PERTAMA: PENGERTIAN KHILAFAH
Menurut Ulama Lughoh (Bahasa Arab)
Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisaan al-’Arab dan Al-’Allamah Muhammad Murtadho Az-Zabidiy dalam Tajul ‘Arusy min Jawahir al-Qamus, menyatakan:
والخليفة إمام الرعية
“Khalifah adalah Imamnya rakyat”.
Menurut Ulama Fiqih
Dalam kitab الموسوعة الفقهية bab إمَامَةٌ كُبْرَى disebutkan :
وَالْإِمَامَةُ الْكُبْرَى فِي الِاصْطِلَاحِ : رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ فِي الدِّينِ وَالدُّنْيَا خِلَافَةً عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَسُمِّيَتْ كُبْرَى تَمْيِيزًا لَهَا عَنْ الْإِمَامَةِ الصُّغْرَى , وَهُمْ إمَامَةُ الصَّلَاةِ
(Makna) Imamah kubra secara istilah: Kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Rasulullah SAW, dikatakan kubra (besar) untuk membedakan dari Imamah sughro (kecil) yakni Imam shalat.
Imam Al-Mawardi Mazhab Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Ahkaam As-Sulthaniyyah hal 3, menyatakan:
الْإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا، وَعَقْدُهَا لمن يقومُ بها في الأمة واجب بالاجماع
"Imamah diletakkan (diposisikan) untuk mengganti nabi dalam menjaga agama dan mengurus dunia, dan mengangkat orang yang melakukannya (menjaga agama dan mengurus dunia) ditengah-tengah umat merupakan kewajiban berdasarkan ijma’."
Imam Ar-Ramli dalam Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i (dari mazhab Syafi’i) menyatakan:
الخليفة هو الإمام الأعظم, القائم بخلافة النبوة, فى حراسة الدين وسياسة الدنيا
“Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan Khilafah Nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”
Menurut Ulama Ushuluddin
Imam Al-Haramain dalam Ghiyatsul Umam fil Tiyatsi Adz-Dzulam berkata:
الإمامة رياسة تامة ، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا ـ .
“Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan agama maupun dunia”.
Imam Al-Aijiy dalam kitab Al-Mawaqif menyatakan:
هي خلافة الرسول في إقامة الدين بحيث يجب اتباعه على كافة الأمة الامامة) .
“Imamah adalah merupakan Khilafah (pengganti) Rasul SAW (sebagai kepala Negara) dalam menegakkan agama, dimana seluruh umat wajib mengikutinya.”.
Pada bagian yang lain:
قال قوم من أصحابنا الإمامة رياسة عامة في أمور الدين والدنيا لشخص من الأشخاص
“Sebagaian kelompok dari shahabat kami menyatakan bahwa Imamah itu adalah kepemimpinan umum dalam berbagai urusan agama dan dunia”.
Sebutan Lain Khilafah dan Khalifah
Para Ulama’ menjelaskan kata Khilafah, Imamah atau Imamah Uzhma atau Imarotul Mukminin sebagai makna yang sama. Dan kata Imam, Khalifah, dan Amirul Mu’minin sebagai bentuk sinonim (taraaduf).
Imam Ar-Razi berpendapat mengenai istilah Imamah dan Khilafah dalam kitab Mukhtar Ash-Shihah hal. 186 :
الخلافة أو الإمامة العظمى ، أو إمارة المؤمنين كلها يؤدي معنى واحداً ، وتدل على وظيفة واحدة و هي السلطة العيا للمسلمين
“Khilafah atau Imamah ‘Uzhma, atau Imaratul Mukminin semuanya memberikan makna yang satu [sama], dan menunjukkan tugas yang satu [sama], yaitu kekuasaan tertinggi bagi kaum muslimin.” (Lihat Muslim Al-Yusuf, Daulah Al-Khilafah Ar-Rasyidah wa Al-‘Alaqat Ad-Dauliyah, hal. 23; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz 8/270).
Imam Al-Hafidz Al-Nawawi dalam Raudhah Ath-Thalibin wa Umdah Al-Muftiin dan Syeikh Khatib Asy-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj menyatakan:
يجوز أن يقال للإمام : الخليفة ، والإمام ، وأمير المؤمنين ...
“Imam boleh juga disebut dengan Khalifah, Imam atau Amirul Mukminin”.
Al-‘Allamah Abdurrahman Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah hal 97 berkata:
وإذ قد بيَّنَّا حقيقة هذا المنصف وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة وإمامة والقائم به خليفة وإمام
“Telah kami jelaskan hakikat kedudukan ini [Khalifah] dan bahwa ia adalah pengganti dari Pemilik syariah [Rasulullah SAW] dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan agama. [Kedudukan ini] dinamakan Khilafah dan Imamah, dan orang yang melaksanakannya [dinamakan] Khalifah dan Imam.”
Dalam Al-Majmu’, Imam An-Nawawi menyatakan bahwa khilafah disebut juga Imamah Kubra:
لان الامامة الكبرى إنما يقصد بها الخلافة كما قدمنا
Syeikh Muhammad Najib Al-Muthi’iy dalam Takmilah-nya atas Kitab Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab karya Imam An Nawawi. Beliau menegaskan:
( الإمامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة )
“Imamah, Khilafah dan Imaratul mukminin itu Mutaradif (sinonim).
Minggu, 17 Juni 2012
DEMOKRASI DAN SYARIAH ISLAM
DEMOKRASI DAN SYARIAH ISLAM
**
Oleh : M. Shiddiq al-Jawi**
1. Syariah Islam Dan Urgensi
1.1. Definisi Syariah Islam (al-hukm al-syar'iy) adalah segala ketentuan Allah SWT yang berkaitan dengan aktivitas manusia (khithab al-syaari al-mutaalliqu bi af-al al-ibad). Maka segala aktivitas manusia, apa pun juga, tidak ada yang terlepas dari ketentuan Syariah Islam yang mencakup hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, pakaian, akhlaq, muâamalat, dan 'uqubat [sistem pidana] (an-Nabhani, Nizham al-Islam, 2001).
1.1. Definisi Syariah Islam (al-hukm al-syar'iy) adalah segala ketentuan Allah SWT yang berkaitan dengan aktivitas manusia (khithab al-syaari al-mutaalliqu bi af-al al-ibad). Maka segala aktivitas manusia, apa pun juga, tidak ada yang terlepas dari ketentuan Syariah Islam yang mencakup hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, pakaian, akhlaq, muâamalat, dan 'uqubat [sistem pidana] (an-Nabhani, Nizham al-Islam, 2001).
Secara garis besar, menurut al-Mahmud (1995) dalam Al-Daawah ila al-Islam pelaksanaan Syariah Islam dibebankan
kepada 3 (pihak) :
(1) individu, misalnya sholat, puasa, dan haji;
(2) kelompok (jamaah), misalnya amar ma'ruf nahi mungkar sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi;
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung." (ali Imran: 104) |
(3) negara, misalnya sistem pidana (nizham 'uqubat), sistem pemerintahan (nizham al-hukm), dan sistem ekonomi (nizham al-iqtishad). Pelaksanaan Syariah Islam yang mengatur urusan privat dan kelompok tidak mensyaratkan keberadaan negara secara mutlak. Berbeda dengan itu, pelaksanaan Syariah Islam yang mengatur urusan publik, jelas mensyaratkan keberadaan negara, secara mutlak. Tanpa eksistensi negara, tidak mungkin hukum-hukum publik seperti sistem pidana dan pemerintahan Islam akan dapat terlaksana dengan sempurna. Tentu negara ini bukan sembarang negara, melainkan hanya negara yang didirikan di atas asas Aqidah Islamiyah, sehingga siap melaksanakan Syariah Islam. Negara inilah yang disebut dengan Khilafah (Imamah). Bagi seorang muslim, mengikatkan seluruh aktivitasnya dengan Syariah Islam adalah wajib hukumnya. Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (an Nisa: 59) |
Lebih dari itu, keterikatan muslim dengan Syariah Islam adalah konsekuensi dari keimanannya terhadap islam Allah SWT berfirman:
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (an Nisa: 65) |
Sebaliknya seorang muslim haram hukumnya melaksanakan hukum selain Syariah Islam, Allah SWT berfirman:
"Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim." (al Maaidah: 45)
1.2. Urgensi Syariah Islam adalah untuk memberikan solusi terhadap problem-problem manusia (muaalajaat li masyaakil alinsaan). Dalam konteks Indonesia, problem-problem ekonomi (seperti Freeport, Exxon, Newmont) dan problem sosial (seperti pornografi dan pornoaksi), misalnya, akan dapat diselesaikan dengan baik dan benar andaikata saja diselesaikan dengan Syariah Islam. 2. Demokrasi 2.1. Fakta Demokrasi Demokrasi adalah sebuah tatanan pemerintahan yang bersumber dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demikian slogan yang sangat terkenal dari Benjamin Franklin tentang definisi demokrasi. Dalam setting sosio-historisnya di Barat, demokrasi lahir sebagai solusi dari dominasi gereja yang otoritarian dan absolut sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M). Di satu sisi ekstrem, dominasi gereja yang merupakan kolaborasi gereja dan para raja Eropa ini menghendaki tunduknya seluruh urusan kehidupan (politik, ekonomi, seni, sosial, dll) kepada aturan-aturan gereja. Di sisi ekstrem lainnya, dominasi gereja ini ditentang oleh para filosof dan pemikir yang menolak secara mutlak peran gereja (Katolik) dalam kehidupan. Terjadinya Reformasi Gereja, Renaissance, dan Humanisme, menjadi titik tolak awal untuk meruntuhkan dominasi gereja itu. Akhirnya, pasca Revolusi Perancis tahun 1789, terwujudlah jalan tengah dari dua sisi ekstrem itu, yang terumuskan dalam paham sekularisme, yakni paham pemisahan agama dari kehidupan. Agama tidak diingkari secara total, tapi masih diakui walau pun secara terbatas, yaitu hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Lalu hubungan manusia dengan manusia siapakah yang megatur dan membuat hukumnya? Jawabnya, tentu manusia itu sendiri, bukan Tuhan atau agama. Pada titik inilah demokrasi lahir. Walhasil, demokrasi memberikan kepada manusia dua hal : (1) hak membuat hukum (legislasi). Inilah prinsip kedaulatan rakyat (as-siyadah li al-syara'). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya yaitu hukum dibuat oleh para tokoh-tokoh gereja atas nama Tuhan; (2) hak memilih penguasa. Inilah prinsip kekuasaan rakyat (as-sulthan li al-ummah). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya yaitu penguasa (raja) diangkat oleh Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi dalam sistem monarki absolut. Jadi, dalam demokrasi, rakyat adalah sumber legislasi dan sumber kekuasaan (source of legislation and authority) (Zallum, al-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr, 1990). Untuk menjamin agar rakyat dapat menjalankan fungsinya dengan leluasa sebagai pembuat hukum dan sumber kekuasaan tersebut, demokrasi memberikan kebebasan (al-hurriyat, freedom) yang mencakup 4 jenis kebebasan : (1) kebebasan beragama (hurriyah al-'aqidah), (2) kebebasan berpendapat (hurriyah al-ra`yi), (3) kebebasan kepemilikan (hurriyah al-tamalluk), dan (4) kebebasan berperilaku (al-hurriyah al-syakhshiyyah) (Zallum, al-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr, 1990). |
Langganan:
Postingan (Atom)