Negara Islam di masa Rasulullah saw memiliki bendera dengan bentuk dan corak yang khas; juga memiliki panji-panji dengan bentuk dan corak yang juga khas. Meski bendera itu hanya secarik kain –yang di mata orang awam tidak berbeda dengan poyongan kain lainnya, sehingga seringkali diabaikan- namun di depan musuh-musuh Islam, bendera Islam laksana palu godam peperangan yang diarahkan kepada mereka dan membuat hati musuh-musuh Islam bergetar ketakutan.
Kecintaan orang yang membawa bendera dan panji-panji Islam melebihi kecintaan orang yang tengah di mabuk asmara. Para sahabat Rasulullah saw selalu berharap bahwa diri merekalah yang menjadi pembawa bendera. Salah satu contohnya ditunjukkan pada saat perang Khaibar, dimalam hari dimana keesokan paginya Rasulullah saw akan menyerahkan bendera/panji-panji kepada seseorang:
«فَبَاتَ النَّاسُ يَدُوْكُوْنَ لَيْلَتَهُمْ: أَيُّهُمْ يُعْطَاهَا؟»
Malam harinya, semua orang tidak tidur dan memikirkan siapa diantara mereka yang besok akan diserahi bendera itu. (HR. Bukhari)Bahkan Umar bin Khaththab sampai berkata:
«مَا أَحْبَبْتُ اْلإِمَارَةَ إِلاَّ يَوْمَئِذٍ»
Aku tidak mengharapkan kepemimpinan kecuali pada hari itu. (HR. Bukhari)Fragmentasi diatas menunjukkan betapa pentingnya kedudukan bendera dan panji-panji didalam Islam. Orang yang diserahi oleh Rasulullah saw untuk membawanya memiliki kemuliaan yang sangat tinggi.
Di dalam bahasa Arab bendera dinamai dengan liwa (jamaknya adalah alwiyah). Sedangkan panji-panji perang dinamakan dengan rayah. Disebut juga dengan istilah al-‘alam [Dr. Abdullah bin Muhammad bin Sa’ad al-Hujaili., al-‘Alamu an-Nabawiyu asy-Syarif., p. 33-34., Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam]. Rayah adalah panji-panji yang diserahkan kepada pemimpin peperangan, dimana seluruh pasukan berperang di bawah naungannya dan (ia) akan mempertahankannya hidup atau mati. Sedangkan liwa adalah bendera yang menunjukkan posisi pemimpin pasukan, dan ia akan dibawa mengikuti posisi pemimpin pasukan. Liwa adalah al-‘alam (bendera) yang berukuran besar. Jadi, liwa adalah bendera negara. Sedangkan rayah berbeda dengan al-’alam. Rayah adalah bendera yang berukuran lebih kecil, yang diserahkan oleh Khalifah atau wakilnya kepada pemimpin perang, serta komandan-komandan pasukan Islam lainnya. Rayah merupakan tanda yang menunjukkan bahwa orang yang membawanya adalah pemimpin perang [Dr. Abdullah bin Muhammad bin Sa’ad al-Hujaili., op cit., p. 37, 40-41., Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam].
Liwa (bendera negara) berwarna putih, sedangkan rayah (panji-panji perang) berwarna hitam. Banyak riwayat (hadits) yang menunjukkan warna liwa dan rayah, diantaranya:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ –صلعم- كَانَتْ رَايَتُهُ سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ
Rayahnya (panji peperangan) Rasul saw berwarna hitam, sedangkan benderanya (liwa-nya) berwarna putih. (HR. Thabrani, Hakim, dan Ibnu Majah)
كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلِ اللهِ –صلعم- سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ
Panji (rayah) Nabi saw berwarna hitam, sedangkan liwa-nya (benderanya) berwarna putih [ Iman asy-Syaibani., as-Siar al-Kabir., jilid I/71].
Meskipun terdapat juga hadits-hadits lain yang menggambarkan warna-warna lain untuk liwa (bendera) dan rayah (panji-panji perang), akan tetapi sebagian besar ahli hadits meriwayatkan warna liwa dengan warna putih, dan rayah dengan warna hitam. Panji-panji Nabi saw dikenal dengan sebutan al-‘uqab, sebagaimana yang dituturkan:
إِسْمُ رَايَةِ رَسُوْلِ اللهِ –صلعم- الْعُقَابُ
Nama panji Rasulullah saw adalah al-‘uqab [Ibnu Asakir., Tarikh ad-Dimasyq., jilid IV/225-226].
Tidak terdapat keterangan (teks nash) yang menjelaskan ukuran bendera dan panji-panji Islam di masa Rasulullah saw, tetapi terdapat keterangan tentang bentuknya, yaitu persegi empat.
كَانَتْ رَايَتُهُ سَوْدَاءَ مُرَبِّعَةً مِنْ نَمْرَةٍ
Panji Rasulullah saw berwarna hitam, berbentuk segi empat dan terbuat dari kain wol. (HR. Tirmidzi)
Al-Kittani [al-Kittani., Tartib al-Idari., jilid I/320] mengetengahkan sebuah hadits yang menyebutkan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ –صلعم- عَقَدَ لَهُ رَايَةً، رُقْعَةً بَيْضَاءَ ذِرَاعًا فِيْ ذِرَاعٍ
Rasulullah saw telah menyerahkan kepada Ali sebuah panji berwarna putih, yang ukurannya sehasta kali sehasta.
Pada liwa (bendera) dan rayah (panji-panji perang) terdapat tulisan Lâ ilâha illa Allah, Muhammad Rasulullah. Pada liwa yang berwarna dasar putih, tulisan itu berwarna hitam. Sedangkan pada rayah yang berwarna dasar hitam, tulisannya berwarna putih. Hal ini dijelaskan oleh al-Kittani [al-Kittani., op cit., jilid I/322], yang berkata bahwa hadits-hadits tersebut (yang menjelaskan tentang tulisan pada liwa dan rayah-pen) terdapat di dalam musnad Imam Ahmad dan Tirmidzi, melalui jalur Ibnu Abbas. Imam Thabrani meriwayatkannya melalui jalur Buraidah al-Aslami, sedangkan Ibnu Adi melalui jalur Abu Hurairah. Begitu juga hadits-hadits yang menunjukkan adanya lafadz Lâ ilâha illa Allah, Muhammad Rasulullah, pada bendera dan panji-panji perang, terdapat pada kitab Fathul Bari [Ibnu Hajar al-Asqalani., Fathul Bari., jilid VII/477].
Berdasarkan paparan tersebut diatas, bendera Islam di masa Rasulullah saw adalah berwarna putih, berbentuk segi empat dan di dalamnya terdapat tulisan Lâ ilâha illa Allah, Muhammad Rasulullah dengan warna hitam. Dan panji-panji perang (rayah) Islam di masa Rasulullah saw berwarna dasar hitam, berbentuk persegi empat, dengan tulisan di dalamnya Lâ ilâha illa Allah, Muhammad Rasulullah berwarna putih.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah negara Khilafah nantinya akan mengadopsi bentuk, warna dan corak bendera dan panji-panji perangnya sebagaimana di masa Rasulullah saw?
Sebagian besar para fuqaha dan ahli hadits menganggap bahwa keberadaan liwa dan rayah adalah sunnah. Ibnul Qayyim berkata: Pasukan disunnahkan membawa bendera besar dan panji-panji. Warna liwa (bendera besar) disunnahkan berwarna putih, sedangkan panji-panjinya boleh berwarna hitam’ [Ibnul Qayyim., Zaadul Ma’ad., jilid III/667]. Kebiasaan Rasulullah saw yang mengangkat orang-orang tertentu sebagai pemegang panji-panji, juga dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar ra, sebagaimana yang dituturkan Abu Yusuf: ‘Rasulullah saw biasa menyerahkan liwa kepada pemimpin pasukan, yang diikatkan di ujung tombaknya. Rasulullah saw telah menyerahkan liwa kepada Amru bin Ash dalam perang Dzatu Salasil. Setelah beliau saw wafat, Abu Bakar ash-Shiddiq menyerahkan liwa kepada Khalid bin Walid, yang dipasang di ujung tombaknya’ [Abu Yusuf., al-Kharaj., p. 193]. Imam Ibnu Hajar menyebutkan sunnah untuk membawa bendera di dalam peperangan [Ibnu Hajar al-Asqalani., Fathul Bari., jilid VI/127].
Meskipun demikian, karena ‘urf (adat kebiasaan) internasional saat ini mengharuskan setiap negara memiliki simbol berupa bendera kenegaraan. Maka negara Khilafah harus memiliki simbol kenegaraan sebagaimana negara-negara lain. Simbol tersebut di wujudkan dalam bentuk adanya liwa (bendera negara) dan rayah (panji-panji peperangan) yang bentuk, corak dan warnanya seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Bendera (liwa) itulah yang dipasang/dikibarkan di Darul Khilafah (kantor Khalifah), terutama di depan (atau di atas) tempat bekerjanya Khalifah, sedangkan rayah dipasang/dikibarkan di instansi-instansi pemerintah maupun swasta. Dibolehkan juga bagi individu rakyat untuk mengibarkan rayah di depan rumah-rumah mereka atau lembaga-lembaga yang mereka jalankan [Taqiyuddin an-Nabhani., asy-Syakhshiyah al-Islamiyah., jilid II/193 ., Darul Ummah].
2 komentar:
Kaum muslimin akan segera kemali disatukan dibawah kibaran al liwa dan ar rayah... insyaallah
liwarayahproduction.wordpress.com
izin sedot gambar ya min
Posting Komentar