Oleh : Nabiel Fuad Al-Musawa
DEFINISI
1. Secara bahasa Arab (lughah) at-Tahaluf (kompromi) berasal dari kata al-Hilfu yang artinya perjanjian untuk saling menolong, ia berasal dari kata halafa-yahlifu-hilfan. Dalam bentuk kalimat dikatakan hilfuhu fulan fayakunu halifuhu (Fulan berjanji dg fulan maka ia menjadi sahabatnya)[1].
2. Secara syar’I maknanyapun sama, dalam hadits nabi SAW disebutkan dari Ashim ra : “Aku berkata kepada Anas bin Malik : Apakah telah sampai kepadamu bahwa nabi SAW bersabda : “Tdk ada hilfu dlm Islam.” Maka jawab Anas ra : “Bahkan nabi SAW telah mengambil sumpah suku Quraisy dan Anshar dirumahku.” (HR Bukhari bab Laka al Adab, hal 78 dan bab al-Ikha wa Halaf juz 8/26, cet Dar asy-Syatibi).
PERJANJIAN2 JAHILIYYAH DIMASA SEBELUM KENABIAN YG DIDUKUNG OLEH NABI SAW
1. Perjanjian Muthayyibin, yaitu perjanjian antara kabilah Bani Abdud Dar, Bani Jamah, Bani Salim, Bani Makhzum dan Bani Adi, yaitu untuk tidak saling berebut kekuasaan atas Ka’bah yaitu dengan memasukkan masing2 tangannya ke dalam mangkok berisi minyak wangi dan mengusapkannya ke Ka’bah sehingga dinamakan Muthayyibin (orang2 yg memakai minyak wangi). Tentang ini nabi SAW bersabda : “Aku menyaksikan berlangsungnya al-Muthayyibin, aku tidak ingin membatalkannya walaupun aku hanya diberikan kekuasaan atas binatang ternak.” (HR Ahmad dlm al-Musnad, juz-I hal 190 dan 193).
Dan ketika nabi SAW menaklukkan Makkah (fathul Makkah) dan sedang duduk di Masjidil Haram, Ali ra berkata : Wahai RasuluLLAH, kita telah menguasai kunci Ka’bah dan air zam-zam. Lalu nabi SAW berkata : Dimana Usman bin Thalhah? Ini kuncimu, ambil kunci ini selamanya dan tidak akan merebutnya kecuali orang yang aniaya. (Sirah an-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, juz-II, hal. 412)
2. Perjanjian Fudhul, yaitu perjanjian antara Bani Hasyim, bani Muthalib, bani Asad bin Abdul ‘Uzza, bani Zuhrah bin Kilab dan bani Taim bin Murrah untuk tidak membiarkan kezaliman di kota Makkah baik terhadap penduduk pribumi maupun terhadap pendatang (Sirah an-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, juz-I, hal 133-134). Tentang ini nabi SAW bersabda : “Aku telah menyaksikan perjanjian Fudhul di kediaman AbduLLAH bin Jad’an, perjanjian yang tidak akan aku batalkan walaupun aku hanya diberi kekuasaan atas binatang ternak. Dan sekiranya perjanjian itu dilaksanakan pada masa Islam, maka aku akan menyetujuinya.”[2]
Jumat, 27 April 2012
Perlukah Negara Islam?
Diskusi dan wacana tentang negara Islam sudah lama mengemuka di negeri ini. Di buku “Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20” terbitan Gema Insani Press yang dieditori oleh Herry Mohammad, disebutkan bahwa pada tahun 1940-an, Mohammad Natsir pernah terlibat polemik dengan Soekarno tentang agama dan negara.
Menurut Soekarno, agama mesti dipisahkan dari negara. Ia berpendapat, dengan mengutip –salah satunya– gagasan yang dilontarkan oleh Ali Abdur Raziq, pengajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, bahwa dalam al-Qur’an dan as-Sunnah maupun Ijma’ Ulama, tidak ada keharusan bersatunya negara dengan agama.. Soekarno lalu menengok ke negara Turki yang didirikan oleh Mustafa Kemal Attaturk yang memisahkan agama dan negara. Menurut Soekarno, karena proses sekularisasi tersebut, Turki bisa maju.
Bagi Natsir, pemikiran Soekarno tersebut keliru. Menurutnya, agama, dalam hal ini Islam, tak bisa dipisahkan dari negara. Urusan negara adalah bagian dari menjalankan perintah Allah. Ia lalu mengutip al-Qur’an surah adz-Dzaariyat [51] ayat 56, “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.”
Tentang menyatunya agama dengan negara, Natsir menulis, “Bagi kita kaum muslimin, negara bukanlah suatu badan tersendiri yang menjadi tujuan. Dengan persatuan agama dengan negara yang kita maksudkan, bukanlah bahwa agama itu cukup sekedar dimasukkan saja di sana sini kepada negara itu. Bukan begitu! Negara, bagi kita, bukan tujuan, tetapi alat. Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat dipisahkan, satu ‘intergreerenddeel’ dari Islam. Yang menjadi tujuan ialah, ‘Kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan masyarakat sendiri (sebagai individu), ataupun sebagai anggota dari masyarakat’.”
Menurut Soekarno, agama mesti dipisahkan dari negara. Ia berpendapat, dengan mengutip –salah satunya– gagasan yang dilontarkan oleh Ali Abdur Raziq, pengajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, bahwa dalam al-Qur’an dan as-Sunnah maupun Ijma’ Ulama, tidak ada keharusan bersatunya negara dengan agama.. Soekarno lalu menengok ke negara Turki yang didirikan oleh Mustafa Kemal Attaturk yang memisahkan agama dan negara. Menurut Soekarno, karena proses sekularisasi tersebut, Turki bisa maju.
Bagi Natsir, pemikiran Soekarno tersebut keliru. Menurutnya, agama, dalam hal ini Islam, tak bisa dipisahkan dari negara. Urusan negara adalah bagian dari menjalankan perintah Allah. Ia lalu mengutip al-Qur’an surah adz-Dzaariyat [51] ayat 56, “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.”
Tentang menyatunya agama dengan negara, Natsir menulis, “Bagi kita kaum muslimin, negara bukanlah suatu badan tersendiri yang menjadi tujuan. Dengan persatuan agama dengan negara yang kita maksudkan, bukanlah bahwa agama itu cukup sekedar dimasukkan saja di sana sini kepada negara itu. Bukan begitu! Negara, bagi kita, bukan tujuan, tetapi alat. Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat dipisahkan, satu ‘intergreerenddeel’ dari Islam. Yang menjadi tujuan ialah, ‘Kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan masyarakat sendiri (sebagai individu), ataupun sebagai anggota dari masyarakat’.”
Lokasi:
Tangerang, Indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)