya kekuasaan al-Jababirah (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baydhawi, IV/197).

Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-’Azhim berkata:

هذا وعد من الله لرسوله صلى الله عليه وسلم . بأنه سيجعل أمته خلفاء الأرض، أي: أئمةَ الناس والولاةَ عليهم، وبهم تصلح البلاد، وتخضع لهم العباد،

،…

"Ini adalah janji dari Allah swt kepada Rasulullah saw, bahwasanya Dia akan menjadikan umatnya (umat nabi Muhammad saw) sebagai khulafa` al-ardl, yakni: pemimpin-pemimpin manusia dan penguasa atas mereka; dan dengan mereka negeri-negeri diperbaiki dan seluruh manusia tunduk kepada mereka”.

Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Tafsîr Ibn Katsîr menyatakan:

هذا وعد من الله لرسوله صلى الله عليه وسلم . بأنه سيجعل أمته خلفاء الأرض، أي: أئمةَ الناس والولاةَ عليهم، وبهم تصلح البلاد، وتخضع لهم العباد،…

"Ini adalah janji dari Allah swt kepada Rasulullah saw, bahwasanya Dia akan menjadikan umatnya (umat nabi Muhammad saw) sebagai khulafa` al-ardl, yakni: pemimpin-pemimpin manusia dan penguasa atas mereka; dan dengan mereka negeri-negeri diperbaiki dan seluruh manusia tunduk kepada mereka, …

Di dalam beberapa hadis sahih, Nabi Muhammad saw. telah mengabarkan kabar gembira (bisyarah) kepada kaum Muslim tentang kekuasaan umat Islam yang mencakup seluruh muka bumi. Rasulullah saw. antara lain pernah bersabda:

إِنَّ اللهَ زَوَى لِي اْلأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبِهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُرِيَ لِي مِنْهَا

Sesungguhnya Allah SWT telah mengumpulkan (dan menyerahkan) bumi kepadaku sehingga aku bisa menyaksikan timur dan baratnya. Sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai apa yang telah dikumpulkan dan diserahkan kepadaku." (HR Muslim, at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Dalam hal ini Imam an-Nawawi asy-Syafii ra. juga menyatakan:

فِيْهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ مُلْكُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ يَكُوْنُ مُعْظَمُ اِمْتِدَادِهِ فِيْ جِهِتَي الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَهَكَذَا وَقَعَ وَأَمَّا فِيْ جِهَتَيْ الْجُنُوْبِ وَالشِّمَالِ فَقَلِيْلٌ بِالنِّسْبَةِ إِلَى الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

Di dalam hadis ini ada isyarat bahwa kekuasaan umat ini akan membentang (membesar) pada arah timur dan barat. Inilah yang telah terjadi. Adapun pada arah selatan dan utara maka itu lebih kecil jika dinisbahkan pada timur dan barat (Imam Syams al-Haqq al-’Azhim, ’Awn al-Ma’bud bi Syarh Sunan Abu Dawud, IX/292).

Rasulullah saw. pun bersabda pula:

يَكُوْنُ فِيْ آخِرِ أُمَّتِيْ خَلِيْفَةٌ يَحْثُوْ الْمَالَ حَثْيًا لاَ يَعُدُّهُ عَدَدًا



Akan ada pada akhir umatku seorang khalifah yang memberikan harta secara berlimpah dan tidak terhitung banyaknya (HR. Muslim).

Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abi Hazim, ia berkata : ”aku mengikuti mejelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan aku mendengar ia menyampaikan hadits dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

“Dahulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para Khalifah, dan mereka banyak.” Para sahabat bertanya: “lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda : “Penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama, berikanlah kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban mereka atas apa yang mereka diminta untuk mengatur dan memeliharanya” (HR. Muslim al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Imam Ahmad meriwayatkan:

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنِي دَاوُدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنِي حَبِيبُ بْنُ سَالِمٍ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ

Telah berkata kepada kami Sulaiman bin Dawud al-Thayaalisiy; di mana ia berkata, "Dawud bin Ibrahim al-Wasithiy telah menuturkan hadits kepadaku (Sulaiman bin Dawud al-Thayalisiy). Dan Dawud bin Ibrahim berkata, "Habib bin Salim telah meriwayatkan sebuah hadits dari Nu’man bin Basyir; dimana ia berkata, "Kami sedang duduk di dalam Masjid bersama Nabi saw, –Basyir sendiri adalah seorang laki-laki yang suka mengumpulkan hadits Nabi saw. Lalu, datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyaniy seraya berkata, "Wahai Basyir bin Sa’ad, apakah kamu hafal hadits Nabi saw yang berbicara tentang para pemimpin? Hudzaifah menjawab, "Saya hafal khuthbah Nabi saw." Hudzaifah berkata, "Nabi saw bersabda, "Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa Kekhilafahan ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa raja dictator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, beliau diam".[HR. Imam Ahmad]

Takhrij Hadits

Hadits ini bersumber dari Musnad Imam Ahmad, hadits no.17680, juga musnad al Bazzar (no. 2796). Riwayat ini termasuk hadits marfu’ (bersambung hingga sampai Rasulullah saw).

Tentang Perowi Hadits:

1. Sulaiman bin Dawud al-Thayaalisiy.

Nama Lengkap : Sulaiman bin Daud bin Al Jarud

Kalangan : Tabi’ut Tabi’in kecil (shugra min al-atbaa’)

Nasab : al-Thayaalisiy.

Kunyah: Abu Dawud.

Negeri semasa hidup : Bashrah

Wafat : 204 H di Bashrah

Guru-gurunya: Aban bin Yazid, Ibrahim bin Sa’ad bin Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Bakar bin ‘Isyasy bin Salim, Ishaq bin Sa’id bin ‘Aman bin Sa’id bin al-’Ash, Israil bin Yunus bin Abi Ishaq, Ismail bin Ja’far bin Abi Katsir, Asy’ats bin Said, Bustham bin Muslim bin Numair, Tsabit bin Yazid, Jarir, bin Hazm bin Zaid, Habib bin Abu Habib Yazid, Harb bin Syaddad, Huraisy bin Salim, Al-Hasan bin Abi Ja’far ‘Ijlaan, al-Hakam bin ‘Athiyyah, Himad bin Salamah bin Dinar, Humaid bin Abi Humaid Mahran, Kharijah bin Mush’ab bin Kharijah, Khalid bin Dinar, Dawud bin Abi al-Farat ‘Amru bin al-Farat, Dawud bin Qais, Rubbah bin ‘Ubadah bin al-’Ilaa`, Zaidah bin Qudamah, Zum’ah bin Shalih, Dawud bin Ibrahim, Zuhair bin Mohammad, dan lain-lain.

Murid-murid yang meriwayatkan hadits darinya adalah, Ahmad bin Ibrahim bin Katsir, Ahmad bin ‘Abdullah bin ‘Ali bin Suwaid bin Manjuf, Ahmad bin ‘Ubadah bin Musa, Ahmad bin Mohammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad, Ishaq bin Manshur bin Bahram, Hujjaj bin Yusuf bin al-Hujjaj, Al-Hasan bin ‘Ali bin Mohammad, Khalifah bin Khiyaath bin Khalifah bin Khiyaath, dan lain sebagainya.

KE SEMBILAN: KHILAFAH HANYA 30 TAHUN?
 
Benarkah Khilafah hanya 30 tahun? Jika benar, apakah berarti setelah itu kewajiban menegakkan Khilafah tidak ada lagi? Jika benar, apakah berarti bentuk negara dan sistem pemerintahan saat ini tidak harus mengikuti model Khilafah?
Jawab:
Pendapat yang menyatakan bahwa Khilafah hanya 30 tahun sesungguhnya didasarkan pada manthuq (makna harfiah) hadis. Padahal secara harfiah, dalam redaksinya memang tidak disertai hashr (pembatasan) yang bisa diartikan “hanya 30 tahun”.

Hadits 1. HR. Ibnu Hibban dari Safînah, dan Ibnu Hibban mensahihkannya dalam kitab Shahih-nya:

أَخْبَرَنَا أَبُوْ يَعْلَى، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيْمُ بْنُ الْحَجَّاجِ السَّامِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ بْنُ سَعِيْدٍ، عَنْ سَعِيْدٍ بْنِ جُمْهَانَ عَنْ سَفِينةَ، عَنِ النَّبِيِّ قاَلَ: «الخِلافةُ ثَلاثُونَ سنةً، وسائِرهُمْ مُلوكٌ، وَالخُلَفَاءُ وَالْمُلُوْكُ اثْناَ عَشَرَ» (رواه ابن حبان)

Kami diberitahu oleh Abu Ya’la, kami diberitahu oleh Ibrahim bin al-Hajjaj as-Sami yang berkata: Kami diberitahu oleh Abdul Warits bin Said, dari Said bin Jumhan dari Safinah, dari Nabi saw. Baginda bersabda, “Khilafah itu (akan berlangsung selama) 30 tahun. (setelah itu) Selebihnya adalah raja. Jumlah para Khalifah dan para raja itu ada 12 orang.” (HR. Ibn Hibban)
Abu Hatim, sebagaimana dikutip Ibnu Hibban, berkomentar:
Hadis tersebut menurut kami, bahwa pasca 30 tahun itu, secara terpaksa boleh saja disebut Khalifah, sekalipun kenyataannya mereka adalah raja. Adapun Khalifah terakhir, yaitu yang ke-12, adalah Umar bin Abdul Aziz. Jadi, ketika Al-Musthafa (Nabi) saw. menyebut Khilafah itu 30 tahun, dan yang terakhir dari keduabelas Khalifah itu adalah Umar bin Abdul Aziz—beliau termasuk Khulafa’ Rasyidin yang mendapatkan hidayah—maka istilah Khalifah juga bisa digunakan untuk menyebut penguasa yang berkuasa antara beliau dan 4 yang pertama.
  • Abu Bakar ash-shiddiq menjadi Khalifah selama 2 tahun, 3 bulan dan 22 hari;
  • Umar bin al-Khaththab menjadi Khalifah selama 10 tahun, 6 bulan, 4 malam;
  • Utsman bin Affan menjadi Khalifah 12 tahun, kurang 10 hari;
  • Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah selama 5 tahun, 3 bulan kurang 14 hari;
  • Muawiyah bin Abi Shafyan berkuasa selama 19 tahun, 14 bulan;
  • Yazid berkuasa selama 3 tahun, 8 bulan;
  • Muawiyah bin Yazid berkuasa selama 40 hari;
  • Marwan al-Hakam berkuasa selama 10 bulan;
  • Abdul Malik bin Marwan 21 Tahun;
  • Al-Walid bin 'Abdul Malik berkuasa selama 9 tahun, 8 bulan;
  • Sulaiman bin Abdul Malik berkuasa 2 tahun, 8 bulan, 5 malam;
  • Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah selama 2 tahun, 5 malam.
Hadis yang sama juga dikutip oleh Imam as-Suyuthi dalam kitabnya, Tarikh al-Khulafa’. Bahkan dengan tegas, as-Suyuthi memasukkan bukan hanya empat Khalifah, ditambah Umar bin Abdul Aziz, tetapi juga memasukkan para Khalifah yang lain.

Dari penjelasan ini bisa dipahami, bahwa sebenarnya Khilafah 30 tahun itu maksudnya adalah Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian ('ala manhaj an-Nubuwwah). Mereka adalah Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin al-Khatthab, Utsman bin al-Affan, Ali bin Abi Thalib dan al-Hasan bin Ali. Total periode mereka adalah 30 tahun. Adapun yang lain setelahnya, tidak lagi mengikuti manhaj kenabian. Meski demikian, semuanya tetap layak disebut Khilafah.

Mengenai Khalifah dua belas, as-Suyuthi berkomentar:
Karena itu, yang termasuk 12 Khalifah itu adalah empat Khalifah (Abu Bakar, Umar, Ustman dan ‘Ali), al-Hasan, Muawiyah, Ibnu Zubair, Umar bin Abdul Aziz. Mereka delapan orang. Ada kemungkinan al-Muhtadi dari Bani Abbas termasuk di antara mereka, karena dia seperti Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah; juga ath-Thahir, karena keadilannya. Tinggal dua lagi yang masih ditunggu. Salah satunya adalah al-Mahdi, karena dia dari Ali Bait Muhammad saw.

Hadits 2. HR. Ibnu Hibban jilid 15 hal. 392 No. 6943 dengan sanad hasan, juga diriwayatkan Al Bazzar, Thabrani dalam Mu’jâm al Kabîr, & Abu Dawud.

الخلافة بعدي ثلاثون سنة ثم تكون ملكا

“Masa kekhilafahan (yang ada pada umat) sepeninggalku adalah 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan.”

Hadits 3. HR. Muslim No. 1821, dari Jabir bin Samurah:

إن هذا الأمر لا ينقضي حتى يمضي فيهم اثنا عشر خليفة
“Sesungguhnya urusan (kekhilafahan) ini tidak akan musnah sampai berlalu atas mereka 12 khalifah.”

Hadits 4. HR. Ibnu Hibban, dari Jabir bin Samurah:

يكون بعدي اثنا عشر خليفة كلهم من قريش

“Akan ada setelahku 12 orang khalifah, semuanya dari (suku) quraisy.”

Hadits 5. HR. Ibnu Hibban, dari Jabir bin Samurah:

لا يزال الإسلام عزيزا إلى اثني عشر خليفة

“Tidak henti-hentinya Islam dalam keadaan kuat sampai (berlalu) 12 orang khalifah.“
(diriwayatkan juga oleh Thabrani, Ahmad, Muslim, Lihat Jâmi’ul Kabîr karya As Suyuthi)

Hadits 6. HR. Ibnu Hibban, Al Baihaqi, Ibnu “Asakir, Abu Ya’la, dari Abu Hurairah, beliau SAW bersabda:

سَيَكُونُ بَعْدِى خُلَفَاءُ يَعْمَلُونَ بِمَا يَعْلَمُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ وَسَيَكُونُ بَعْدَهُمْ خُلَفَاءُ يَعْمَلُونَ بِمَا لاَ يَعْلَمُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لاَ يُؤْمَرُونَ فَمَنْ أَنْكَرَ عَلَيْهِمْ بَرِئَ وَمَنْ أَمْسَكَ يَدَهُ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِىَ وَتَابَعَ

“Akan ada setelahku para Khalifah yang mengamalkan apa yang mereka ketahui dan mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka. Setelah masa itu akan ada para Khalifah yang mengamalkan apa yang tidak mereka ketahui dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan kepada mereka. Maka siapa saja yang mengingkari perbuatan mereka akan terbebas (dari dosa), dan siapa saja yang menahan dirinya dia akan selamat, tetapi siapa saja yang ridha dan mengikuti mereka (dia akan celaka).” (Al-Haitsami menyatakan bahwa perowinya perowi shahih, sedang Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik dia tsiqot /terpercaya).

Hadits 7. Hadits tentang akhir zaman, diriwayatkan Ibnu Majah Bab Khurûju Al Mahdi & Al Hakim dalam Kitâbu Al Fitan wa Al Malâhim, dari Tsauban r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 يَقْتَتِلُ عِنْدَ كَنْزِكُمْ ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ ابْنُ خَلِيفَةٍ ثُمَّ لَا يَصِيرُ إِلَى وَاحِدٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَطْلُعُ الرَّايَاتُ السُّودُ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ فَيَقْتُلُونَكُمْ قَتْلًا لَمْ يُقْتَلْهُ قَوْمٌ ثُمَّ ذَكَرَ شَيْئًا لَا أَحْفَظُهُ فَقَالَ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَبَايِعُوهُ وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الثَّلْجِ فَإِنَّهُ خَلِيفَةُ اللَّهِ الْمَهْدِيُّ

"Akan berperang tiga orang di sisi perbendaharaanmu. Mereka semua adalah putera Khalifah. Tetapi tak seorang pun di antara mereka yang berhasil menguasainya. Kemudian muncullah bendera-bendera hitam dari arah timur, lantas mereka memerangi kamu dengan suatu peperangan yang belum pernah dialami oleh kaum sebelummu. " Kemudian beliau Saw menyebutkan sesuatu yang aku tidak hafal (yakni dalam jalan periwayatan yang lain yang dikeluarkan al hasan bin sufyan dalam musnadnya…lihat syarah), lalu bersabda: "Maka jika kamu melihatnya, berbai’atlah walaupun dengan merangkak di atas salju, karena dia adalah khalifah Allah Al-Mahdi" (Al Hakim berkata, "Ini adalah hadits shahih menurut syarat Syaikhain (Bukhari – Muslim)" Perkataan Al Hakim ini juga disetujui oleh adz-Dzahabi).

Penjelasan Hadits
Kalau hanya difahami secara harfiah dari hadits-hadist tersebut:

Hadits 1 & 2: Kekhilafahan itu (hanya akan berlangsung selama) 30 tahun saja setalah itu semuanya adalah para raja, ujung hadits ini yang menyatakan: “(banyaknya) para khalifah dan para raja adalah 12 orang” yang berarti para khalifah dan para raja sepeninggal beliau SAW hanya 12 orang saja. Sedangkan faktanya khalifah dan ‘raja’ setelah beliau SAW wafat ada ratusan orang.

 Hadits 3, 4, dan 5 yang menyebut ada 12 orang khalifah setelah beliau juga bertentangan dengan hadits bahwa khalifah hanya 30 tahun, karena selama 30 tahun hanya ada 4 orang khalifah, jadi selebihnya tidak bisa disebut khalifah kalau mau memakai hadits 1 dan 2. Sedangkan kalau mau menyebut yang 12 orang tersebut adalah khalifah, sedangkan 12 orang khalifah tersebut masa kekuasaannya sekitar 100 tahun, maka hadits 1 & 2 juga tidak bisa di pakai.
Karena banyak ‘pertentangan’ hadits ini, sedangkan Rasul SAW perkataannya adalah haq (benar) dan beliau tidak berbicara menurut hawa nafsu, maka kita tidak bisa mengambil pemahaman dari sepotong hadits saja, kemudian membuang yang lain, melainkan haruslah hadits tersebut dipahami dalam konteks maknanya masing-masing.

Hadits 6 dan 7 (dan beberapa hadits lagi yang tidak di tulis disini) menjelaskan apa yang dimaksud kata ‘khalifah’ dalam hadits 1 sampai 5.

Oleh karena itu hadist 1 dan 2 tidak bertentangan dengan hadits 3 dan 4 yang menyatakan Khalifah adalah 12 orang dan yang dimaksud dengan 12 orang ini yang dijelaskan dalam hadits 5, yakni saat ke 12 orang khalifah inilah umat senantiasa dalam kondisi kuat, yakni Tidak henti-hentinya Islam dalam keadaan kuat sampai (berlalu) 12 orang khalifah. Sedangkan saat khalifah setelah ke 12 khalifah ini (sampai Umar bin Abdul Aziz) maka ada pasang surut kekuatan umat Islam.

Berkaitan dengan hadits 2, Al-Hafidz Ibnu Hajar, (wafat 852H) dalam Fathul Bâri, 12/392 menyatakan:

….لأن المراد به خلافة النبوة واما معاوية ومن بعده فكان أكثرهم على طريقة الملوك ولو سموا خلفاء

“…karena sesungguhnya yang dimaksud kata khilafah (dalam hadis ini –pent) adalah Khilafah Nubuwwah, adapun Muawiyah dan orang-orang setelahnya sebagian besar mereka menggunakan metode kerajaan, sekalipun demikian mereka tetap disebut Khalifah”.

Ini juga penjelasan Imam Nawawi (wafat 676 H), dalam Syarh Sahih Muslim, 12/201 yang mengutip pendapat Qadli Iyadh

Disisi lain, hadits yang menyatakan 12 orang khalifah juga tidak bisa dijadikan dalil bahwa khalifah hanya 12 saja (penjelasan al Qadli ‘Iyad dalam Syarh sahih Muslim) :

خَلِيفه وَإِنَّمَا قَالَ يَلِي وَقَدْ وَلِيَ هَذَا الْعَدَد وَلَا يَضُرّ كَوْنه وُجِدَ بَعْدهمْ غَيْرهمْ لِأَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَقُلْ لَا يَلِي إِلَّا اِثْنَا عَشَر

Sebagaimana yang difahami syi’ah itsna asyariyah. Kalau saya bilang “saya lulusan SD” bukan berarti bahwa saya hanya lulus SD saja. Oleh sebab itu keberadaan khalifah setelah 30 tahun dan setelah 12 khalifah tidak bertentangan dengan hadits 1 s/d 5 dan hadits yang semakna dengan ini. Para Ahli sejarah juga menyatakan bahwa dari kalangan bani Umayyah, bani ‘Abbasiyah, dan bani Utsmaniyah, diantara mereka ada juga yang menjalankan kekhilafahan sebagaimana Khilafah Nubuwwah, seperti Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz yang dibaiat pada bulan Shafar 99 Hijriyah. Demikian juga terdapat seorang Khalifah yang mendekati Khilafah Nubuwwah dalam menjalankan kekhilafahannya, yaitu Adh-Dhahir Bi Amrillah yang dibaiat tahun 622 Hijriyah. Dalam hal ini Ibnu Atsir mengatakan: “Ketika Adh-Dhahir bi Amrillah memerintah nampak sekali dalam kekhilafahannya keadilan dan kebaikannya, seolah-olah keadaan itu kembali pada masa dua ‘Umar. Bahkan dapat dikatakan bahwa tidak ada khalifah yang menyamai ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz setelahnya selain Adh-Dhahir, dimana dia selalu berkata benar dan jujur”.

Demikian juga para Khalifah yang lain setelahnya hingga pada masa-masa kemundurannya, mereka tidak mengunakan sistem kerajaan atau sistem lain yang telah dikenal didunia, walaupun harus diakui sebagai manusia mereka juga punya kelemahan disana sini. Bahkan sistem kekhilafahan ini, merupakan sistem pemersatu yang agung sepanjang masa dan sistem ini terus diterapkan pada masa mereka, yaitu mulai masa para Khalifah Ar-Rasyidun sampai pada masa Khalifah Abdul Hamid II di Turki pada tahun 1924.

Hadits 6 menjelaskan bahwa khalifah bisa banyak, ada yang baik ada juga yang menyimpang karena mereka juga manusia, dan pada hadits ini diperintahkan untuk mengingkari penyimpangan itu, namun hadits ini tetap menyebut mereka sebagai khalifah.

Hadits 7 lebih jelas menunjukkan bahwa nanti akan tegak khilafah kembali, kembalinya Imam mahdi adalah saat khilafah sudah tegak, dan Imam mahdi adalah khalifah pengganti dari khalifah sebelumnya. Rasul SAW juga bersabda:

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ

"Kenabian akan ada pada diri kalian sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah, kemudian akan diangkat masa itu sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian masa otoriter akan ada kekhilafahan yang sesuai dengan manhaj kenabian sesuai dengan yang dikehendakiNya, kemudian akan diangkat masa itu sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian akan ada pemerintahan Mulkan Adhan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian akan diangkat masa itu sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian akan ada pemerintahan otoriter sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian akan diangkat masa itu sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian akan ada kekhilafahan yang sesuai dengan Manhaj Kenabian”. (HR. Imam Ahmad no. 17.680\ Musnad Kufiyin, hadis Marfu’ dalam Kitab Musnadnya).
Dan ditambahkan lafadznya oleh Al-Bazzar rahimahullah …. “Dimana Institusi ini akan menerapkan Sunnah kepada Umat manusia. Maka penghuni langit dan bumipun meridhoinya. Hingga tidak ada bagian dari langitpun yang tersisa selain diturunkan kepadanya. Dimana kenikmatan dan juga tanaman di bumi pun tidak tersisa kecuali dikeluarkan untuknya“. Dan tatkala hadis ini disampaikan oleh Ibn Nu’man (yaitu salah seorang perawi hadis ini) kepada Umar bin Abdul Aziz ra. maka Umar-pun ta’jub terhadapnya (yaitu hadis yang disampaikan oleh Ibn Nu’man) (HR. Al-Bazzar jilid 7\hal. 224 dalam kitab musnad Al-Bazzar)”.

Khatimah

Dengan demikian, pandangan bahwa Khilafah itu hanya 30, selebihnya bukan Khilafah, jelas tidak benar. Demikian juga bahwa Khalifah tersebut hanya berjumlah 12. Sebab, Khilafah tersebut, dengan berbagai kesalahan implementasi (isa’ah fi at-tathbiq) yang ada di dalamnya, tetaplah Khilafah. Demikian juga Khalifah di luar 12 Khalifah tersebut, tetaplah Khalifah.
Selain itu, secara harfiah (manthuq), pernyataan “Khilafah itu 30 tahun” tidak berarti menafikan yang lain. Jika ada yang berpendapat, bukankah frasa "tsalatsuna sanah" (tiga puluh tahun) ini, mafhum mukhalafah-nya bisa digunakan, sehingga lebih dari 30 tahun bukan lagi Khilafah? Demikian juga makna harfiah “12 Khalifah”, berarti selain yang 12 tidak bisa disebut Khalifah?
Jawabannya adalah, jika ada konotasi mafhum mukhalafah yang bertentangan dengan nash yang jelas dan tegas maka konotasi tersebut tidak bisa diberlakukan. Selain itu, dalam redaksi tersebut juga tidak disebutkan alat pembatas (adat al-hashr), yang berfungsi membatasi sehingga bisa diartikan hanya 30 tahun atau 12 raja. Dengan kata lain, jika dinyatakan “Khilafah 30 tahun”, atau “Khalifah 12” bisa juga diartikan, bahwa setelah 30 tahun ada juga khalifah yang lain. Begitu juga dengan Khalifah 12, bisa juga diartikan bahwa di luar 12 Khalifah tersebut ada juga yang lain.
Berdasarkan fakta dan penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa kewajiban untuk menegakkan Khilafah tersebut tetap berlaku, sekalipun pasca periode 30 tahun. Jika ada yang menyatakan, bahwa kewajiban tersebut tidak berlaku lagi, karena setelah periode 30 tahun itu tidak ada lagi Khilafah, maka kesimpulan ini sebenarnya merupakan kongklusi mantiqi (logika), yang sama sekali tidak mempunyai nilai di mata Allah SWT. Sebaliknya, para ulama yang hidup pasca periode tersebut justru menyatakan kewajiban menegakkan Khilafah. Bahkan tidak ada satu pun di antara mereka yang menyatakan, bahwa menegakkan Khilafah itu tidak wajib. Sebut saja, al-Mawardi (w. 450 H), dalam kitabnya, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah; al-Qurthubi (w. 671 H), dalam tafsirnya, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an; Ibn Katsir (w. 774 H) dalam tafsirnya, Tafsir Ibn Katsir. Mereka semuanya telah menyatakan kewajiban adanya Khilafah (Imamah).
Dengan kata lain, andai saja adanya Khilafah (Imamah) itu tidak wajib setelah periode Khilafah 30 tahun, tentu mereka tidak akan menyatakan kewajiban adanya Khilafah. Namun justru sebaliknya, mereka secara konsisten menyatakan kewajiban tersebut. Bahkan ulama yang hidup di era akhir Kekhalifahan juga menyatakan pandangan yang sama tentang kewajiban adanya Khilafah. Sebut saja, kitab Al-Hushun al-Hamidiyyah (Benteng-benteng Sultan Abdul Hamid II), Karya Ahmad Husain al-Jisri adalah salah satu karya penting yang dipersembahkan ulama’ ini di abad ke-19 untuk mempertahakan Khilafah Utsmaniyyah yang dipimpin Sultan Abdul Hamid II. Kitab ini hingga kini dikaji, dipelajari dan diwariskan secara turun temurun di pesantren NU. Semuanya ini membuktikan, bahwa hukum adanya Khilafah adalah wajib. Jika saat ini Khilafah tidak ada, berarti mendirikannya adalah wajib. Imam an-Nawawi, dalam kitabnya, Rawdhah ath-Thalibin wa Umdah al-Muftin menyatakan, bahwa mendirikan Imamah hukumnya fardhu kifayah. Jika hanya ada satu orang (yang layak) maka dia wajib diangkat. Jika tidak ada yang mengajukannya, maka Imamah itu wajib diusahakan.
Selain hukumnya wajib, kewajiban menegakkan Khilafah ini juga berlaku untuk bentuk, sistem dan istilahnya. Bahkan istilah Khilafah ini merupakan istilah syariah, dengan konotasi dan makna yang khas. Sebab, Khilafah merupakan bentuk negara dan sistem pemerintahan. Dengan demikian, hukum-hukum tersebut mengikat kaum Muslim. Jadi, tidak boleh lagi ada yang menyatakan, bahwa kaum Muslim bebas menentukan bentuk negara dan sistem pemerintahannya, karena bentuk dan sistemnya sudah ditetapkan oleh syariah.
Dari rangkaian penjelasan diatas jelaslah bahwa terlalu gegabah kalau hanya melihat satu atau dua hadits lantas menyatakan bahwa khilafah hanya 30 tahun, pernyataan ini merupakan pengingkaran terhadap hadits Rasulullah yang lain, padahal antar hadits tersebut membawa pengertiannya masing-masing, dimana konteks yang satu berbeda dengan yang lain. Disisi lain Islam menyatakan bahwa khalifah bukanlah representasi (wakil) Tuhan sebagaimana ajaran teokrasi, namun Khalifah disini adalah Khalifatur Rasul (pengganti rasul) dalam masalah kekuasaan, bukan dalam masalah kenabian, sehingga Khalifah bisa juga keliru, salah, atau lalai. Disinilah Islam mewajibkan umat untuk mengontrol Khalifah dalam menjalankan tugasnya.

KE SEPULUH: BETULKAH IMAM MAHDI YANG AKAN MENDIRIKAN KHILAFAH KEMBALI?

Soal:

Keyakinan kaum Muslim akan kembalinya Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah semakin meningkat. Namun, ada sebagian yang percaya, bahwa Khilafah akan berdiri sendiri, karena sudah merupakan janji Allah. Caranya, dengan menurunkan Imam Mahdi. Pertanyaannya, benarkah Imam Mahdi yang akan mendirikan Khilafah? Ataukah kaum Muslim yang mendirikannya, kemudian lahirlah Imam Mahdi?

Jawab:

Pertama: Kalaupun ada hadis yang menunjukkan Imam Mahdi akan mendirikan Khilafah, maka hadis tersebut tetap tidak boleh dijadikan alasan untuk menunggu berdirinya Khilafah. Sebab, berjuang untuk menegakkan Khilafah hukumnya tetap wajib bagi kaum Muslim, sebagaimana hadis Nabi saw.:

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةِ اللهِ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَحُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat tanpa mempunyai hujah. Siapa saja yang mati, sedangkan di atas pundaknya tidak terdapat baiat, maka dia mati dalam keadaan jahiliah. (HR Muslim).

Manthûq hadis di atas menyatakan, “Siapa saja yang mati, ketika Khilafah sudah ada, dan di atas pundaknya tidak ada baiat, maka dia mati dalam keadaan jahiliah.” Atau “Siapa yang mati, ketika Khilafah belum ada, dan dia tidak berjuang untuk mewujudkannya, sehingga di atas pundaknya ada baiat, maka dia pun mati dalam keadaan mati jahiliah.”

Karenanya, kewajiban tersebut tidak akan gugur hanya dengan menunggu datangnya Imam Mahdi.

Kedua: Memang banyak hadis yang menuturkan akan lahirnya Imam Mahdi, namun tidak satu pun dari hadis-hadis tersebut menyatakan bahwa Imam Mahdilah yang akan mendirikan Khilafah. Hadis-hadis tersebut hanya menyatakan bahwa Imam Mahdi adalah seorang khalifah yang salih, yang akan memerintah dengan adil, dan akan memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi dengan kezaliman dan penyimpangan. Abi Said al-Hudhri ra. berkata, bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَمْتَلِيءَ الأَرْضُ ظُلْمًا وَعُدْوَانًا، ثُمَّ يَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِيْ أَوْ عِتْرَتِيْ فَيَمْلَؤُهَا قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ ظُلْمًا وَعُدْوَانًا

Hari Kiamat tidak akan tiba, kecuali setelah bumi ini dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan. Setelah itu, lahirlah seorang lelaki dari kalangan keluargaku (Ahlul Bait), atau keturunanku, sehingga dia memenuhi dunia ini dengan keseimbangan dan keadilan, sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan. (HR Ibn Hibban).

Dalam riwayat lain, Abdullah menuturkan bahwa Nabi Rasulullah saw. bersabda:

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَمْلِكَ النَّاسَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يُوَاطِىءُ اسْمَهُ اسْمِي وَاسْمَ أَبِيْهِ اسْمُ أَبِيْ فَيَمْلَؤُهَا قِسْطًا وَعَدْلاً

"Hari Kiamat tidak akan tiba, kecuali setelah manusia ini diperintah oleh seorang lelaki dari kalangan keluargaku (Ahlul Bait), yang namanya sama dengan namaku, dan nama bapaknya juga sama dengan nama bapakku. Dia kemudian memenuhi dunia ini dengan keseimbangan dan keadilan. (HR Ibn Hibban).

Ketiga: Hanya saja, terdapat riwayat yang menyatakan, bahwa Imam Mahdi tersebut lahir setelah berdirinya Khilafah, bukan sebelumnya. Ummu Salamah menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

يَكُوْنُ اخْتِلاَفٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيْفَةٍ فَيَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ المَدِيْنَةِ هَارِبًا إِلَى مَكَّةَ فَيَأْتِيْهِ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ فَيَخْرُجُوْنَهُ وَهُوَ كاَرِهٌ فَيُبَايِعُوْنَهُ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْمَقَامِ وَيُبْعَثُ إِلَيْهِ بَعْثٌ مِنَ الشَّامِ فَيُخْسِفَ بِهِمْ بِالبَيْدَاءِ بَيْنَ مَكَّةَ وَالمَدِيْنَةِ فَإِذَا رَأَى النَّاسُ ذَلِكَ أَتَاهُ أَبْدَالُ الشَّامِ وَعَصَائِبُ أهْلِ العِرَاقِ فَيُبَايِعُوْنَهُ، ثُمَّ يَنْشَأُ رَجُلٌ مِنْ الشَّامِ أَخْوَالُهُ كَلْبٌ فَيَبْعَثُ إِلَيْهِمْ بَعْثًا فَيُظْهِرُوْنَ عَلَيْهِمْ وَذَلِكَ بَعْثُ كَلْبٍ وَالْخَيْبَةِ لِمَنْ لَمْ يَشْهَدْ غَنِيْمَةَ كَلْبٍ فَيُقَسِّمُ المَالَ وَيَعْمَلُ فِي النَّاسِ.. وَيُلْقِيَ الإِسْلاَمَ بِجِرَانِهِ فِي الأَرْضِ فَيَلْبَثُ سَبْعَ سِنِيْنَ ثُمَّ يَتَوَفَّى وَيُصَلِّى عَلَيْهِ الُمسْلِمُوْنَ وَفِي رِوَايَةٍ فَيَلْبَثُ تِسْعَ سِنِيْنَ

"Akan muncul pertikaian saat kematian seorang khalifah. Kemudian seorang lelaki penduduk Madinah lari diri ke Kota Makkah. Penduduk Makkah pun mendatanginya, seraya memintanya dengan paksa untuk keluar dari rumahnya, sementara dia tidak mau. Lalu mereka membaiatnya di antara Rukun (Hajar Aswad) dan Maqam (Ibrahim). Disiapkanlah pasukan dari Syam untuknya hingga pasukan tersebut meraih kemenangan di Baida’, tempat antara Makkah dan Madinah. Tatkala orang-orang melihatnya, dia pun didatangi oleh para tokoh Syam dan kepala suku dari Irak, dan mereka pun membaiatnya. Kemudian muncul seorang (musuh) dari Syam, yang paman-pamannya dari suku Kalb. Dia pun mengirimkan pasukan untuk menghadapi mereka, lalu Allah memenangkannya atas pasukan dari Syam tersebut, Pasukan itu adalah pasukan (yang didorong oleh ambisi) suku Kalb dan itulah kekalahan bagi orang yang tidak mendapatkan ghanîmah Kalb. Al-Mahdi lalu membagi-bagikan harta-harta tersebut dan bekerja di tengah-tengah masyarakat… menyampaikan Islam ke wilayah di sekitarnya. Tidak lama kemudian, selama tujuh tahun, dia pun meninggal dunia, dan dishalatkan oleh kaum Muslim." (Dalam riwayat lain dinyatakan, tidak lama kemudian, selama sembilan tahun). (HR ath-Thabrani)

Hadis di atas dengan jelas menyatakan, bahwa akan lahir Khalifah baru setelah meninggalnya khalifah sebelumnya. Sebagaimana yang dinyatakan dalam ungkapan:

يَكُوْنُ اخْتِلاَفٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيْفَةٍ فَيَخْرُجُ رَجُلٌ

Akan muncul pertikaian saat kematian seorang khalifah. Kemudian keluarlah seorang lelaki..” (HR ath-Thabrani).

Dengan demikian, pandangan yang menyatakan bahwa Imam Mahdilah yang akan mendirikan Khilafah Rasyidah Kedua jelas merupakan pandangan yang lemah. Demikian juga pandangan yang menyatakan bahwa tidak perlu berjuang untuk menegakkan Khilafah, karena tugas itu sudah diemban oleh Imam Mahdi, sehingga kaum Muslim sekarang tinggal menunggu kedatangannya, adalah juga pandangan yang tidak berdasar.

Jadi, jelas sekali bahwa Imam Mahdi bukanlah orang yang mendirikan Khilafah, dan dia bukanlah khalifah yang pertama dalam Khilafah Rasyidah Kedua yang insya Allah akan segera berdiri tidak lama lagi.

Karena itulah, tidak ada pilihan lain bagi setiap Muslim yang khawatir akan mati dalam keadaan jahiliah, selain bangkit dan berjuang bersama-sama para pejuang syariah dan Khilafah hingga syariah dan Khilafah tersebut benar-benar tegak di muka bumi ini.


KE SEBELAS: WARGA NEGARA KHILAFAH HANYA MUSLIM SAJA?


Hak Beribadah non-Muslim dalam Negara Khilafah

Negara Khilafah, meski merupakan negara kaum Muslim di seluruh dunia, tidak berarti rakyatnya harus semuanya Muslim. Karena itu, keislaman bukanlah syarat mutlak diterimanya seseorang sebagai warga Negara Khilafah. Seseorang bisa menjadi rakyat Negara Khilafah menetap di wilayah Khilafah, serta loyal pada negara dan sistemnya. Seorang Muslim yang tinggal di luar wilayah Islam tidak dianggap sebagai warga negara Khilafah. Sebaliknya, orang non-Muslim yang tinggal di wilayah Islam dan tunduk pada hukum Islam (kafir dzimmi) dianggap sebagai warga Negara Khilafah.1

Non-Muslim yang menjadi warga Negara Khilafah akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan kaum Muslim. Terhadap mereka diberlakukan hukum Islam sama dengan kaum Muslim. Sebab, hukum Islam pada dasarnya ditujukan kepada seluruh umat manusia, bukan hanya untuk kaum Muslim saja. Dalam QS Saba’ (34) ayat 28 dijelaskan bahwa orang kafir juga diseru untuk terikat dengan hukum Islam, baik dalam perkara ushul, seperti seruan untuk beriman kepada Allah, sebagaimana dijelaskan dalam banyak ayat yang lain, ataupun dalam masalah furu’, yaitu dengan melaksanakan syariah Islam. Dalam al-Quran dijelaskan pula bahwa kelak orang kafir, ketika di dalam neraka, ditanya:

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ، قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ، وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ

Apa gerangan yang membuat kalian terjerumus ke Neraka Saqar? Mereka menjawab, “Kami (ketika di dunia) tidak pernah melakukan shalat, juga tidak memberi makan orang miskin.” (QS al-Mudatstsir [74]: 42-44).

Allah SWT juga dengan keras mengancam mereka yang meninggalkan hukum Islam, termasuk dalam aspek furu’ tersebut, sebagaimana firman-Nya:

وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ، الَّذِينَ لا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ

Kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka mengingkari (kehidupan) akhirat (QS Fushilat [41]: 6-7).

Jika dalam perkara furu’ tersebut tidak ada kewajiban bagi mereka, tentu hal itu tidak akan menyebabkan mereka masuk neraka, dan tidak menjadi alasan bagi Allah mengecam mereka. Karena itu, ini menjadi dalil, bahwa kaum kafir pun diseru dalam perkara furu’.2 Ini dari aspek khithab (seruan) atau taklif (beban hukum).

Adapun dalam aspek penerapan hukum Islam oleh negara, maka Islam telah membedakannya menjadi dua. Pertama: hukum Islam yang dalam pelaksanaannya membutuhkan syarat harus Muslim. Dalam hal ini, orang non-Muslim tidak boleh melaksanakannya. Bahkan mereka harus dicegah dan dilarang. Misal: shalat, puasa, zakat, haji, membaca al-Quran, dan sejenisnya. Orang kafir tidak boleh melaksanakannya. Ini seperti kasus kaum Ahmadi, yang jelas murtad; mereka harus dicegah untuk mengerjakan shalat, puasa, haji dan membaca al-Quran. Sebab, untuk melakukan semua itu disyaratkan harus Muslim.

Kedua: hukum Islam yang dalam pelaksanaannya tidak membutuhkan syarat harus Muslim. Dalam hal ini, orang non-Muslim dibolehkan melaksanakannya, seperti jihad, misalnya; bahkan adakalanya wajib, seperti sistem ekonomi, pendidikan, sanksi hukum, pemerintahan, politik luar negeri, dan sebagainya. Karena itu, mereka pun wajib menerapkan hukum Islam.3 Allah SWT berfirman:

فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ

Hukumilah mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu (QS al-Maidah [5]: 48).

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ



Hukumilah perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (QS al-Maidah [5]: 49).

Kata ganti (dhamir) hum pada frasa fahkum baynahum terkait dengan orang Yahudi yang menjadi warga Negara Islam yang ketika itu terikat perjanjian dengan Rasalullah saw. Ketentuan ini berlaku umum bagi seluruh warga negara non-Muslim yang tinggal di wilayah Negara Islam. Kendati demikian keumuman perintah bagi Rasulullah saw, yang juga berlaku bagi setiap kepala Negara Islam untuk menerapkan hukum Islam tersebut di-takhsish dengan perkara-perkara yang menyangkut akidah dan hukum yang mereka anggap sebagai akidah. Ini termasuk pengecualian yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. sendiri. Takhsis itu merupakan hak yang diberikan kepada mereka oleh negara.

Hak Beribadah dan Berakidah

Meskipun kaum kafir menjadi obyek seruan (al-mukhathab) seruan Islam, baik dalam perkara ushul maupun furu’, dalam implementasinya tidak demikian. Mereka, misalnya, tidak boleh dipaksa untuk memeluk Islam, dan tetap dibiarkan memeluk agama serta keyakinan mereka (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 256). Sebaliknya, mereka akan mendapatkan jaminan untuk tetap memeluk agama dan akidah mereka, termasuk kebebasan dan jaminan untuk melaksanakan ritual agama mereka tanpa ada intimidasi, paksaan maupun yang lain.

Dalam sebuah hadis yang dikeluarkan Abu Ubaid dalam kitabnya, Al-Amwal, melalui jalur Urwah, Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّهُ مَنْ كَانَ عَلَى يَهُودِيَّةٍ أَوْ نَصْرَانِيَّةٍ فَإِنَّهُ لاَ يُفْتَنُ عَنْهَا ، وَعَلَيْهِ الْجِزْيَةُ



Siapapun yang beragama Yahudi atau Nasrani (berkedudukan sebagai dzimmi), maka dia tidak diganggu untuk melaksankan ajaran agamanya. Mereka dikenakan jizyah.4

Karena itu, setiap perkara yang terkait dengan akidah, walaupun bagi kita bukan, harus dibiarkan dan mereka tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya. Begitu juga dalam perkara yang ditetapkan Rasulallah saw. seperti kebolehan meminum khamr dalam lingkungan khusus mereka, termasuk melaksanakan tatacara pernikahan sesuai dengan ajaran mereka. Hanya saja, ini berlaku jika keduanya non-Muslim. Jika pengantin prianya Muslim dan perempuannya non-Muslim, maka pernikahan atau penceraian mereka dilakukan sesuai dengan ajaran Islam.

Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, seluruh warga negara yang non-Muslim, baik kafir dzimmi, mu’ahad (kafir yang terikat perjanjian) ataupun musta’min (kafir yang tinggal di Negara Khilafah dengan visa khusus), wajib terikat dengan hukum Islam; kecuali hukum shalat, zakat, puasa, haji dan hukum lain yang pelaksanaannya mengharuskan syarat harus Muslim. Mereka tidak dituntun untuk berjihad, tetapi dibolehkan ikut.

Hak Memiliki Rumah Ibadah

Hak memeluk akidah dan menjalankan ibadah bagi warga non-Muslim mencakup di dalamnya hak untuk memiliki rumah ibadah. Karena itu, rumah ibadah ini merupakan harta mereka yang harus dijaga. Selain itu, ketentuan ini juga didasarkan pada larangan menghancurkan rumah ibadah, sebagaimana dinyatakan dalam fiman Allah SWT:

وَلَوْلا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا

Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia atas sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah (QS al-Hajj [22]: 40).

Imam al-Qurtubi memaknai ayat ini, bahwa sekiranya Allah SWT tidak memerintahkan para nabi untuk memerangi musuh-musuh mereka, niscaya orang musyrik akan dengan mudah menguasai dan menghancurkan rumah-rumah ibadah itu. Beliau menambahkan, bahwa kewajiban jihad ini merupakan kewajiban yang juga dibebankan kepada para nabi terdahulu. Selanjutnya, mengutip pendapat Ibn Huwaiz, beliau menyatakan, ayat ini berisi larangan menghancurkan tempat-tempat ibadah Ahli Dzimmah, tetapi mereka tidak boleh dibiarkan membuat tempat ibadah baru (selain yang mereka miliki saat perjanjian), dilarang pula memperluas dan meninggikannya.5

Larangan untuk membangun rumah ibadah yang baru juga merupakan kesepakatan para fukaha. Sebab, hal itu bisa menampakkan dan meninggikan simbol-simbol kekufuran. Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Ibn ‘Adi dari ‘Umar bin al-Khatthab, juga bersabda:

لاَ تُبْنَى كَنِيْسَةٌ فِي الإسْلاَمِ وَلاَ يُجَدَّدُ ماَ خُرِبَ مِنْهَا

Tidak boleh membangun gereja (dalam wilayah Negara Islam) dan tidak pula memperbarui yang sudah runtuh.

Para fukaha memahami konteks hadis ini adalah untuk wilayah yang ditaklukkan oleh kaum Muslim dengan pengerahan kekuatan (‘anwah), sehingga tanahnya menjadi hak kaum Muslim, baik raqabah (zat)-nya ataupun manfa’ah (kegunaan)-nya. Namun, jika berada di wilayah yang dibuka dengan sulh (perjanjian), maka diserahkan kepada Khalifah. Khalifah Umar Ibn al-Khaththab, ketika melakaukan sulh dengan kaum Nasrani Syam, menulis surat yang berisi larangan membangun tempat ibadah baru di tempat mereka.6

Hadis di atas juga menjadi dalil atas larangan membangun kembali bangunan gereja yang telah hancur. Adapun merenovasi gereja dibolehkan, karena tidak termasuk ihdast (membuat baru), tetapi hanya istidamah (menjaga keberadaanya). Perincian hal ini telah banyak dibahas oleh para fukaha dalam kitab-kitab fikih mereka.

Penyebaran Agama Lain



Warga negara non-Muslim dilarang menyebarkan ajaran agama mereka di wilayah Negara Khilafah. Sebab, hal itu termasuk perkara yang membatalkan status dzimmah mereka (naqidhan lil ‘ahd), yaitu dengan menimbulkan fitnah di tengah-tengan kaum Muslim. Keluar dari ajaran Islam (murtad) merupakan umm al-jara’im (induk kriminal). Pelakunya harus segara diajak kembali kepada Islam. Jika menolak, ia dikenakan had al-qatl (sanksi hukuman mati).

Karena itu, upaya mengajak seseorang untuk murtad dari Islam merupakan pelanggaran besar. Jika itu dilakukan oleh Ahli Dzimmah, perjanjian mereka batal demi hukum. Demikian kesepakatan para fukaha.7

Jaminan Keamanan bagi Ahli Dzimmah

Orang non-Muslim yang hidup dan menjadi warga Negara Khilafah mendapatkan perlakukan dan hak yang sama dengan kaum Muslim. Harta dan darah mereka terjaga sebagaimana darah dan harta kaum Muslim. Diriwayatkan al-Khathib dari Ibn Mas’ud, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

مَنْ آذَى ذِمِّيًّا فَأنَا خَصْمُهُ وَمَنْ كُنْتُ خَصْمَهُ خَصَمْتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa menyakiti dzimmi, maka aku berperkara dengannya, dan barangsiapa berperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakannya pada Hari Kiamat (HR as-Suyuthi, al-Jami’ as-Shaghir).

Hadis ini menjadi dalil atas larangan menyakiti warga non-Muslim, baik terhadap diri, kehormatan, ataupun harta mereka. Siapapun yang mencederai orang non-Muslim akan terkena diyat, sebagaimana yang dikenakan ketika mereka melakukankannya terhadap kaum Muslim. Siapa saja yang membunuh salah seorang di antara mereka akan dikenai had qishash. Jika hartanya dicuri, maka pencurinya dikenai hukum potong tangan. Demikian seterusnya.

Praktik seperti ini telah berlangsung sepanjang sejarah Islam, terutama ketika kaum Muslim berada di puncak kejayaan dan kekuatannya. WalLahu a’lam. []

__________________________________________________________________________________

Catatan kaki:

 1. Muqaddimatu ad-Dustur aw al-Asbab al-Mujibah lahu al-Qism al-Awwal, Min Mansyurat Hizb at-Tahrir, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 2009, hlm. 23-28. Lihat juga: Dr. Kamal Sa’id Habib, Kaum Minoritas dan Politik Negara Islam, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, cet. I, 2007, hlm. 88.

 2. Muqaddimatu ad-Dustur aw al-Asbab al-Mujibah lahu al-Qism al-Awwal, Min Mansyurat Hizb at-Tahrir, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 2009, hlm. 29-36.

 3. Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah al-Juz’ at-Tsalits, Dar al-Ummah, Beirut, cet. III, 2005, hlm. 30-32.

 4. Abu ‘Ubaid, Al-Amwal, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 2009, hal. ; Ibn Hajar al-Asqalani, Talhish al-Habir fi Ahadits ar-Rafi’i al-Kabir, Madinah al-Munawwarah, 1964, IV/122.

 5. Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, XII/68.

 6. Ibn Qudamah, Al-Mughni, VIII/524; al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IX/202; Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mawsu’ah Fiqh ‘Umar bin al-Khatthab, Dar an-Nafais, Beirut, cet. V, 1997, hlm. 408-409.

 7. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mawsu’ah Fiqh ‘Umar bin al-Khatthab, Dar an-Nafais, Beirut, cet. V, 1997, hlm. 417.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

IMAM MAHDI MENYERU
BENTUKLAH PASUKAN JIHAD MILITER KHILAFAH ISLAM
DISELURUH PELOSOK DUNIA MARI WUJUDKAN
NEGARA KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH (MELAYU)


Untuk Wali Wali Allah dimana saja kalian berada
Sekarang keluarlah, Hunuslah Pedang dan Asahlah Tajam-Tajam

Api Jihad Fisabilillah Akhir Zaman telah kami kobarkan
Panji-Panji Perang Nabimu sudah kami kibarkan
Arasy KeagunganMu sudah bergetar Hebat Ya Allah,

Wahai Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang
hamba memohon kepadaMu keluarkan para Muqarrabin bersama kami

Allahumma a’izzal islam wal muslim wa adzillas syirka wal musyrikin wa

dammir a’da aka a’da addin wa iradaka suui ‘alaihim yaa Robbal

‘alamin.

Wahai ALLAH muliakanlah islam dan Kaum Muslimin, hinakan dan

rendahkanlah kesyirikan dan pelaku kemusyrikan dan hancurkanlah

musuh-mu dan musuh agama-mu dengan keburukan wahai RABB
semesta alam.

Allahumma ‘adzdzibil kafarotalladzina yashudduna ‘ansabilika, wa

yukadzdzibuna min rusulika wa yuqotiluna min awliyaika.

Wahai ALLAH berilah adzab…. wahai ALLAH berilah adzab…. wahai ALLAH

berilah adzab…. orang-oramg kafir yang telah menghalang-halangi kami

dari jalan-Mu, yang telah mendustakan-Mu dan telah membunuh Para

Wali-Mu, Para Kekasih-Mu

Allahumma farriq jam’ahum wa syattit syamlahum wa zilzal aqdamahum wa

bilkhusus min yahuud wa syarikatihim innaka ‘ala kulli syaiin qodir.

Wahai ALLAH pecah belahlah, hancur leburkanlah kelompok mereka, porak

porandakanlah mereka dan goncangkanlah kedudukan mereka, goncangkanlah

hati hati mereka terlebih khusus dari orang-orang yahudi dan sekutu-

sekutu mereka. sesungguhnya ENGKAU Maha Berkuasa.

Allahumma shuril islam wal ikhwana wal mujahidina fii kulli makan yaa

rabbal ‘alamin.

Wahai ALLAH tolonglah Islam dan saudara kami dan Para Mujahid dimana

saja mereka berada wahai RABB Semesta Alam.
Aamiin Yaa Robbal ‘Alamin

Wahai Wali-wali Allah Kemarilah, Datanglah dan Berkujunglah dan

bergabunglah bersama kami kami Ahlul Baitmu

UNDANGAN GUBENUR MILITER KHILAFAH ISLAM
PASUKAN KOMANDO BENDERA HITAM WILAYAH ASIA TENGGARA
NEGARA KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU

Al Qur`an adalah manhaj (petunjuk jalan) bagi para Da`i yang menempuh

jalan dien ini sampai hari kiamat, Kami akan bawa anda untuk mengikuti

jejak langkah penghulu para rasul Muhammad SAW dan pemimpin semua umat

manusia.

Hai kaumku ikutilah aku, aku akan menunjukan kepadamu jalan yang benar

(QS. Al-Mu'min :38)

Wahai para Ikwan Akhir Zaman, Khilafah Islam sedang membutuhkan
para Mujahid Tangguh untuk persiapan tempur menjelang Tegaknya

Khilafah yang dijanjikan.

Mari Bertempur dan Berjihad dalam Naungan Pemerintah Khilafah Islam,

berpalinglah dari Nasionalisme (kemusyrikan)

Masukan Kode yang sesuai dengan Bakat Karunia Allah yang Antum miliki.

301. Pasukan Bendera Hitam
Batalion Pembunuh Thogut / Tokoh-tokoh Politik Musuh Islam

302. Pasukan Bendera Hitam Batalion Serbu
- ahli segala macam pertempuran
- ahli Membunuh secara cepat
- ahli Bela diri jarak dekat
- Ahli Perang Geriliya Kota dan Pegunungan

303. Pasukan Bendera Hitam Batalion Misi Pasukan Rahasia
- Ahli Pelakukan pengintaian Jarak Dekat / Jauh
- Ahli Pembuat BOM / Racun
- Ahli Sandera
- Ahli Sabotase

304. Pasukan Bendera Hitam
Batalion Elit Garda Tentara Khilafah Islam

305. Pasukan Bendera Hitam Batalion Pasukan Rahasia Cyber Death
- ahli linux kernel, bahasa C, Javascript
- Ahli Gelombang Mikro / Spektrum
- Ahli enkripsi cryptographi
- Ahli Satelit / Nuklir
- Ahli Pembuat infra merah / Radar
- Ahli Membuat Virus Death
- Ahli infiltrasi Sistem Pakar

angsahitam@inbox.com
seleksidim@yandex.com

Disebarluaskan Oleh
PANGLIMA PASUKAN KOMANDO BENDERA HITAM
KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU
SYUAIB BIN SHALEH AT TAMIMI

Unknown mengatakan...

WILAYAH ASAL
KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH (MELAYU)

Bismillahir Rahmanir Rahiim

MARKAS BESAR ANGKATAN PERANG
KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU
MENERBITKAN SURAT SECARA RESMI
NOMOR : 1436H-RAJAB-02

PETA ASAL WILAYAH
KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU

Maha Suci Allah yang di tangan-Nya Kekuasaaan Pemerintahan atas segala
sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala Kerajaan, dan Dia Maha
Kuasa atas segala sesuatu,
Wahai Rabb Pemilik Kerajaan Langit dan Bumi maupun Kerajaan yang Ada
diantara Keduanya, Sesunggunya Engkau Maha Kuasa atas Segala Sesuatu

yang Engkau Kehendaki.

Wahai Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang
Hamba memohon Ampun dan Kasih Sayang-Mu,
Kami Hamba-Mu yang Dhoif Mohon Izin untuk melakukan Ijtihad Syiasah

Allaahumma sholli alaa Muhammad wa alaa aali Muhammad kamaa shol
laita alaa aali Ibroohiim ,
wa baarik alaa Muhammad wa alaa aali Muhammad kamaa baarokta alaa aali
Ibroohiim fil aalamiina innaka hamiidum majiid.

Pada Hari Ini Hari Isnain 1 Rajab 1436H
1. Kami sampaikan Kabar Gembira bahwa Asal Mula wilayah
Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu adalah dari Sabang hingga
Maurake

2. Wilayah Negeri dari Sabang hingga Mauroke yang dihuni oleh Umat
Islam yang Sholeh-sholeh kami beri Namanya sesuai dengan Hadist
Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam Menjadi Wilayah Negeri Syam.

3. Peta Wilayah Indonesia Kami Hapus diganti dengan Nama Wilayah Syam

(Negeri
Ummat Islam Akhir Zaman)

4. RI bubar dan Hilang, Berganti Nama Organisasi Penyamun Indonesia

(OPI)

"Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap

keraslah terhadap mereka." (QS. Al-Taubah: 73, Al-Tahrim: 9)


Kepada para Alim Ulama cerdik cendikia Islam, Mari bersama-sama kita
tegakkan Islam dan menjadikan AlQuran dan As Sunnah Rasulullah SAW
menjadi satu-satunya sumber hukum yang berkuasa di Wilayah Syam.

Umat Islam tidak layak untuk hidup tentram di-RI,
RI adalah bagian dari Negara Zionis Internasional, Negara Dajjal.

Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah (Melayu) menghimbau melalui
Aqidah Islam bahwa Semua Negara binaan Dajjal adalah Jibti dan Thagut
yang harus dihancurkan, bukan menjadikannya tempat bernaung dan merasa
hidup tentram di dalamnya sampai akhir hayat.

Akhir Zaman adalah Masa-nya seluruh umat islam harus berperang melawan
Zionis Internasional yang di Komandoi Israel. Waktu akan kian mendekat
Maka Umat Islam secara terpaksa atau secara ikhlas menjadi dua
gelombang besar wala kepada Zionis atau wala kepada Islam.

Bila Umat Islam yang berada di Wilayah Negeri Syam ridha pasrah dan
tunduk dibawah Tekanan OPI (organisasi Penyamun Indonesia), maka
bersiaplah menjadi negeri yang mengerikan.

Dan betapa banyak penduduk negeri yang mendurhakai perintah Tuhan
mereka dan Rasul-rasul-Nya, maka Kami hisab penduduk negeri itu dengan
hisab yang keras, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan.
(Qs. At-Thalaq :8)

Dan demikianlah Kami jadikan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat
yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan
mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka
tidak menyadarinya. (Qs. Al-an am : 123)

Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-
negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat
pedih lagi keras. (Qs. Huud:102)

Dan berapa banyak penduduk negeri yang zalim yang teIah Kami
binasakan, dan Kami adakan sesudah mereka itu kaum yang lain sebagai
penggantinya. (Qs. Al-Anbiyaa:11)


Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang Kafir (OPI) yang ada
disekitar kamu, hendaklah mereka merasakan keganasan darimu,
ketahuilah Allah bersama orang-orang yang bertaqwa (Qs. At-Taubah:123)

..dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun
memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa. (Qs. At-Taubah:36)

PANGLIMA PERANG PASUKAN KOMANDO PANJI HITAM
Kolonel Militer Syuaib Bin Sholeh
angsahitam@inbox.com